KPK Versus
Polri
Effnu Subiyanto ; Pendiri
Forum Pengamat Kebijakan Publik,
Mahasiswa
Doktor Ekonomi Universitas Airlangga
|
KORAN
TEMPO, 8 Oktober 2012
Perang dingin KPK dengan Polri soal dugaan
korupsi simulator ujian pembuatan SIM dengan tersangka DS semakin panas.
Mekanisme tender pengadaan barang dan jasa dengan anggaran dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tampaknya selalu memakan korban. Modusnya hampir
mirip, yakni mark up harga satuan untuk keuntungan. Pengadaan simulator SIM ini
terdiri atas jenis sepeda motor berjumlah 700 unit dengan nilai Rp 54,453
miliar, sedangkan untuk jenis simulator mobil disediakan 556 unit dengan pagu
kontrak Rp 142,415 miliar.
Pemenang tender, yakni PT Citra Mandiri
Metalindo Abadi (CMMA), ternyata membeli peralatan-peralatan yang dibutuhkan
sekaligus sampai pemasangannya kepada PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI),
yang dipimpin oleh Sukotjo S. Bambang, hanya sebesar Rp 83 miliar. Dari sini sudah
kelihatan bahwa penentuan harga patokan setempat (HPS) oleh Korlantas Mabes
Polri sebesar Rp 196,87 miliar terlalu tinggi, karena harga pasar sekitar Rp 83
miliar atau mark up sampai 137,19 persen.
Persoalannya kian kompleks karena CMMA
menuduh ITI wanprestasi dan akhirnya melapor ke polisi pada Juni 2011 dengan
pasal penggelapan dan penipuan. Saat ini Direktur ITI Sukotjo S. Bambang
meringkuk dalam penjara Kebon Waru, Bandung. Persoalannya bagi Korlantas Mabes
Polri sebenarnya berasal dari ketidakmampuan CMMA dalam memenuhi scope kontraknya. Kalau sekarang
perkaranya mengarah ke indikasi mark up, itu disebabkan oleh laporan Bambang
atas motifnya yang kini terjepit dalam penjara. Jika saja, misalnya, CMMA dapat
memenuhi scope kontrak, indikasi mark up tender oleh Mabes Polri itu
tidak akan terbuka di ranah publik.
Persoalannya adalah CMMA salah dalam memilih
partner, yakni ITI, untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Namun, jika keberadaan
ITI sudah dilaporkan ke panitia pengadaan Korlantas Mabes Polri sebagai bagian
dari konsorsium CMMA ketika proses tender sejak beauty contest sampai kick-off
eksekusi pekerjaan, ada kelemahan dalam mitigasi risiko oleh tim pengadaan di
Mabes Polri.
Kasus ini sebetulnya biasa serta sangat
lumrah terjadi pada setiap dispute pengadaan barang dan jasa di mana pun
tempatnya di Indonesia. Persoalan yang sangat menarik adalah adanya dugaan
kick-back terhadap Irjen DS, perwira tinggi polisi berbintang dua. Publik
sebetulnya kecewa mengapa loyalitas dan kredibilitas seorang inspektur jenderal
begitu lemah, seperti tidak alert terhadap peluang mark up dan kini malah muncul tengarai kick-back atau gratifikasi yang menunjukkan ada indikasi bancakan
menikmati uang APBN ke berbagai pihak di level elite Polri.
"Buaya"
Ini sepertinya membuka fakta kepada publik
bagaimana berbahayanya instansi kepolisian seperti pernah diperingatkan oleh
mantan Komisaris Jenderal Susno Duadji (SD) pada 2009. Komjen SD ketika itu
meradang dan berkicau ke media ketika terlibat dalam kasus penggelapan pajak
dan money laundering Gayus Halomoan
Tambunan (GT). Berangsur-angsur pejabat di Direktorat Pajak Departemen
Keuangan, Kejaksaan, dan Polri sendiri mulai berguguran terlanda dampak kasus
GT akibat kicauan Komjen SD.
Seorang pejabat setingkat direktur di
Direktorat Jenderal Pajak dilengserkan, empat kepala sub-direktorat diparkir,
begitu juga posisi lima pejabat setingkat kepala seksi kini dikosongkan. Dari
pihak Polri sendiri, tempat SD berasal, sudah dinyatakan sebagai tersangka,
yakni seorang ajun komisaris polisi, seorang komisaris polisi, seorang ajun
komisaris besar polisi, dan seorang komisaris besar polisi. Dugaan keterlibatan
seorang bintang tiga sebenarnya sudah terlihat publik, namun kini hilang.
Seolah menunjukkan kepada publik siapa
"buaya" sebenarnya, apa yang diungkap Komjen SD ternyata benar
adanya. Bahwa tindakan korupsi sudah terjalin dengan sangat rapi dan kuat di
dalam tubuh instansi penegak hukum, jangankan bintara polisi, perwira tinggi
pun tidak mampu lolos dari godaan korupsi.
"Integrasi" korupsi di dalam tubuh
Polri ini tentu tidak terbangun dengan sendirinya dan tidak serta-merta dalam
waktu singkat. Untuk mengoperasikannya, pasti dilengkapi dokumen yang sahih dan
resmi. Tiap anggota jaringan hanya akan berhubungan dengan koneksinya sendiri, sehingga
gerakannya menjadi "siluman" pada organisasi masing-masing. Tidak
akan bisa dibuktikan secara hukum oleh siapa pun, tidak bisa dideteksi namun
terasa bagi staf yang belum "terkontaminasi".
Untuk itu, tidak berlebihan jika yang mampu
mengungkap jaringan ini harus paham modus operasinya dari sel terkecil. Namun
person ini harus memiliki "power"
tertinggi atas operasi berbagai birokrasi yang menjadi anggota jaringan.
Kualifikasi "buaya" dalam hal ini harus jenderal.
Terlepas Komjen SD ada kemungkinan terlibat
dalam rantai ini, warning itu kini
mulai terbukti, beberapa key person
Polri terbukti menjadi tersangka, dimulai dari Irjen DS. Dalam waktu dekat,
beberapa bintang polisi tampaknya akan menemani Irjen DS. Selanjutnya kasus ini
menjadi urusan bersama seluruh bangsa yang harus dimonitor perkembangannya.
Dengan segala keterbatasan, publik seharusnya berterima kasih terhadap
keberanian Komjen SD.
Perlu Presiden
Sebagai institusi terkuat di republik
ini-bahkan Komjen SD menyebutnya "buaya"-tidak ada satu pun lembaga
yang mampu mengontrol kinerja Polri. Selama ini prosedur-prosedur penyidikan
Polri selalu dilakukan sendiri tanpa supervisi pihak independen. Polri
menjalankan fungsi publik yang seharusnya transparan tapi dijalankan dengan
metode yang tertutup.
Secara organisatoris memang ada kontrol
internal atas kinerja Polri, seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam).
Namun, karena personel Propam juga berasal dari internal Polri, independensinya
sangat diragukan. Semangat korps pasti di atas segalanya, untuk urusan yang
akan mempengaruhi reputasi dan citra Polri secara keseluruhan, tentu akan
dibela habis-habisan.
Keputusan "terperiksa" terhadap
Komjen Susno Duadji ketika pertama kali mengungkap kasus penggelapan pajak GT
menjadi bukti betapa Divisi Propam tidak bisa menjadi independen. Ketika
feeling Polri tidak menguntungkan karena bersinggungan dengan reputasi, Divisi
Propam langsung bereaksi mendiskreditkan Komjen SD. Namun kini sikap Polri
tampak berbeda ketika menghadapi kasus Irjen DS. Mantan Gubernur Akademi
Kepolisian ini tampak dibela habis-habisan. Penyidik Komisaris Polisi Novel,
yang merupakan organik Polri sendiri, pun hendak dihabisi sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian, memang ada lembaga independen Polri yang disebut Komisi
Kepolisian Nasional. Namun, mengingat sifat pekerjaan polisi sangat khusus,
seorang anggota Kompolnas pasti tidak akan mampu mengimbangi kompetensi polisi.
Kompolnas pada akhirnya sekadar pemberi stempel "transparan" karena
keterbatasan pengetahuan secara teknis.
Untuk masalah pelik rivalitas kredibilitas
antara KPK dan Polri ini, mutlak diperlukan keterlibatan lembaga kepresidenan
menjadi mediator. Presiden tidak boleh tinggal diam karena alasan klasik: tidak
boleh melakukan intervensi. Kini publik dalam dilema besar melihat
"kebisuan" lembaga kepresidenan selama ini. Jangan-jangan seringnya
alasan menghindari intervensi itu karena lembaga kepresidenan tersebut memang
tidak kompeten. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar