Senin, 08 Oktober 2012

KPK Versus Polri


KPK Versus Polri
Effnu Subiyanto ;  Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik,
Mahasiswa Doktor Ekonomi Universitas Airlangga
KORAN TEMPO, 8 Oktober 2012


Perang dingin KPK dengan Polri soal dugaan korupsi simulator ujian pembuatan SIM dengan tersangka DS semakin panas. Mekanisme tender pengadaan barang dan jasa dengan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tampaknya selalu memakan korban. Modusnya hampir mirip, yakni mark up harga satuan untuk keuntungan. Pengadaan simulator SIM ini terdiri atas jenis sepeda motor berjumlah 700 unit dengan nilai Rp 54,453 miliar, sedangkan untuk jenis simulator mobil disediakan 556 unit dengan pagu kontrak Rp 142,415 miliar.

Pemenang tender, yakni PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA), ternyata membeli peralatan-peralatan yang dibutuhkan sekaligus sampai pemasangannya kepada PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI), yang dipimpin oleh Sukotjo S. Bambang, hanya sebesar Rp 83 miliar. Dari sini sudah kelihatan bahwa penentuan harga patokan setempat (HPS) oleh Korlantas Mabes Polri sebesar Rp 196,87 miliar terlalu tinggi, karena harga pasar sekitar Rp 83 miliar atau mark up sampai 137,19 persen.

Persoalannya kian kompleks karena CMMA menuduh ITI wanprestasi dan akhirnya melapor ke polisi pada Juni 2011 dengan pasal penggelapan dan penipuan. Saat ini Direktur ITI Sukotjo S. Bambang meringkuk dalam penjara Kebon Waru, Bandung. Persoalannya bagi Korlantas Mabes Polri sebenarnya berasal dari ketidakmampuan CMMA dalam memenuhi scope kontraknya. Kalau sekarang perkaranya mengarah ke indikasi mark up, itu disebabkan oleh laporan Bambang atas motifnya yang kini terjepit dalam penjara. Jika saja, misalnya, CMMA dapat memenuhi scope kontrak, indikasi mark up tender oleh Mabes Polri itu tidak akan terbuka di ranah publik.

Persoalannya adalah CMMA salah dalam memilih partner, yakni ITI, untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Namun, jika keberadaan ITI sudah dilaporkan ke panitia pengadaan Korlantas Mabes Polri sebagai bagian dari konsorsium CMMA ketika proses tender sejak beauty contest sampai kick-off eksekusi pekerjaan, ada kelemahan dalam mitigasi risiko oleh tim pengadaan di Mabes Polri.

Kasus ini sebetulnya biasa serta sangat lumrah terjadi pada setiap dispute pengadaan barang dan jasa di mana pun tempatnya di Indonesia. Persoalan yang sangat menarik adalah adanya dugaan kick-back terhadap Irjen DS, perwira tinggi polisi berbintang dua. Publik sebetulnya kecewa mengapa loyalitas dan kredibilitas seorang inspektur jenderal begitu lemah, seperti tidak alert terhadap peluang mark up dan kini malah muncul tengarai kick-back atau gratifikasi yang menunjukkan ada indikasi bancakan menikmati uang APBN ke berbagai pihak di level elite Polri.

"Buaya"

Ini sepertinya membuka fakta kepada publik bagaimana berbahayanya instansi kepolisian seperti pernah diperingatkan oleh mantan Komisaris Jenderal Susno Duadji (SD) pada 2009. Komjen SD ketika itu meradang dan berkicau ke media ketika terlibat dalam kasus penggelapan pajak dan money laundering Gayus Halomoan Tambunan (GT). Berangsur-angsur pejabat di Direktorat Pajak Departemen Keuangan, Kejaksaan, dan Polri sendiri mulai berguguran terlanda dampak kasus GT akibat kicauan Komjen SD.

Seorang pejabat setingkat direktur di Direktorat Jenderal Pajak dilengserkan, empat kepala sub-direktorat diparkir, begitu juga posisi lima pejabat setingkat kepala seksi kini dikosongkan. Dari pihak Polri sendiri, tempat SD berasal, sudah dinyatakan sebagai tersangka, yakni seorang ajun komisaris polisi, seorang komisaris polisi, seorang ajun komisaris besar polisi, dan seorang komisaris besar polisi. Dugaan keterlibatan seorang bintang tiga sebenarnya sudah terlihat publik, namun kini hilang.

Seolah menunjukkan kepada publik siapa "buaya" sebenarnya, apa yang diungkap Komjen SD ternyata benar adanya. Bahwa tindakan korupsi sudah terjalin dengan sangat rapi dan kuat di dalam tubuh instansi penegak hukum, jangankan bintara polisi, perwira tinggi pun tidak mampu lolos dari godaan korupsi.

"Integrasi" korupsi di dalam tubuh Polri ini tentu tidak terbangun dengan sendirinya dan tidak serta-merta dalam waktu singkat. Untuk mengoperasikannya, pasti dilengkapi dokumen yang sahih dan resmi. Tiap anggota jaringan hanya akan berhubungan dengan koneksinya sendiri, sehingga gerakannya menjadi "siluman" pada organisasi masing-masing. Tidak akan bisa dibuktikan secara hukum oleh siapa pun, tidak bisa dideteksi namun terasa bagi staf yang belum "terkontaminasi".

Untuk itu, tidak berlebihan jika yang mampu mengungkap jaringan ini harus paham modus operasinya dari sel terkecil. Namun person ini harus memiliki "power" tertinggi atas operasi berbagai birokrasi yang menjadi anggota jaringan. Kualifikasi "buaya" dalam hal ini harus jenderal.

Terlepas Komjen SD ada kemungkinan terlibat dalam rantai ini, warning itu kini mulai terbukti, beberapa key person Polri terbukti menjadi tersangka, dimulai dari Irjen DS. Dalam waktu dekat, beberapa bintang polisi tampaknya akan menemani Irjen DS. Selanjutnya kasus ini menjadi urusan bersama seluruh bangsa yang harus dimonitor perkembangannya. Dengan segala keterbatasan, publik seharusnya berterima kasih terhadap keberanian Komjen SD.

Perlu Presiden

Sebagai institusi terkuat di republik ini-bahkan Komjen SD menyebutnya "buaya"-tidak ada satu pun lembaga yang mampu mengontrol kinerja Polri. Selama ini prosedur-prosedur penyidikan Polri selalu dilakukan sendiri tanpa supervisi pihak independen. Polri menjalankan fungsi publik yang seharusnya transparan tapi dijalankan dengan metode yang tertutup.

Secara organisatoris memang ada kontrol internal atas kinerja Polri, seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Namun, karena personel Propam juga berasal dari internal Polri, independensinya sangat diragukan. Semangat korps pasti di atas segalanya, untuk urusan yang akan mempengaruhi reputasi dan citra Polri secara keseluruhan, tentu akan dibela habis-habisan.

Keputusan "terperiksa" terhadap Komjen Susno Duadji ketika pertama kali mengungkap kasus penggelapan pajak GT menjadi bukti betapa Divisi Propam tidak bisa menjadi independen. Ketika feeling Polri tidak menguntungkan karena bersinggungan dengan reputasi, Divisi Propam langsung bereaksi mendiskreditkan Komjen SD. Namun kini sikap Polri tampak berbeda ketika menghadapi kasus Irjen DS. Mantan Gubernur Akademi Kepolisian ini tampak dibela habis-habisan. Penyidik Komisaris Polisi Novel, yang merupakan organik Polri sendiri, pun hendak dihabisi sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, memang ada lembaga independen Polri yang disebut Komisi Kepolisian Nasional. Namun, mengingat sifat pekerjaan polisi sangat khusus, seorang anggota Kompolnas pasti tidak akan mampu mengimbangi kompetensi polisi. Kompolnas pada akhirnya sekadar pemberi stempel "transparan" karena keterbatasan pengetahuan secara teknis.

Untuk masalah pelik rivalitas kredibilitas antara KPK dan Polri ini, mutlak diperlukan keterlibatan lembaga kepresidenan menjadi mediator. Presiden tidak boleh tinggal diam karena alasan klasik: tidak boleh melakukan intervensi. Kini publik dalam dilema besar melihat "kebisuan" lembaga kepresidenan selama ini. Jangan-jangan seringnya alasan menghindari intervensi itu karena lembaga kepresidenan tersebut memang tidak kompeten. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar