Pendidikan dan
Mentalitas Menerabas
Agus Wibowo ; Pemerhati
Pendidikan; Alumnus Pascasarjana UN Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 8 Oktober 2012
ISTILAH menerabas pernah dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat
dalam bunga rampainya, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (1980). Ada
beberapa mentalitas buruk, menurut Koentjaraningrat, yang terus dipelihara
sebagian besar bangsa ini dan diwariskan turun-temurun kepada generasi selanjutnya.
Beberapa mentalitas buruk itu antara lain suka menerabas, meremehkan mutu atau
kualitas, tidak percaya diri, berdisiplin semu, dan suka mengabaikan tanggung
jawab.
Menerabas itu melakukan pemintasan jalan guna meraih sesuatu
secara cepat atau instan. Sebagian besar masyarakat kita tidak mau mengambil
jalan yang semestinya dilalui karena memakan waktu lama. Mereka berpikir untuk
apa susah-susah, padahal ada jalan yang lebih mudah. Menerabas juga sering
diasosiasikan dengan mentalitas yang melangkahi rambu-rambu kepatutan.
Mental menerabas itu terjadi di hampir setiap lini kehidupan. Namun,
yang memprihatinkan ialah itu sudah menggurat akar di dunia pendidikan kita.
Sebagai contoh, program strata satu (S-1) semestinya ditempuh minimal selama
empat tahun. Namun, tidak sedikit orang memilih jalan yang mudah, yaitu dengan
kuliah Sabtu dan Minggu--kalau perlu beban yang sulit dihindari. Bagi mereka,
yang penting lulus, mendapatkan ijazah, diwisuda, dan gelar akademik hebat
tersemat di belakang nama. Persoalan apakah gelar yang disandang sesuai dengan
kemampuan seseorang atau tidak, itu bukan menjadi masalah.
Para guru, dengan adanya kewajiban sertifi kasi, harus memiliki
ijazah minimal S-1. Maka, banyak perguruan tinggi (PT) membuat program-program
pendidikan singkat. Sambil bekerja, para guru dianjurkan kuliah untuk
mendapatkan ijazah S-1. Agar target segera tercapai, mereka diberi
kemudahan-kemudahan. Persoalan apakah ilmu pengetahuan mereka setelah
mendapatkan ijazah S-1 benar-benar bertambah atau tidak, itu biasanya tidak
dianggap sebagai masalah, yang penting semua guru bergelar akademik S-1!
Para dosen yang hendak mendapat gelar guru besar (profesor)
biasanya diharuskan membuat buku. Kegiatan membuat buku, lebih-lebih yang
berkualitas, jelas tidak gampang. Akan tetapi, sebagian dosen lebih senang
menerabas dengan menyewa penulis bayangan (ghost
writer). Dengan imbalan yang sudah disepakati, beberapa buku berkualitas
sudah tersedia. Sang dosen pun tidak perlu repot-repot mengumpulkan berbagai
referensi, buku yang menjadi syarat pengajuan guru besar secepat kilat di
tangan. Perkara nanti sang dosen ketika menjadi guru besar berkualitas atau
tidak, itu lain cerita. Yang jelas sang dosen sudah menjadi guru besar!
Mentalitas menerabas lain yang akhir-akhir ini ramai
diperbincangkan ialah praktik perjokian dalam ujian masuk (UM) di kelas
internasional Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM). Perjokian itu
memang bukan kali pertama, sebelumnya sudah terjadi sejak 2009 hingga 2011 di
Universitas Hasanuddin, Makassar, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan
beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) favorit lainnya.
Degradasi Karakter?
Perjokian ujian masuk PTN jelas memalukan. Fenomena tersebut
mengindikasikan muka bopeng dalam dunia pendidikan belum bisa diobati. Lebih spesifik lagi, pendidikan karakter yang semestinya mendidik
siswa/mahasiswa agar berperilaku jujur, percaya diri, benci kebohongan,
antikorupsi, dan menjadi sosok kesatria belum efektif berjalan. Pendidikan
karakter baru sebatas wacana yang menarik diseminarkan, tetapi sulit
diaplikasikan. Internalisasi baru sebatas ranah kognitif sehingga belum menjadi
nilai yang me landasi gerak praksis dalam ranah kehidupan nyata siswa.
Begitu rapi dan sistematisnya praktik perjokian membuat masyarakat
kaget bercampur prihatin. Kaget karena praktik perjokian ternyata sudah
demikian terorganisasi, canggih, dan pelakunya amat profesional. Prihatin
karena mau jadi apa bangsa ini mendatang jika generasi muda sekarang sudah
melegalkan berbagai tindak tercela dan menerabas.
Masuk PTN, apalagi jurusan kedokteran di UGM, merupakan impian
banyak orang. Itu karena animo masyarakat untuk masuk ke PTN terus meningkat.
Namun, tidak banyak yang mampu baik secara kualitas personal dan pendanaan.
Karena mentalitas menerabas yang menggurat akar, mereka yang kebetulan
berkantong `tebal' rela memakai berbagai cara, ter masuk menyewa joki. Pendek
kata, mereka tidak perlu susahsusah menempuh jalur lumrah dengan mengikuti
ujian dan mengerjakan soal sendiri. Tinggal menyewa orang lain dengan imbalan
puluhan bahkan ratusan juta rupiah, semua sudah beres!
Pada fenomena itu, ketinggian budi dan karakter yang menjadi
ancangan mulia pendidikan menjadi tergadaikan. Ketika hendak masuk kuliah saja sudah
melegalkan praktik haram, tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan akan
terus meng ulang hal serupa nanti. Ironis bukan?
Di sisi lain, praktik perjokian menandakan fenomena menipisnya
kesadaran dan kecerdasan spiritual di kalangan kaum muda. Benar dari segi
kecerdasan intelektual yang diasosiasikan pada kemampuan otak kiri, mereka
tidak diragukan lagi. Namun aspek kecerdasan otak kanan--yang salah satunya
menunjukkan kepekaan pada kepatutan secara sosial dan spiritual--tidak ada sama
sekali.
Maraknya praktik perjokian disebabkan tidak ada hukuman tegas baik
bagi joki yang tertangkap maupun siswa yang menyewanya. Hukuman yang tidak
tegas tidak akan memberikan efek jera bagi pelakunya. Hal itu bahkan bisa
memberikan inspirasi bagi munculnya joki-joki baru. Dengan imbalan bayaran yang
tinggi, mereka tetap akan ambil risiko untuk menjadi joki.
Para orangtua harus dilibatkan. Pasalnya, mereka juga memiliki
peran penting bagi mulus tidaknya praktik perjokian. Peran orangtua sangat
sentral dalam masalah tersebut, terutama untuk membina a anak mereka agar
mengajark kan kejujuran. Keberhasilan anak di masa depan tak hanya ditentukan
tempat dia berkuliah, tapi juga bagaimana anak diajari norma-norma yang baik
sebagai bekal hidupnya nanti di masyarakat. Para orangtua harus mencerahkan
putra-putri mereka agar tidak memilih jalur `pintas dan sesat'. Singkatnya,
dalam diri anak harus ditanamkan rasa percaya diri untuk mengikuti SNMPTN atau
UMPTN dengan kemampuan sendiri, bukan dengan bantuan orang lain.
Peran Pendidikan
Antropolog Koentjaraningrat jauh hari sudah mengingat kan betapa
bahayanya mentalitas menerabas itu. Benar bahwa menerabas, dalam hal-hal
tertentu, menjadikan hidup ini mudah. Tanpa harus mengalami susah payah, berpikir,
dan bekerja keras, dengan cara menerabas kebutuhannya terpenuhi. Akan tetapi,
mental seperti itu sebenarnya sangat membahayakan di masa depan. Mental
menerabas tidak akan mendidik. Itu bahkan akan melahirkan bencana di masa
mendatang. Seorang yang suka hidup menerabas akan selalu menanggung risiko di
kemudian hari.
Selain itu, dalam mentalitas menerabas, segala cara dihalalkan
demi mencapai hasil yang diinginkan. Keinginan untuk mencapai hasil dalam waktu
yang singkat dengan menghalalkan segala cara sering kali membuat akal sehat tak
bisa bekerja secara optimal. Rasionalitas menjadi tumpul dan berganti ambisi
meraih puncak tertinggi dan dihormati banyak orang. Rasionalitas yang
seharusnya menjadi tameng untuk berdinamika dalam dunia pendidikan malah
ditempatkan di urutan terakhir dari pencapaian akademis.
Mentalitas menerabas merupakan gejala laten yang harus diberantas
demi perwujudan nilai-nilai dasar pendidikan, yakni memanusiakan manusia.
Integritas pribadi yang mulai luntur harus dibenahi dengan mengevaluasi sistem
pendidikan yang diterapkan di Tanah Air ini. Kurikulum harus dibuat sedemikian
rupa sehingga mampu memberikan pemahaman kepada anak didik akan pentingnya
sebuah proses. Keberhasilan atau pencapaian sesuatu harus dilihat sebagai
sebuah proses panjang, bukan kerja yang instan. Para guru dan segenap
stakeholder pendidikan harus menjadi contoh bagi anak didik bagaimana
menghargai sebuah proses itu. Pendidikan karakter harus kembali diefektifkan,
bukan sekadar jargon politik yang menghias indah kebesaran sang penguasa.
Jika mentalitas jenis itu terus dipelihara dalam balutan
pendidikan, kritik Ivan Illich tentang pentingnya de-schooling society sebagai prinsip filosofis dalam membangun
kejelasan karakter dalam pendidikan sangat penting dan dibutuhkan. Sangat jelas
bahwa niat dan motivasi orang kebanyakan untuk belajar ialah ijazah dalam
rangka mencari pekerjaan dan mengejar jabatan. Itu sesuatu yang tentu saja
sangat absurd dan menghilangkan peran moralitas dan akal sehat. Semoga arah pendidikan kita ke depan dapat
mengatasi masalah mentalitas tak terpuji semacam itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar