Selasa, 09 Oktober 2012

Pendidikan dan Mentalitas Menerabas


Pendidikan dan Mentalitas Menerabas
Agus Wibowo ;  Pemerhati Pendidikan; Alumnus Pascasarjana UN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 8 Oktober 2012


ISTILAH menerabas pernah dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat dalam bunga rampainya, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (1980). Ada beberapa mentalitas buruk, menurut Koentjaraningrat, yang terus dipelihara sebagian besar bangsa ini dan diwariskan turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Beberapa mentalitas buruk itu antara lain suka menerabas, meremehkan mutu atau kualitas, tidak percaya diri, berdisiplin semu, dan suka mengabaikan tanggung jawab.

Menerabas itu melakukan pemintasan jalan guna meraih sesuatu secara cepat atau instan. Sebagian besar masyarakat kita tidak mau mengambil jalan yang semestinya dilalui karena memakan waktu lama. Mereka berpikir untuk apa susah-susah, padahal ada jalan yang lebih mudah. Menerabas juga sering diasosiasikan dengan mentalitas yang melangkahi rambu-rambu kepatutan.

Mental menerabas itu terjadi di hampir setiap lini kehidupan. Namun, yang memprihatinkan ialah itu sudah menggurat akar di dunia pendidikan kita. Sebagai contoh, program strata satu (S-1) semestinya ditempuh minimal selama empat tahun. Namun, tidak sedikit orang memilih jalan yang mudah, yaitu dengan kuliah Sabtu dan Minggu--kalau perlu beban yang sulit dihindari. Bagi mereka, yang penting lulus, mendapatkan ijazah, diwisuda, dan gelar akademik hebat tersemat di belakang nama. Persoalan apakah gelar yang disandang sesuai dengan kemampuan seseorang atau tidak, itu bukan menjadi masalah.

Para guru, dengan adanya kewajiban sertifi kasi, harus memiliki ijazah minimal S-1. Maka, banyak perguruan tinggi (PT) membuat program-program pendidikan singkat. Sambil bekerja, para guru dianjurkan kuliah untuk mendapatkan ijazah S-1. Agar target segera tercapai, mereka diberi kemudahan-kemudahan. Persoalan apakah ilmu pengetahuan mereka setelah mendapatkan ijazah S-1 benar-benar bertambah atau tidak, itu biasanya tidak dianggap sebagai masalah, yang penting semua guru bergelar akademik S-1!

Para dosen yang hendak mendapat gelar guru besar (profesor) biasanya diharuskan membuat buku. Kegiatan membuat buku, lebih-lebih yang berkualitas, jelas tidak gampang. Akan tetapi, sebagian dosen lebih senang menerabas dengan menyewa penulis bayangan (ghost writer). Dengan imbalan yang sudah disepakati, beberapa buku berkualitas sudah tersedia. Sang dosen pun tidak perlu repot-repot mengumpulkan berbagai referensi, buku yang menjadi syarat pengajuan guru besar secepat kilat di tangan. Perkara nanti sang dosen ketika menjadi guru besar berkualitas atau tidak, itu lain cerita. Yang jelas sang dosen sudah menjadi guru besar!

Mentalitas menerabas lain yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan ialah praktik perjokian dalam ujian masuk (UM) di kelas internasional Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM). Perjokian itu memang bukan kali pertama, sebelumnya sudah terjadi sejak 2009 hingga 2011 di Universitas Hasanuddin, Makassar, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) favorit lainnya.

Degradasi Karakter?

Perjokian ujian masuk PTN jelas memalukan. Fenomena tersebut mengindikasikan muka bopeng dalam dunia pendidikan belum bisa diobati. Lebih spesifik lagi, pendidikan karakter yang semestinya mendidik siswa/mahasiswa agar berperilaku jujur, percaya diri, benci kebohongan, antikorupsi, dan menjadi sosok kesatria belum efektif berjalan. Pendidikan karakter baru sebatas wacana yang menarik diseminarkan, tetapi sulit diaplikasikan. Internalisasi baru sebatas ranah kognitif sehingga belum menjadi nilai yang me landasi gerak praksis dalam ranah kehidupan nyata siswa.

Begitu rapi dan sistematisnya praktik perjokian membuat masyarakat kaget bercampur prihatin. Kaget karena praktik perjokian ternyata sudah demikian terorganisasi, canggih, dan pelakunya amat profesional. Prihatin karena mau jadi apa bangsa ini mendatang jika generasi muda sekarang sudah melegalkan berbagai tindak tercela dan menerabas.

Masuk PTN, apalagi jurusan kedokteran di UGM, merupakan impian banyak orang. Itu karena animo masyarakat untuk masuk ke PTN terus meningkat. Namun, tidak banyak yang mampu baik secara kualitas personal dan pendanaan. Karena mentalitas menerabas yang menggurat akar, mereka yang kebetulan berkantong `tebal' rela memakai berbagai cara, ter masuk menyewa joki. Pendek kata, mereka tidak perlu susahsusah menempuh jalur lumrah dengan mengikuti ujian dan mengerjakan soal sendiri. Tinggal menyewa orang lain dengan imbalan puluhan bahkan ratusan juta rupiah, semua sudah beres!

Pada fenomena itu, ketinggian budi dan karakter yang menjadi ancangan mulia pendidikan menjadi tergadaikan. Ketika hendak masuk kuliah saja sudah melegalkan praktik haram, tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan akan terus meng ulang hal serupa nanti. Ironis bukan?

Di sisi lain, praktik perjokian menandakan fenomena menipisnya kesadaran dan kecerdasan spiritual di kalangan kaum muda. Benar dari segi kecerdasan intelektual yang diasosiasikan pada kemampuan otak kiri, mereka tidak diragukan lagi. Namun aspek kecerdasan otak kanan--yang salah satunya menunjukkan kepekaan pada kepatutan secara sosial dan spiritual--tidak ada sama sekali.

Maraknya praktik perjokian disebabkan tidak ada hukuman tegas baik bagi joki yang tertangkap maupun siswa yang menyewanya. Hukuman yang tidak tegas tidak akan memberikan efek jera bagi pelakunya. Hal itu bahkan bisa memberikan inspirasi bagi munculnya joki-joki baru. Dengan imbalan bayaran yang tinggi, mereka tetap akan ambil risiko untuk menjadi joki.

Para orangtua harus dilibatkan. Pasalnya, mereka juga memiliki peran penting bagi mulus tidaknya praktik perjokian. Peran orangtua sangat sentral dalam masalah tersebut, terutama untuk membina a anak mereka agar mengajark kan kejujuran. Keberhasilan anak di masa depan tak hanya ditentukan tempat dia berkuliah, tapi juga bagaimana anak diajari norma-norma yang baik sebagai bekal hidupnya nanti di masyarakat. Para orangtua harus mencerahkan putra-putri mereka agar tidak memilih jalur `pintas dan sesat'. Singkatnya, dalam diri anak harus ditanamkan rasa percaya diri untuk mengikuti SNMPTN atau UMPTN dengan kemampuan sendiri, bukan dengan bantuan orang lain.

Peran Pendidikan

Antropolog Koentjaraningrat jauh hari sudah mengingat kan betapa bahayanya mentalitas menerabas itu. Benar bahwa menerabas, dalam hal-hal tertentu, menjadikan hidup ini mudah. Tanpa harus mengalami susah payah, berpikir, dan bekerja keras, dengan cara menerabas kebutuhannya terpenuhi. Akan tetapi, mental seperti itu sebenarnya sangat membahayakan di masa depan. Mental menerabas tidak akan mendidik. Itu bahkan akan melahirkan bencana di masa mendatang. Seorang yang suka hidup menerabas akan selalu menanggung risiko di kemudian hari.

Selain itu, dalam mentalitas menerabas, segala cara dihalalkan demi mencapai hasil yang diinginkan. Keinginan untuk mencapai hasil dalam waktu yang singkat dengan menghalalkan segala cara sering kali membuat akal sehat tak bisa bekerja secara optimal. Rasionalitas menjadi tumpul dan berganti ambisi meraih puncak tertinggi dan dihormati banyak orang. Rasionalitas yang seharusnya menjadi tameng untuk berdinamika dalam dunia pendidikan malah ditempatkan di urutan terakhir dari pencapaian akademis.

Mentalitas menerabas merupakan gejala laten yang harus diberantas demi perwujudan nilai-nilai dasar pendidikan, yakni memanusiakan manusia. Integritas pribadi yang mulai luntur harus dibenahi dengan mengevaluasi sistem pendidikan yang diterapkan di Tanah Air ini. Kurikulum harus dibuat sedemikian rupa sehingga mampu memberikan pemahaman kepada anak didik akan pentingnya sebuah proses. Keberhasilan atau pencapaian sesuatu harus dilihat sebagai sebuah proses panjang, bukan kerja yang instan. Para guru dan segenap stakeholder pendidikan harus menjadi contoh bagi anak didik bagaimana menghargai sebuah proses itu. Pendidikan karakter harus kembali diefektifkan, bukan sekadar jargon politik yang menghias indah kebesaran sang penguasa.

Jika mentalitas jenis itu terus dipelihara dalam balutan pendidikan, kritik Ivan Illich tentang pentingnya de-schooling society sebagai prinsip filosofis dalam membangun kejelasan karakter dalam pendidikan sangat penting dan dibutuhkan. Sangat jelas bahwa niat dan motivasi orang kebanyakan untuk belajar ialah ijazah dalam rangka mencari pekerjaan dan mengejar jabatan. Itu sesuatu yang tentu saja sangat absurd dan menghilangkan peran moralitas dan akal sehat. Semoga arah pendidikan kita ke depan dapat mengatasi masalah mentalitas tak terpuji semacam itu. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar