Kamis, 04 Oktober 2012

Membuat Stroke KPK


Membuat Stroke KPK
Badrul Munir  ;  Dokter spesialis saraf di RS Saiful Anwar, Malang
JAWA POS, 04 Oktober 2012


STROKE dan KPK adalah dua hal yang berbeda. Stroke adalah terminologi kesehatan dan KPK merupalan terminologi hukum dan politik. Tetapi, pada saat ini, ada keterkaitan di antara keduanya. Kebetulan Oktober ini ada Hari Stroke Sedunia untuk menggugah kepedulian pada penyakit yang melumpuhkan dan mematikan ini. 

Stroke merupakan serangan akut terhadap otak karena kelainan peredaran darah. Akibatnya, terjadi defisit (fungsi menurun) dari sistem otak kita. Beberapa gejala yang muncul, antara lain, kelumpuhan, mati rasa, tidak bisa berbahasa-berbicara, gangguan kesadaran mulai koma, dan kematian, 

Dan, ternyata stroke merupakan penyakit yang mengakibatkan kecacatan peringkat pertama di seluruh dunia dan penyebab kedua kematian setelah penyakit jantung, termasuk di Indonesia.
Yang menyedihkan terjadi pergeseran pola serangan stroke. Dahulu stroke menyerang usia tua dan ekonomi menengah ke atas, sekarang menyerang usia muda dan semua kelompok ekonomi. Akibatnya, ekses ekonomi dan sosial sangat tinggi. Biaya perawatan sangat besar dan produktivitas hilang lantaran kecacatan permanen stroke. 

Tiga untuk Stroke-kan KPK 

Hanya ada dua lembaga produk reformasi yang masih mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat Indonesia, yakni Mahkamah Kontitusi (MK) yang diketuai Mahfud M.D. dan KPK yang dikomandani Abraham Samad. Sementara kedibilitas partai politik, lembaga pemerintahan, dan legislatif serta yudikatif masih rendah. Begitu besar harapan masyarakat terhadap kiprah dua lembaga benteng terakhir itu sehingga kalau keduanya ''dihilangkan'', sudah lengkaplah Indonesia masuk ke kriteria ''negara gagal''. 

Dan, tingginya kredibilitas keduanya ternyata menimbulkan ketidaksenangan kepada beberapa pihak yag selama ini merasa terancam keberadaanya, khususnya KPK. Maka, konsekuensi logis selalu ada upaya untuk men-''stroke''-kan KPK sehingga menjadi lumpuh dan koma, bila perlu sampai mati. 

Menurut ilmu penyakit saraf, penyebab stroke dipengaruhi tiga faktor utama. Yakni, sistem pembuluh darah, tekanan darah, dan komponen darah. Bila dikaitkan dengan KPK, pembuluh darah merupakan sistem yang ada di negara kita, yang berusaha secara sistematis untuk memperlemah secara yuridis, baik melalui legislatif maupun eksekutif, berupa produk hukum dan tindakan politis.

Hal yang tampak di depan mata kita adalah upaya Komisi III DPR yang bernafsu untuk mengamandemen UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK dengan dalih penyempurnaan. Nyatanya ada keinginan untuk memangkas beberapa kewenangan KPK, yakni kewenangan penuntutan dan penyadapan. Saya tidak bisa memahami alasan para wakit rakyat (tidak) terhormat itu. Mewakili siapa ketika menjalankan agenda tersembunyi untuk men-''stroke''-kan KPK agar lumpuh dan tidak berdaya. Sesantun apa pun bahasanya, demi tidak menganggu pencitraan mereka, apalagi mendekati Pemilu 2014, efeknya akan sama: KPK stroke.

Serangan stroke KPK kedua lewat tekanan darah. Tekanan darah bisa kita ibaratkan pola hubungan antaraparat hukum, KPK berusaha ditekan lewat penyidik hukum lain agar kewenangan tidak berlebihan yang bisa mengancam lembaga yang ada. Upaya Polri menolak penyidikan kasus simulator oleh KPK merupakan contoh mutakhir bagaimana serangan stroke ke KPK dilancarkan. Selain kasus ''cicak v buaya'', jelas-jelas itu upaya perlemahan KPK. Dan harus dingat, akan ada lagi pola peningkatan tekanan seperti itu. Sama halnya dengan penyebab stroke, semakin lama tekanan darah yang tinggi semakin besar kemungkinan terjadinya serangan stroke.

Serangan stroke yang ketiga adalah lewat komposisi darah (kolesterol, kencing manis, rokok) yang mengakibatkan kualitias darah rendah dan merusak sistem pembuluh darah otak sehingga terjadi serangan stroke akibat aliran darah terganggu. KPK berusaha diserang dengan pola seperti itu, kasus kriminalisasi Antasari Azhar yang telah menjadi korban dan harus mendekam di penjara, kasus Bibit-Chandra untuk KPK periode terdahulu, dan kasus terakhir penarikan penyidik KPK dari Polri secara ''tidak wajar'' dan ditolaknya permintaan gedung KPK baru merupakan upaya jelas untuk men-stroke-kan KPK melalui jalur tersebut.

Satu dalam Enam 

Bangsa dan rakyat Indonesia harus menghentikan upaya serangan stroke ke KPK. Kalau serangan tidak dihentikan, KPK yang lumpuh dan tidak berdaya melawan koruptor yang semakin tumbuh subur paska era reformasi ini. 

Mengacu kepada upaya pencegahan (prevensi) stroke dunia pada Hari Stroke Sedunia setiap 29 Oktober, ada kampanye ''1 in 6''.
Angka itu berarti ada serangan stroke setiap enam detik yang mengubah kualitas hidup seseorang selamanya. Juga,di dunia ada yang wafat karena stroke setiap 6 detik. Ada juga yang mengartikan satu di antara enam orang berisiko stroke. 

Maka,
ada enam langkah pencegahan stroke. Yakni, mengetahui faktor risiko pribadi (tekanan darah tinggi, kencing manis dan kolesterol);  tetap aktif dan berolah raga secara teratur; menjaga dari obesitas dengan diet sehat; hindari minum minuman keras dan hentikan merokok; mengetahui tanda-tanda stroke; serta bertindak cepat dan benar.

Maka, ada enam langkah mencegah serangan stroke KPK. Pertama, kenali faktor risiko para koruptor yang telah berkolaborasi dengan kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Itu merupakan faktor risiko utama serangan stroke KPK. Kedua, KPK makin aktif memberantas korupsi sampai akar-akarnya. Ketiga, bila perlu korupsi dituntut hukuman seberat-beratnya sehingga vonisnya tidak akan ringan seperti selama ini, banyak yang kurang dari 4 tahun. Keempat, jaga kredibilitas KPK, baik secara institusi maupun secara personal. Kelima, jangan kompromi dengan siapa pun dalam hal korupsi (baik secara personal maupun sistem) yang memperlemah pemberantasan korupsi. Serta, keenam, cepat bertindak apabila ada gejala serangan stroke KPK seperti kejadian akhir-akhir ini.

Dalam hal bertindak cepat ini, sebenarnya presidenlah yang harus berdiri di depan memimpin masyarakat (seperti janjinya sendiri) untuk mencegah upaya serangan stroke KPK. Tetapi kenyataannya presiden kita hanya diam, padahal ingin terus bersolek dalam pencitraan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar