Jumat, 12 Oktober 2012

Polri Jangan Jadi Penonton


Polri Jangan Jadi Penonton
Edi Saputra Hasibuan ;  Anggota Kompolnas RI
MEDIA INDOENESIA, 11 Oktober 2012


MAHKAMAH Konstitusi (MK) baru-baru ini telah membatalkan ketentuan Pasal 36 ayat 1 dan 2 Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah yang mengatur perlunya persetujuan tertulis atau izin presiden jika penyidik kepolisian dan kejaksaan akan memeriksa kepala daerah atau wakilnya.

Dengan begitu, pemeriksaan kepala daerah/wakil kepala daerah, baik sebagai saksi maupun tersangka, kini tidak memerlukan lagi persetujuan tertulis atau izin presiden. Izin presiden hanya dibutuhkan ketika penyidik hendak menahan yang bersangkutan. Namun bila izin penahanan tidak dikeluarkan presiden dalam 30 hari sejak permohonan, penyidik bisa langsung menahan kepala daerah/wakil kepala daerah yang tersangkut hukum.

Keputusan MK itu tentu memberi keleluasaan kepada kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kepala daerah/wakil kepala daerah yang tersangkut hukum. Sebab, selama ini syarat izin presiden dalam proses penyidikan kepala daerah/wakil kepala daerah menghambat proses hukum. Padahal, proses hukum harus cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.

Jadi, keputusan MK tersebut seyogianya menjadi momentum bagi aparat kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus hukum kepala daerah/wakil kepala daerah, khususnya untuk meningkatkan kinerja mereka dalam pemberantasan korupsi. Kepolisian tidak dapat lagi berkelit tidak dapat memeriksa kepala daerah/ wakil kepala daerah karena izin presiden belum turun.

Sejauh ini, kami di Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai kinerja Polri dan kejaksaan dalam menangani kasus korupsi belum maksimal.

Masih Banyak Kendala

Selama ini izin presiden memang termasuk salah satu kendala lambannya penangan kasus hukum yang melibatkan kepala daerah/wakil kepala daerah. Sebab, untuk memperoleh izin, harus melalui birokrasi yang sangat panjang, mulai polda ke Mabes Polri hingga ke presiden. Karena itu, izin presiden baru turun berbulan-bulan sejak diajukan.

Kendala yang dihadapi Polri dalam menangani kasus hukum sebenarnya tidak hanya lamanya izin presiden turun. Sistem koordinasi yang kurang mendukung antara Polri dan kejaksaan dalam kasus korupsi juga menjadi kendala dalam penanganan kasus korupsi. Sering kali berkas kasus yang ditangani Polri mandek di kejaksaan tanpa alasan jelas.
Akibatnya, banyak pihak penyidik Polri yang frustrasi karena jerih payah mena ngani kasus hukum tanpa penyelesaian yang jelas di k kejaksaan. Sistem itu sudah w waktunya diubah jika polisi dan jaksa mau berprestasi Ironisnya, kedua lembaga penegak hukum itu merasa benar sendiri dan sering kali saling menyalahkan.

Persoalan lain, menurut polisi, selama ini ialah masih terbatasnya alat sadap yang dimiliki Polri. Padahal, saat ini Polri sudah memiliki sedikitnya tiga alat sadap yang dimiliki Bareskrim dan Polda Metro Jaya. Namun, polda lainnya belum memiliki alat tersebut. 

Kami berkeyakinan jika saja aparat berbaju cokelat itu memiliki keinginan kuat menuntaskan kasus korupsi, semua itu bisa ditangani dengan baik. Begitu juga dengan masalah sumber daya manusia dalam kasus korupsi. Patut diingat, penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu berasal dari Polri dan kejaksaan. Seharusnya anggota Polri yang pernah bekerja di KPK menularkan ilmu yang didapat itu di institusinya.

Kemudian dalam berbagai forum, Polri dan kejaksaan seringkali mengeluh soal keterbatasan dana saat menangani korupsi, termasuk dana untuk memanggil jasa saksi ahli. Dalam penanganan korupsi, ke jaksaan sering kali mempertanyakan keleng kapan saksi ahli dalam berkas yang diajukan Polri. Padahal, jika se Polri. Padahal, jika se mua bukti dan saksi yang diajukan, kehadiran saksi ahli tidak wajib disertakan. Tentu saja itu lagi-lagi hanya masalah koor dinasi yang kurang bagus antara Polri dan kejaksaan.

Faktor lain yang tidak kalah penting ialah faktor internal Polri yang sering kali memberi sumbangsih tidak jelasnya penanganan kasus hukum. Kerap kasus korupsi yang ditangani Polri hanya sampai tahap klarifikasi. Belakangan, hasil klarifikasi kasus dihentikan karena ada intervensi dari atasannya sendiri.

Dalam sejumlah kasus, tidak sedikit kasus ditangani Polri dihentikan karena intervensi dan kolusi aparatnya sendiri dengan pihak terkait kasus.
Namun dalam sejumlah kasus, banyak pula kasus korupsi yang dihentikan karena kebijakan oknum penyidik di lapangan. Modus yang disampaikan penyidik biasanya memberi alasan kasus dihentikan (SP3) karena tidak cukup bukti diajukan. Itu sungguh memprihatinkan. Kecenderungan demikian kadang terjadi karena ada kolusi antara oknum penyidik dan pelaku-pelaku koruptor.

Mengubah Diri

Bila melihat banyak persoalan yang terjadi dalam penanganan kasus korupsi, sudah saatnya Polri dan kejaksaan mengubah diri. Ja ngan jadi penonton yang baik buat KPK. Polri dan kejaksaan seharusnya juga bisa sebagai garda terdepan. Kedua lembaga itu seharusnya iri melihat keberhasilan KPK yang mendapat simpati dari masyarakat. Dengan maraknya kasus korupsi di negeri ini, sudah waktunya Polri dan kejaksaan ikut andil menjadi pahlawan pemberantasan korupsi di negeri ini.

Dalam berbagai hal, penulis tentu saja memberikan saran kepada Kapolri dan Jaksa Agung agar menya makan persepsi dalam pe nanganan kasus korupsi. Hal itu diperlukan agar berkas kasus yang di limpahkan ke kejaksaan tidak bolak-balik, yang berimplikasi pada lamanya penangan kasus korupsi itu sendiri.

Jika saja tiap polda dan kejaksaan di setiap provinsi menangani 10 kasus korupsi di wilayah masing-masing, kasus korupsi akan cepat diberantas di negeri ini.

Dalam kaitan masih banyaknya intervensi dari atasan ke bawah dalam penanganan korupsi, tentu diperlukan kebijakan internal yang menjamin tidak adanya intervensi dari atasan kepada penyidik. Kompolnas sebagai pengawas fungsional kinerja Polri tentu saja harus diberi kewenangan lebih untuk mengawasi semua kinerja fungsional tersebut.

Semua itu kita harapkan agar Polri bisa lebih profesional dalam bertugas. Kalau Polri ingin mendapatkan hati masyarakat, sudah saatnya membuat aturan khusus guna mengawasi kerja penyidik dalam menangani kasus korupsi. Pengawasan khusus itu diperlukan untuk meminimalkan kongkalikong antara penyidik dan tersangka dugaan korupsi.

Kiranya beberapa persoalan tersebut perlu segera dijadikan masukan bagi Polri dan kejaksaan agar kinerja mereka dalam penanganan korupsi dapat lebih optimal. Polri dan kejaksaan jangan terus jadi penonton, tapi sudah saatnya mencuri simpati masyarakat agar menjadi pahlawan bagi pemberantasan korupsi.

Setidaknya keputusan MK dapat dijadikan salah satu pintu masuk untuk membenahi kendala yang ada dalam penanganan korupsi. Semoga. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar