Polri Jangan
Jadi Penonton
Edi Saputra Hasibuan ; Anggota Kompolnas RI
|
MEDIA
INDOENESIA, 11 Oktober 2012
MAHKAMAH
Konstitusi (MK) baru-baru ini telah membatalkan ketentuan Pasal 36 ayat 1 dan 2
Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah yang mengatur perlunya persetujuan
tertulis atau izin presiden jika penyidik kepolisian dan kejaksaan akan
memeriksa kepala daerah atau wakilnya.
Dengan
begitu, pemeriksaan kepala daerah/wakil kepala daerah, baik sebagai saksi
maupun tersangka, kini tidak memerlukan lagi persetujuan tertulis atau izin
presiden. Izin presiden hanya dibutuhkan ketika penyidik hendak menahan yang
bersangkutan. Namun bila izin penahanan tidak dikeluarkan presiden dalam 30
hari sejak permohonan, penyidik bisa langsung menahan kepala daerah/wakil
kepala daerah yang tersangkut hukum.
Keputusan
MK itu tentu memberi keleluasaan kepada kepolisian dan kejaksaan untuk
menangani kepala daerah/wakil kepala daerah yang tersangkut hukum. Sebab,
selama ini syarat izin presiden dalam proses penyidikan kepala daerah/wakil
kepala daerah menghambat proses hukum. Padahal, proses hukum harus cepat,
sederhana, dan berbiaya ringan.
Jadi,
keputusan MK tersebut seyogianya menjadi momentum bagi aparat kepolisian dan
kejaksaan dalam menangani kasus hukum kepala daerah/wakil kepala daerah,
khususnya untuk meningkatkan kinerja mereka dalam pemberantasan korupsi.
Kepolisian tidak dapat lagi berkelit tidak dapat memeriksa kepala daerah/ wakil
kepala daerah karena izin presiden belum turun.
Sejauh ini, kami di Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai kinerja
Polri dan kejaksaan dalam menangani kasus korupsi belum maksimal.
Masih Banyak Kendala
Selama
ini izin presiden memang termasuk salah satu kendala lambannya penangan kasus
hukum yang melibatkan kepala daerah/wakil kepala daerah. Sebab, untuk
memperoleh izin, harus melalui birokrasi yang sangat panjang, mulai polda ke
Mabes Polri hingga ke presiden. Karena itu, izin presiden baru turun
berbulan-bulan sejak diajukan.
Kendala
yang dihadapi Polri dalam menangani kasus hukum sebenarnya tidak hanya lamanya
izin presiden turun. Sistem koordinasi yang kurang mendukung antara Polri dan
kejaksaan dalam kasus korupsi juga menjadi kendala dalam penanganan kasus
korupsi. Sering kali berkas kasus yang ditangani Polri mandek di kejaksaan
tanpa alasan jelas.
Akibatnya,
banyak pihak penyidik Polri yang frustrasi karena jerih payah mena ngani kasus
hukum tanpa penyelesaian yang jelas di k kejaksaan. Sistem itu sudah w waktunya
diubah jika polisi dan jaksa mau berprestasi Ironisnya, kedua lembaga penegak
hukum itu merasa benar sendiri dan sering kali saling menyalahkan.
Persoalan
lain, menurut polisi, selama ini ialah masih terbatasnya alat sadap yang
dimiliki Polri. Padahal, saat ini Polri sudah memiliki sedikitnya tiga alat
sadap yang dimiliki Bareskrim dan Polda Metro Jaya. Namun, polda lainnya belum
memiliki alat tersebut.
Kami berkeyakinan jika saja aparat berbaju cokelat itu
memiliki keinginan kuat menuntaskan kasus korupsi, semua itu bisa ditangani
dengan baik. Begitu juga dengan masalah sumber daya manusia dalam kasus
korupsi. Patut diingat, penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu
berasal dari Polri dan kejaksaan. Seharusnya anggota Polri yang pernah bekerja
di KPK menularkan ilmu yang didapat itu di institusinya.
Kemudian
dalam berbagai forum, Polri dan kejaksaan seringkali mengeluh soal keterbatasan
dana saat menangani korupsi, termasuk dana untuk memanggil jasa saksi ahli.
Dalam penanganan korupsi, ke jaksaan sering kali mempertanyakan keleng kapan
saksi ahli dalam berkas yang diajukan Polri. Padahal, jika se Polri. Padahal,
jika se mua bukti dan saksi yang diajukan, kehadiran saksi ahli tidak wajib
disertakan. Tentu saja itu lagi-lagi hanya masalah koor dinasi yang kurang
bagus antara Polri dan kejaksaan.
Faktor
lain yang tidak kalah penting ialah faktor internal Polri yang sering kali
memberi sumbangsih tidak jelasnya penanganan kasus hukum. Kerap kasus korupsi
yang ditangani Polri hanya sampai tahap klarifikasi. Belakangan, hasil
klarifikasi kasus dihentikan karena ada intervensi dari atasannya sendiri.
Dalam sejumlah kasus, tidak sedikit kasus ditangani Polri dihentikan karena
intervensi dan kolusi aparatnya sendiri dengan pihak terkait kasus.
Namun
dalam sejumlah kasus, banyak pula kasus korupsi yang dihentikan karena
kebijakan oknum penyidik di lapangan. Modus yang disampaikan penyidik biasanya
memberi alasan kasus dihentikan (SP3) karena tidak cukup bukti diajukan. Itu
sungguh memprihatinkan. Kecenderungan demikian kadang terjadi karena ada kolusi
antara oknum penyidik dan pelaku-pelaku koruptor.
Mengubah Diri
Bila
melihat banyak persoalan yang terjadi dalam penanganan kasus korupsi, sudah
saatnya Polri dan kejaksaan mengubah diri. Ja ngan jadi penonton yang baik buat
KPK. Polri dan kejaksaan seharusnya juga bisa sebagai garda terdepan. Kedua
lembaga itu seharusnya iri melihat keberhasilan KPK yang mendapat simpati dari
masyarakat. Dengan maraknya kasus korupsi di negeri ini, sudah waktunya Polri
dan kejaksaan ikut andil menjadi pahlawan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Dalam
berbagai hal, penulis tentu saja memberikan saran kepada Kapolri dan Jaksa
Agung agar menya makan persepsi dalam pe nanganan kasus korupsi. Hal itu
diperlukan agar berkas kasus yang di limpahkan ke kejaksaan tidak bolak-balik,
yang berimplikasi pada lamanya penangan kasus korupsi itu sendiri.
Jika
saja tiap polda dan kejaksaan di setiap provinsi menangani 10 kasus korupsi di
wilayah masing-masing, kasus korupsi akan cepat diberantas di negeri ini.
Dalam
kaitan masih banyaknya intervensi dari atasan ke bawah dalam penanganan
korupsi, tentu diperlukan kebijakan internal yang menjamin tidak adanya
intervensi dari atasan kepada penyidik. Kompolnas sebagai pengawas fungsional
kinerja Polri tentu saja harus diberi kewenangan lebih untuk mengawasi semua
kinerja fungsional tersebut.
Semua
itu kita harapkan agar Polri bisa lebih profesional dalam bertugas. Kalau Polri
ingin mendapatkan hati masyarakat, sudah saatnya membuat aturan khusus guna
mengawasi kerja penyidik dalam menangani kasus korupsi. Pengawasan khusus itu
diperlukan untuk meminimalkan kongkalikong antara penyidik dan tersangka dugaan
korupsi.
Kiranya
beberapa persoalan tersebut perlu segera dijadikan masukan bagi Polri dan
kejaksaan agar kinerja mereka dalam penanganan korupsi dapat lebih optimal. Polri
dan kejaksaan jangan terus jadi penonton, tapi sudah saatnya mencuri simpati
masyarakat agar menjadi pahlawan bagi pemberantasan korupsi.
Setidaknya
keputusan MK dapat dijadikan salah satu pintu masuk untuk membenahi kendala
yang ada dalam penanganan korupsi. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar