Reportase Diskusi Ulil Abshar-Abdalla
Membangun Harmoni
Mencipta Perdamaian
Evi Rahmawati ; Aktivis
Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI)
|
ISLAMLIB.COM,
10 Oktober 2012
Potret masyarakat Indonesia belakangan ini
merupa dalam wajah yang muram terhadap beragam perbedaan. Terutama perbedaan
pandangan seputar tafsiran agama. Persoalan yang terus mengemuka di antaranya
terkait isu pluralisme, terlebih yang melibatkan perdebatan dalam tubuh agama
itu sendiri. Juga, isu penodaan agama yang kembali mencuat, terutama dalam
konteks kemunculan film Innocence of
Muslim, yang karenanya sejarah kekerasan atas nama agama berulang, terutama
di negara-negara Timur Tengah yang sedang mengalami proses transisi menuju
pemerintahan demokratis. Perdebatan-perdebatan di dua wilayah gagasan tersebut,
dan gagasan lain terkait perbedaan pandangan dalam ajaran agama, semakin
menguat.
Pada workshop
jurnalis bertema “Memberitakan Isu Keberagaman” inisiasi Serikat Jurnalis untuk
Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang
(29/09), Ulil Abshar-Abdalla mengulas duduk perkara persolan-persoalan
tersebut, serta bagaimana negara bisa mengambil peran di dalamnya. Menurut
salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) ini, soal kebebasan beragama,
pluralisme, penistaan agama dan keragaman di dalam suatu agama, merupakan
perdebatan yang belum selesai hingga saat ini. Ia tidak bisa diprediksikan
khatam melalui satu generasi. Bangsa Eropa pernah mengalami perang agama yang
berlarut-larut selama kurun waktu kurang lebih 30 tahun. Masalah-masalah yang
diperdebatkan kalangan Muslim menyangkut persoalan-persoalan di atas, juga
sempat mengemuka di wilayah perdebatan bangsa Eropa saat itu.
Namun demikian, Ulil percaya bahwa
perdebatan-perdebatan tersebut akan selalu menarik dan sehat bilamana semakin
banyak masyarakat terlibat di dalamnya. Yang mengkhawatirkan justru ketika ia
diintervensi oleh otoritas tertentu, apakah itu otoritas agama ataupun politik.
Sikap semacam ini, bagi Ulil, bisa menghambat proses pendewasaan masyarakat
dalam menghadapi kompleksitas di tubuh agama. Di sini, kita bisa belajar dari
pengalaman bangsa Eropa. Dalam masa-masa sulit akibat perang agama, kendati
perdebatan-perdebatan terus meruncing, namun ia mampu melahirkan ide-ide bernas.
Kita kenal John Lock misalnya, berangkat dari masalah yang kurang lebih sama
atau bahkan lebih serius dari masalah yang kita hadapi sekarang, ia mampu
menulis sebuah traktat yang sangat terkenal, On Letter Concerning Toleration.
Di Indonesia resistensi terhadap pluralisme
memuncak selepas MUI menerbitkan fatwa haram gagasan ini di tahun 2005. Ulil
bisa memahami mengapa MUI menentang pluralisme. Ada anggapan bahwa pluralisme
merupakan sebuah gagasan yang mengisyaratkan semua agama itu sama benarnya.
Pluralisme dianggap meyakini asumsi bahwa kebenaran bukanlah monopoli salah
satu dari sekian banyak agama di dunia. Ini bertentangan dengan ajaran Islam
yang menganggap dirinya sebagai agama yang paling benar. Karena itu kemudian
MUI memfatwa haram gagasan tersebut. Sikap sebagaimana ditunjukkan MUI
sesungguhnya pernah juga diperlihatkan oleh kalangan gereja Katolik.
Vatikan
menegaskan bahwa gagasan pluralisme yang berarti menyamakan semua agama tidak
bisa diterima dalam ajaran Katolik. Demikianlah, agama-agama cenderung meyakini
bahwa ajarannya yang paling benar. Sesungguhnya keyakinan tersebut cukup
masuk akal bagi Ulil. Karena, melalui keyakinannya itulah seseorang memilih
untuk menetap di dalam agamanya.
Secara pribadi, demikian Ulil, ia percaya
bahwa semua agama itu benar. Dan baginya, cara MUI tidak begitu tepat dalam
mendefinisikan pluralisme. Gagasan ini tidak berpretensi menyamakan semua
agama, melainkan berupaya mencari dan akhirnya mempercayai keberadaan titik
temu pada setiap agama. Asumsinya memang berbeda-beda, namun yang menjadi
pertanyaannya: apakah memungkinkan ada titik temu dalam setiap agama? Kalangan
yang mengusung ide pluralisme menjawab, sangat mungkin.
Jika kita perhatikan,
hampir setiap agama memiliki keprihatinan yang sama terhadap persoalan-persoalan
seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan berbagai persoalan lain terkait dengan
kehidupan sosial. Di sinilah titik temu agama-agama menemukan bentuknya. Tetapi
ini baru satu titik yang dipertemukan oleh persoalan sosial.
Lebih jauh, Frithjof Schuon pernah menulis The Transcendent Unity of Religions yang
mengurai kemungkinan titik temu antaragama sampai pada level yang transenden,
atau tauhid. Sarjana Barat yang kemudian masuk Islam dan mengganti namanya
menjadi Isa Nuruddin Ahmad ini menelusuri titik temu antaragama melalui tradisi
Islam, dan ia menemukannya dalam pemikiran Ibn ‘Arabi. Filsuf Islam terkemuka
ini meyakini bahwa inti dari semua agama bisa saling dipertemukan. Jika pun
terdapat beberapa perbedaan, letaknya berada pada ranah perspektif. Ia kemudian
mencoba mengurai titik temu antara konsep trinitas dalam tradisi Kristiani
dengan konsep tauhid dalam Islam. Tentu saja ini menuai banyak sanggahan.
Tetapi poin utama yang ingin Ulil jelaskan di sini, bahkan dari kalangan
Islam sendiri, hadir para pemikir yang mencoba menelusuri titik temu antaragama
sampai pada tahap yang transenden.
Mengapa titik temu menjadi penting, sekaligus
menjelaskan mengapa kita perlu menolak fatwa haram MUI atas pluralisme. Jika
para penganut agama menyadari perihal titik temu agama-agama itu memang ada,
maka kemungkinan terjalinnya dialog antaragama yang sehat pun sangat lapang.
Melalui dialog inilah harmoni atau keselarasan sosial akan terbangun, lantas
seiring itu, perdamaian dunia dapat dicapai.
Sebagaimana diyakini Hans Kung, perdamaian
dunia hanya bisa dicapai jika terbangun harmoni antaragama. Harmoni bisa
dicapai apabila ruang dan kesadaran dialog antaragama mendapat tempat yang
leluasa di masyarakat. Menurut analisis teolog Katolik ini, salah satu pemicu
konflik besar di abad 20, selain ideologi-ideologi sekuler seperti fasisme,
kapitalisme dan nasional-sosialisme Nazi, juga adalah agama. Bahkan pasca
runtuhnya tembok Berlin tahun 1989, kecenderungan yang menggejala di balik
konflik-konflik besar dewasa ini, memiliki keterkaitan dengan masalah agama, di
samping isu etnisitas atau etno-nasionalisme. Maka, jika agama kemudian menjadi
pemantik memanasnya konflik, ide Hans Kung mengenai pentingnya dialog
antaragama memang sangat relevan dalam konteks masyarakat kita dewasa ini,
tandas Ulil.
Namun, dalam proses mendialogkan antaragama,
selalu ada perkara yang menjadi batu sandungan. Semisal mencuatnya isu
penghujatan agama atau blasphemy. Penjelasan informatif disampaikan Ulil
mengenai masalah terakhir ini. Sepanjang sejarah negara-negara Barat, blasphemy
berjejalin dengan merebaknya sekte-sekte di dalam agama Kristen. Blasphemy
tidak sama dengan hate speech atau
anti-semit atau, jika dikaitkan dengan Islam, Islamophobia. Ia merupakan sebuah pandangan yang muncul dari dalam
agama itu sendiri, yang dikemukakan oleh kelompok berbeda. Blasphemy lebih erat kaitannya dengan penafsiran tertentu dalam
sebuah agama. Ia merupakan pandangan, dan bukan penistaan, yang memang berbeda
dari pandangan paten kalangan mayoritas di tubuh agama itu sendiri.
Karena blasphemy
datang dari dalam rahim yang sama, bukan dari lingkar luar, maka Ulil
berpendapat bahwa film Innocence of
Muslim yang memancing kemarahan luar biasa beberapa waktu lalu itu, tidak
bisa dikategorikan sebagai blasphemy,
karena ia datang dari seorang Kristen Koptik. Menurutnya, film ini lebih
mendekati islamophobia.
Menanggapi langkah Presiden SBY yang
mengajukan Resolusi Protokol Internasional anti-Penodaan Agama atau blasphemy ke hadapan sidang PBB beberapa
waktu lalu, Ulil berpendapat bahwa langkah tersebut kurang tepat. Hukum atas blasphemy sudah ditinggalkan oleh
bangsa-bangsa di negara lain. Kendati masih ada yang bertahan seperti di
Massachusetts, misalnya. Namun harus dicermati alasan mengapa hukum ini tidak
lagi relevan. Pertama, karena ini adalah hukum usang yang mengusung semangat haart artikelen warisan orde baru, yang
saat itu dipakai untuk menekan para aktivis yang kritis terhadap rezim otoriter
tersebut. Hukum ini juga sangat diskriminatif, semangat yang dimilikinya bukan
untuk menghargai perbedaan, melainkan memberangusnya sedemikian rupa. Ini
pernah berlaku di negara-negara Eropa. Dahulu, hukum atas blasphemy dimanipulasi sebagai alat kaum mayoritas untuk menindas
kalangan minoritas. Di Prancis misalnya, karena di sana Katolik begitu dominan,
maka kalangan Protestan kerap menjadi sasaran hukum blasphemy ini. Sebaliknya di Inggris, giliran Katolik yang menjadi
korban.
Dalam kitab hukum Indonesia, UU PNPS 1965
melalui pasal 156a mewujud sebagai pasal karet yang kerap dimanipulasi untuk
menjerat kalangan minoritas. Karenanya, bagi Ulil, undang-undang ini perlu
dikaji ulang, bahkan dihapus saja semestinya. Sebab, undang-undang ini
berpotensi menumpulkan kedewasaan para pemeluk agama dalam menyikapi perbedaan
pandangan di tubuh agamanya sendiri. Dengan begitu, diskriminasi akan terus
melebar, kalangan Ahmadiyah dan Syiah serta minoritas lain, terancam dibatasi
ruang geraknya.
Lagipula, berbeda pandangan merupakan hak
paten dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Bukan hanya itu, hak
ini juga, dalam konsepsi political rights,
tidak bisa dilepaskan dari dua hak lainnya yang saling berkelindan: hak untuk
mengekspresikan pendapat serta hak untuk berserikat. Jika seseorang memiliki
suatu pandangan tertentu, maka ia juga punya hak untuk menyuarakan pandangannya
serta mengorganisir masyarakat yang memiliki pandangan serupa. Sebagai
idealisme HAM, ini merupakan tiga hak dalam satu paket, tegas Ulil. Dan peran
negara adalah hadir dengan kesadaran serta tanggung jawab untuk melindungi tiga
hak tersebut. Manakala negara sadar akan peran pentingnya ini, maka akan ada
satu upaya untuk memproduksi serta menegakkan hukum yang bisa mengakomodir
ketiga hak tersebut.
Bergerak pada poin terakhir, Ulil menyinggung
hubungan peran negara dan otoritas agama. Agama punya hak untuk mendakwahi
umatnya, dan negara berkewajiban melindungi setiap komponen masyarakat untuk
menjalankan agama atau apapun yang diyakininya. Negara harus netral di hadapan
semua agama. Ini sesungguhnya cita-cita yang terkandung dalam gagasan
sekularisme mutakhir. Twin toleration
yang diprakarsai Alfred Stepan menyampaikan kepada kita bahwa sekularisme
dewasa ini tidak lagi mengusung sikap permusuhannya terhadap agama sebagaimana
diperlihatkan sekularisme kuno yang masih dianut oleh sisa-sisa negara komunis,
seperti RRC.
Toleransi kembar yang menjadi inti gagasan sekularisme mutakhir
ini menganut konsepsi bahwa toleransi dibutuhkan dari kedua belah pihak: agama
dan negara. Negara menoleransi agama dengan tidak mencampuri urusan mereka, dan
agama tidak mengintervensi negara untuk memaksakan pandangannya. Dengan begitu,
keduanya bisa menghargai satu sama lain.
Jika MUI, sebagai representasi dari kalangan
mayoritas Islam Sunni di Indonesia memiliki sebuah pandangan yang kemudian
diwujudkan dalam bentuk fatwa: Ahmadiyah keluar dari Islam, misalnya, itu
bagian dari hak berpendapat mereka. MUI boleh berpendapat seperti itu, lantas
menyatakannya ke hadapan publik serta mengorganisir masyarakat yang sepemahaman
dengan mereka. Hanya saja, harus dibedakan antara pandangan yang dianut dalam
sebuah agama, dengan undang-undang yang dianut oleh sebuah negara. Di
sini letak pentingnya klarifikasi ide. Banyak orang yang pemikirannya masih
rancu dalam memandang masalah ini, sehingga menimbulkan kebingungan. Dan
kebingungan tersebut akhirnya melahirkan praktek perundang-undangan yang saling
bertabrakan antara satu dengan yang lainnya.
Jika negara ini memang menganut sistem
demokrasi, maka ia bukan milik satu golongan saja. Karena itu, negara tidak
bisa mengadopsi fatwa MUI sebagai representasi golongan tertentu, ke dalam
level undang-undang. Karena dengan demikian, melalui hukum tersebut negara
telah menegasikan hak masyarakat lain yang berbeda pendapat dengan kalangan
yang diakomodirnya. Undang-undang bersifat mengikat semua orang, karenanya ia
harus bisa mengakomodir hak semua orang pula, bukan hak mayoritas saja. Jika
negara mampu mengkhidmati perannya dengan menegakkan undang-undang yang
menghargai setiap perbedaan di masyarakat, maka harmoni akan terbangun dan
cita-cita perdamaian dunia bisa tercapai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar