Jumat, 12 Oktober 2012

Membangun Harmoni Mencipta Perdamaian


Reportase Diskusi Ulil Abshar-Abdalla

Membangun Harmoni Mencipta Perdamaian
Evi Rahmawati ;  Aktivis Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI)
ISLAMLIB.COM, 10 Oktober 2012


Potret masyarakat Indonesia belakangan ini merupa dalam wajah yang muram terhadap beragam perbedaan. Terutama perbedaan pandangan seputar tafsiran agama. Persoalan yang terus mengemuka di antaranya terkait isu pluralisme, terlebih yang melibatkan perdebatan dalam tubuh agama itu sendiri. Juga, isu penodaan agama yang kembali mencuat, terutama dalam konteks kemunculan film Innocence of Muslim, yang karenanya sejarah kekerasan atas nama agama berulang, terutama di negara-negara Timur Tengah yang sedang mengalami proses transisi menuju pemerintahan demokratis. Perdebatan-perdebatan di dua wilayah gagasan tersebut, dan gagasan lain terkait perbedaan pandangan dalam ajaran agama, semakin menguat.

Pada workshop jurnalis bertema “Memberitakan Isu Keberagaman” inisiasi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang (29/09), Ulil Abshar-Abdalla mengulas duduk perkara persolan-persoalan tersebut, serta bagaimana negara bisa mengambil peran di dalamnya. Menurut salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) ini, soal kebebasan beragama, pluralisme, penistaan agama dan keragaman di dalam suatu agama, merupakan perdebatan yang belum selesai hingga saat ini. Ia tidak bisa diprediksikan khatam melalui satu generasi. Bangsa Eropa pernah mengalami perang agama yang berlarut-larut selama kurun waktu kurang lebih 30 tahun. Masalah-masalah yang diperdebatkan kalangan Muslim menyangkut persoalan-persoalan di atas, juga sempat mengemuka di wilayah perdebatan bangsa Eropa saat itu.

Namun demikian, Ulil percaya bahwa perdebatan-perdebatan tersebut akan selalu menarik dan sehat bilamana semakin banyak masyarakat terlibat di dalamnya. Yang mengkhawatirkan justru ketika ia diintervensi oleh otoritas tertentu, apakah itu otoritas agama ataupun politik. Sikap semacam ini, bagi Ulil, bisa menghambat proses pendewasaan masyarakat dalam menghadapi kompleksitas di tubuh agama. Di sini, kita bisa belajar dari pengalaman bangsa Eropa. Dalam masa-masa sulit akibat perang agama, kendati perdebatan-perdebatan terus meruncing, namun ia mampu melahirkan ide-ide bernas. Kita kenal John Lock misalnya, berangkat dari masalah yang kurang lebih sama atau bahkan lebih serius dari masalah yang kita hadapi sekarang, ia mampu menulis sebuah traktat yang sangat terkenal, On Letter Concerning Toleration.

Di Indonesia resistensi terhadap pluralisme memuncak selepas MUI menerbitkan fatwa haram gagasan ini di tahun 2005. Ulil bisa memahami mengapa MUI menentang pluralisme. Ada anggapan bahwa pluralisme merupakan sebuah gagasan yang mengisyaratkan semua agama itu sama benarnya. Pluralisme dianggap meyakini asumsi bahwa kebenaran bukanlah monopoli salah satu dari sekian banyak agama di dunia. Ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menganggap dirinya sebagai agama yang paling benar. Karena itu kemudian MUI memfatwa haram gagasan tersebut. Sikap sebagaimana ditunjukkan MUI sesungguhnya pernah juga diperlihatkan oleh kalangan gereja Katolik. 

Vatikan menegaskan bahwa gagasan pluralisme yang berarti menyamakan semua agama tidak bisa diterima dalam ajaran Katolik. Demikianlah, agama-agama cenderung meyakini bahwa ajarannya yang paling benar.  Sesungguhnya keyakinan tersebut cukup masuk akal bagi Ulil. Karena, melalui keyakinannya itulah seseorang memilih untuk menetap di dalam agamanya.

Secara pribadi, demikian Ulil, ia percaya bahwa semua agama itu benar. Dan baginya, cara MUI tidak begitu tepat dalam mendefinisikan pluralisme. Gagasan ini tidak berpretensi menyamakan semua agama, melainkan berupaya mencari dan akhirnya mempercayai keberadaan titik temu pada setiap agama. Asumsinya memang berbeda-beda, namun yang menjadi pertanyaannya: apakah memungkinkan ada titik temu dalam setiap agama? Kalangan yang mengusung ide pluralisme menjawab, sangat mungkin. 

Jika kita perhatikan, hampir setiap agama memiliki keprihatinan yang sama terhadap persoalan-persoalan seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan berbagai persoalan lain terkait dengan kehidupan sosial. Di sinilah titik temu agama-agama menemukan bentuknya. Tetapi ini baru satu titik yang dipertemukan oleh persoalan sosial.

Lebih jauh, Frithjof Schuon pernah menulis The Transcendent Unity of Religions yang mengurai kemungkinan titik temu antaragama sampai pada level yang transenden, atau tauhid. Sarjana Barat yang kemudian masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Isa Nuruddin Ahmad ini menelusuri titik temu antaragama melalui tradisi Islam, dan ia menemukannya dalam pemikiran Ibn ‘Arabi. Filsuf Islam terkemuka ini meyakini bahwa inti dari semua agama bisa saling dipertemukan. Jika pun terdapat beberapa perbedaan, letaknya berada pada ranah perspektif. Ia kemudian mencoba mengurai titik temu antara konsep trinitas dalam tradisi Kristiani dengan konsep tauhid dalam Islam. Tentu saja ini menuai banyak sanggahan. Tetapi poin utama yang ingin Ulil jelaskan di sini,  bahkan dari kalangan Islam sendiri, hadir para pemikir yang mencoba menelusuri titik temu antaragama sampai pada tahap yang transenden.

Mengapa titik temu menjadi penting, sekaligus menjelaskan mengapa kita perlu menolak fatwa haram MUI atas pluralisme. Jika para penganut agama menyadari perihal titik temu agama-agama itu memang ada, maka kemungkinan terjalinnya dialog antaragama yang sehat pun sangat lapang. Melalui dialog inilah harmoni atau keselarasan sosial akan terbangun, lantas seiring itu, perdamaian dunia dapat dicapai.

Sebagaimana diyakini Hans Kung, perdamaian dunia hanya bisa dicapai jika terbangun harmoni antaragama. Harmoni bisa dicapai apabila ruang dan kesadaran dialog antaragama mendapat tempat yang leluasa di masyarakat. Menurut analisis teolog Katolik ini, salah satu pemicu konflik besar di abad 20, selain ideologi-ideologi sekuler seperti fasisme, kapitalisme dan nasional-sosialisme Nazi, juga adalah agama. Bahkan pasca runtuhnya tembok Berlin tahun 1989, kecenderungan yang menggejala di balik konflik-konflik besar dewasa ini, memiliki keterkaitan dengan masalah agama, di samping isu etnisitas atau etno-nasionalisme. Maka, jika agama kemudian menjadi pemantik memanasnya konflik, ide Hans Kung mengenai pentingnya dialog antaragama memang sangat relevan dalam konteks masyarakat kita dewasa ini, tandas Ulil.

Namun, dalam proses mendialogkan antaragama, selalu ada perkara yang menjadi batu sandungan. Semisal mencuatnya isu penghujatan agama atau blasphemy. Penjelasan informatif disampaikan Ulil mengenai masalah terakhir ini. Sepanjang sejarah negara-negara Barat, blasphemy berjejalin dengan merebaknya sekte-sekte di dalam agama Kristen. Blasphemy tidak sama dengan hate speech atau anti-semit atau, jika dikaitkan dengan Islam, Islamophobia. Ia merupakan sebuah pandangan yang muncul dari dalam agama itu sendiri, yang dikemukakan oleh kelompok berbeda. Blasphemy lebih erat kaitannya dengan penafsiran tertentu dalam sebuah agama. Ia merupakan pandangan, dan bukan penistaan, yang memang berbeda dari pandangan paten kalangan mayoritas di tubuh agama itu sendiri.

Karena blasphemy datang dari dalam rahim yang sama, bukan dari lingkar luar, maka Ulil berpendapat bahwa film Innocence of Muslim yang memancing kemarahan luar biasa beberapa waktu lalu itu, tidak bisa dikategorikan sebagai blasphemy, karena ia datang dari seorang Kristen Koptik. Menurutnya, film ini lebih mendekati islamophobia.

Menanggapi langkah Presiden SBY yang mengajukan Resolusi Protokol Internasional anti-Penodaan Agama atau blasphemy ke hadapan sidang PBB beberapa waktu lalu, Ulil berpendapat bahwa langkah tersebut kurang tepat. Hukum atas blasphemy sudah ditinggalkan oleh bangsa-bangsa di negara lain. Kendati masih ada yang bertahan seperti di Massachusetts, misalnya. Namun harus dicermati alasan mengapa hukum ini tidak lagi relevan. Pertama, karena ini adalah hukum usang yang mengusung semangat haart artikelen warisan orde baru, yang saat itu dipakai untuk menekan para aktivis yang kritis terhadap rezim otoriter tersebut. Hukum ini juga sangat diskriminatif, semangat yang dimilikinya bukan untuk menghargai perbedaan, melainkan memberangusnya sedemikian rupa. Ini pernah berlaku di negara-negara Eropa. Dahulu, hukum atas blasphemy dimanipulasi sebagai alat kaum mayoritas untuk menindas kalangan minoritas. Di Prancis misalnya, karena di sana Katolik begitu dominan, maka kalangan Protestan kerap menjadi sasaran hukum blasphemy ini. Sebaliknya di Inggris, giliran Katolik yang menjadi korban.

Dalam kitab hukum Indonesia, UU PNPS 1965 melalui pasal 156a mewujud sebagai pasal karet yang kerap dimanipulasi untuk menjerat kalangan minoritas. Karenanya, bagi Ulil, undang-undang ini perlu dikaji ulang, bahkan dihapus saja semestinya. Sebab, undang-undang ini berpotensi menumpulkan kedewasaan para pemeluk agama dalam menyikapi perbedaan pandangan di tubuh agamanya sendiri. Dengan begitu, diskriminasi akan terus melebar, kalangan Ahmadiyah dan Syiah serta minoritas lain, terancam dibatasi ruang geraknya.

Lagipula, berbeda pandangan merupakan hak paten dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Bukan hanya itu, hak ini juga, dalam konsepsi political rights, tidak bisa dilepaskan dari dua hak lainnya yang saling berkelindan: hak untuk mengekspresikan pendapat serta hak untuk berserikat. Jika seseorang memiliki suatu pandangan tertentu, maka ia juga punya hak untuk menyuarakan pandangannya serta mengorganisir masyarakat yang memiliki pandangan serupa. Sebagai idealisme HAM, ini merupakan tiga hak dalam satu paket, tegas Ulil. Dan peran negara adalah hadir dengan kesadaran serta tanggung jawab untuk melindungi tiga hak tersebut. Manakala negara sadar akan peran pentingnya ini, maka akan ada satu upaya untuk memproduksi serta menegakkan hukum yang bisa mengakomodir ketiga hak tersebut.

Bergerak pada poin terakhir, Ulil menyinggung hubungan peran negara dan otoritas agama. Agama punya hak untuk mendakwahi umatnya, dan negara berkewajiban melindungi setiap komponen masyarakat untuk menjalankan agama atau apapun yang diyakininya. Negara harus netral di hadapan semua agama. Ini sesungguhnya cita-cita yang terkandung dalam gagasan sekularisme mutakhir. Twin toleration yang diprakarsai Alfred Stepan menyampaikan kepada kita bahwa sekularisme dewasa ini tidak lagi mengusung sikap permusuhannya terhadap agama sebagaimana diperlihatkan sekularisme kuno yang masih dianut oleh sisa-sisa negara komunis, seperti RRC. 

Toleransi kembar yang menjadi inti gagasan sekularisme mutakhir ini menganut konsepsi bahwa toleransi dibutuhkan dari kedua belah pihak: agama dan negara. Negara menoleransi agama dengan tidak mencampuri urusan mereka, dan agama tidak mengintervensi negara untuk memaksakan pandangannya. Dengan begitu, keduanya bisa menghargai satu sama lain.

Jika MUI, sebagai representasi dari kalangan mayoritas Islam Sunni di Indonesia memiliki sebuah pandangan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk fatwa: Ahmadiyah keluar dari Islam, misalnya, itu bagian dari hak berpendapat mereka. MUI boleh berpendapat seperti itu, lantas menyatakannya ke hadapan publik serta mengorganisir masyarakat yang sepemahaman dengan mereka. Hanya saja, harus dibedakan antara pandangan yang dianut dalam sebuah agama, dengan undang-undang yang dianut oleh sebuah negara.  Di sini letak pentingnya klarifikasi ide. Banyak orang yang pemikirannya masih rancu dalam memandang masalah ini, sehingga menimbulkan kebingungan. Dan kebingungan tersebut akhirnya melahirkan praktek perundang-undangan yang saling bertabrakan antara satu dengan yang lainnya.

Jika negara ini memang menganut sistem demokrasi, maka ia bukan milik satu golongan saja. Karena itu, negara tidak bisa mengadopsi fatwa MUI sebagai representasi golongan tertentu, ke dalam level undang-undang. Karena dengan demikian, melalui hukum tersebut negara telah menegasikan hak masyarakat lain yang berbeda pendapat dengan kalangan yang diakomodirnya. Undang-undang bersifat mengikat semua orang, karenanya ia harus bisa mengakomodir hak semua orang pula, bukan hak mayoritas saja. Jika negara mampu mengkhidmati perannya dengan menegakkan undang-undang yang menghargai setiap perbedaan di masyarakat, maka harmoni akan terbangun dan cita-cita perdamaian dunia bisa tercapai. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar