Babak Baru
Revolusi Suriah
Hasibullah Satrawi ; Pengamat politik Timur Tengah dan Dunia Islam
|
MEDIA
INDOENESIA, 11 Oktober 2012
KETEGANGAN
antara Suriah dan Turki bisa menjadi babak baru dalam perjalanan revolusi
Suriah. Telah dimaklumi, Turki marah besar terhadap serangan mortir dari Suriah
yang menewaskan lima orang dari masyarakat sipil di Akcakale, 3 Oktober lalu.
Turki pun langsung melakukan serangan balasan yang dikabarkan juga memakan
korban tewas, termasuk dari unsur militer Suriah. Bahkan Turki saat ini telah
mendapatkan mandat dari parlemen setempat untuk mengambil langkah-langkah yang
dianggap sesuai dengan perkembangan krisis Suriah-Turki (As-Sharq Al-Awsat,
5/10).
Dalam
beberapa hari terakhir, saling serang di antara kedua negara semakin intensif.
Ankara mengklaim semua serangan yang dilakukan dalam rangka membela diri dari
serangan Damaskus, sedangkan Damaskus justru kerap mengkritik Ankara yang
dituduh membuka perbatasannya bagi anasir pejuang asing yang masuk ke Suriah.
Duel Tim Besar
Revolusi
di Suriah sudah berumur kurang lebih 18 bulan dengan korban yang terus
menggunung. Namun, sejauh ini belum ada penyelesaian komprehensif dan
menyeluruh bagi krisis politik yang terjadi, sekaligus dapat diterima semua
pihak terkait.
Sementara
itu, keterlibatan pihak-pihak asing dalam krisis politik Suriah semakin terang-benderang
bagai siang, baik asing dalam konteks regional (seperti Iran, Arab Saudi,
Qatar, dan Turki) maupun dalam konteks global (seperti Amerika Serikat dan
sekutunya, Rusia, dan China), sesering apa pun pihak-pihak tersebut menampik
keterlibatan dalam krisis politik yang terjadi di Suriah saat ini.
Perjalanan
revolusi di Suriah memang berbeda dengan revolusi yang pernah bergulir di
negara-negara Arab lain dalam setahun terakhir. Salah satunya disebabkan
banyaknya pihak asing yang terlibat (lebih pasnya melibatkan diri) untuk
memperkuat `jago' masingmasing; rezim Bashar al-Assad bagi Hizbullah (di
Libanon), Iran, Rusia, dan China; kelompok revolusi atau oposisi bagi Turki,
Qatar, Arab Saudi, dan AS beserta sekutu-sekutunya.
Dalam
beberapa kesempatan, penulis kerap menggunakan pertandingan sepak bola untuk
menggambarkan apa yang saat ini terjadi di Suriah. Laiknya sepak bola, krisis
politik di Suriah melibatkan banyak pihak dengan posisi dan proporsi yang
berbeda-beda. Tujuannya sama, yaitu menaklukkan ‘tim lawan’ dengan ‘gol’
sebanyakbanyaknya.
Kini
setelah 18 bulan berlalu, pertandingan ‘dua tim besar’ di Suriah saat ini bisa
dikatakan masih dalam posisi imbang. Hari demi hari, saling serang di antara
kedua pihak terus berlangsung alot di semua lini, mulai dari lini pertahanan,
tengah, sayap, hingga penyerang. Bahkan kedua pelatih tim di luar lapangan duel
sering terlibat dalam perang pernyataan untuk membela tim masing-masing. Hal
yang kurang lebih sama juga dilakukan para suporter yang hanya menyaksikan
pertarungan di tribune lapangan atau bahkan dari layar televisi di rumah
masing-masing.
Sebagaimana
dalam dunia sepak bola, duel tim besar selalu kekurangan jatah wasit yang
dianggap bisa menjadi pengadil di tengah lapangan. Hal itu pula yang saat ini
kurang lebih juga terjadi dalam krisis politik di Suriah.
Kofi
Annan, contohnya, yang pernah ditunjuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
dan Liga Arab untuk menjadi wasit di Suriah, pada akhirnya mengundurkan diri
karena merasa tidak mendapatkan dukungan dari pihak-pihak terkait. Adapun
Ibrahimi, yang ditunjuk menggantikan Annan oleh PBB dan Liga Arab, masih
terlalu diragukan untuk menjadi seperti Annan alih-alih menjadi wasit yang
didambakan semua pihak terkait.
Faktanya, Ibrahimi sampai hari ini hanya bisa
menggelar pertemuan demi pertemuan dan mengeluarkan pernyataan demi pernyataan
tanpa adanya proposal yang konkret untuk mengakhiri krisis politik di Suriah.
Meski
demikian, krisis politik di Suriah bukanlah tontonan atau hiburan seperti
halnya sepak bola. Apa yang terjadi di Suriah ialah tragedi kemanusiaan.
Masyarakat sipil terus berjatuhan dalam jumlah puluhan bahkan ratusan setiap
hari.
Intervensi Turki
Dalam
konteks demikian, insiden di perbatasan SuriahTurki sebagaimana telah
disebutkan bisa membawa konflik itu pada babak baru, bahkan mungkin juga final.
Babak baru ini bisa berawal dari intervensi Turki secara militer terhadap
krisis politik yang terjadi di Suriah, sebelum akhirnya melibatkan sekutu AS
secara lebih luas, khususnya NATO.
Setidaknya
ada dua hal yang sangat mungkin diklaim Turki sebagai alasan legal untuk
mengintervensi Suriah secara militer. Pertama, alasan kemanusiaan. Selama ini
sekutusekutu AS (tak terkecuali Turki) kerap mendesak rezim Al-Assad untuk
segera mundur karena dianggap telah gagal mencegah tragedi kemanusiaan di
negaranya sendiri. Apalagi krisis politik di sana sudah memakan korban lebih
dari 30 ribu jiwa.
Alih-alih,
rezim Al-Assad justru semakin ganas menyerang kelompok revolusi. Hal itu
terlihat dari jumlah korban jiwa yang mencapai puluhan atau bahkan ratusan
dalam setiap hari. Rezim Al-Assad menggunakan alasan ‘melawan kelompok teroris’
dalam melakukan politik pembantaian kemanusiaan tersebut.
Kedua,
alasan membela diri. Sebagai negara tetangga, Turki selama ini kerap terkena
imbas negatif dari gejolak politik yang terjadi di Suriah. Bila operasi militer
rezim Bashar al-Assad dalam menghadapi kaum revo lusi dapat disebut sebagai
mandi untuk membersihkan Suriah dari para pemberontak, Turki-lah yang kemudian
menjadi tempat pembuangan air got yang meluncur keras dari Suriah. Apalagi
Turki selama ini sudah tiga kali menjadi target operasi dari militer Suriah.
Yang terakhir ialah serangan mortir dari Suriah yang membuat lima warga Turki
tewas, sebagaimana telah disebutkan.
Sejauh
ini Turki tampak sangat geram terhadap Suriah. Selain karena kerap menerima
dampak buruk dari krisis yang terjadi di Suriah, juga karena Damaskus dianggap
mempermainkan Angkara melalui aksi-aksi para pemberontak Kurdi yang semakin
intens dalam beberapa waktu terakhir di negeri sekuler itu.
Kendati
demikian, Turki tampak tidak mau `memukul tetangga' dengan tangannya sendiri,
setidaknya tidak dengan cara sendirian. Itulah sebabnya Turki kerap mengadukan
kejahatan yang dilakukan Suriah kepada sekutu-sekutunya, khususnya NATO.
Harapannya ialah NATO dapat turun tangan langsung ke Suriah sebagaimana pernah
terjadi di Libia. Dengan demikian, sekali melangkah, Turki bisa melampaui tiga
sampai empat pulau sekaligus.
Bila
benar demikian, tampaknya Turki harus bisa lebih bersabar lagi dalam beberapa
minggu ke depan untuk melihat `Suriah yang dikeroyok', mengingat kebatinan
politik di internal NATO saat ini tampak berbeda dengan ketika terjadi revolusi
Libia yang menyeret negara-negara Eropa (khususnya Prancis) ke barisan terdepan
konflik bersama Khadafi.
Apalagi saat ini AS disibukkan dengan persoalan politik
internal dalam rangka menyongsong pilpres pada November mendatang. Itulah
kurang lebih pesan tersirat dari pernyataan para petinggi NATO yang menyatakan
memahami serangan balasan Turki dalam insiden terakhir dengan Suriah, tapi
sekaligus meminta Ankara menahan diri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar