Rabu, 10 Oktober 2012

Autokritik Mega dan Hedonistis DPR


Autokritik Mega dan Hedonistis DPR
FS Swantoro ;  Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA, 09 Oktober 2012


"Megawati pantas kesal karena perilaku kadernya di DPR kontradiktif dengan slogan PDIP sebagai partai wong cilik"

PADA saat partai politik dan elite di DPR menjadi bagian dari korupsi dan pelemahan KPK, menarik menyimak autokritik Megawati Soekarnoputri. Autokritik itu antara lain agar parpol  turun ke bawah dan bergerak bersama rakyat. Cara itu bisa memperbaiki kepercayaan rakyat terhadap partai yang kini merosot tajam.

Mega juga menyoroti perilaku hedonistis yang dipamerkan sejumlah anggota parlemen. Dia menyatakan kecewa banyak anggota DPR terjerat korupsi. Secara blak-blakan, dia menyebut banyak elite PDIP menjadi borjuis baru, lupa kewajibannya menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat.

Megawati pantas kesal karena perilaku kadernya di DPR kontradiktif dengan slogan PDIP sebagai partai wong cilik. Bahkan beberapa hasil survei yang pernah dirilis Transparency International Indonesia (TII) dan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), menunjukkan bahwa DPR dan partai sebagai lembaga yang paling korup.

Banyak elite partai dan anggota DPR bertabiat hedonis sesungguhnya bukan hal baru. Begitu pula, bukan hanya terjadi pada elite PDIP. Karena elite politik dengan perilaku sama bertebaran di banyak partai. Elite partai di eksekutif dan legislatif, sudah tak malu lagi hidup hedonis.

Meski anggota DPR terus dihujat, tengok saja tempat parkir gedung DPR tak ubahnya showroom mobil paling mewah di Asia. Sementara pada saat jutaan rakyat masih berkubang kemiskinan banyak elite partai mempertontonkan kekayaan yang diperoleh dengan menggarong uang rakyat.

Sebenarnya, menjadi orang kaya adalah hak tiap orang dan agama tidak melarangnya. Yang menjadi persoalan ketika seseorang menjadi hedonis kemudian menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekayaan itu. Pola hidup hedonis melahirkan kerakusan dan ketamakan yang tak pernah kenyang.

Celakanya, untuk mengejar gaya hedonis itu, mereka menyalahgunakan kekuasaan. Itu yang layak dikutuk dan membuat korupsi menggurita seperti sekarang. Siapa pun tahu bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa sangat merusak sendi-sendi kehidupan negara.

Menarik data yang diungkap Sekretaris Kabinet Dipo Alam (28/9), soal pejabat negara dari partai yang korupsi sudah tak terbantahkan. Menurut Dipo, selama Oktober 2004 - September 2012, SBY telah mengeluarkan 176 izin tertulis untuk memeriksa mereka.  Dari jumlah itu, 79% adalah kasus korupsi dan sisanya kasus lain. Golkar pada urutan terbanyak, 64 orang (36,36 %), disusul PDIP 32 orang (18,18 %), dan Demokrat 20 orang (11,36 %).

Apa makna dari data itu? Pasti ada target yang ingin dicapai terkait Pemilu 2014. Tampaknya Dipo ingin menyuguhkan fakta kepada publik bahwa Demokrat bukanlah partai terkorup. Masih ada partai yang peringkat di atasnya. Fakta lain, hampir semua parpol setali tiga uang, sama-sama korupsi. Bahkan partai menengah dan kecil yang selama ini kritis seperti PKS dan Hanura ada dalam daftar itu.

Muncul reaksi keras dari elite Golkar dan PKS bahwa tindakan Dipo bernuansa politis. Sekitar dua tahun lagi akan digelar Pemilu 2014. Seperti kita ketahui, belakangan ini Demokrat menjadi hujatan publik sejak keterungkapan korupsi mantan Bendahara Umum Nazaruddin yang ikut menyeret banyak kader Demokrat. Partai itu menjadi bulan-bulanan media dan dipersepsikan sebagai partai terkorup.

Pembersihan Internal

Lalu, apa tak ada cara lain bagi Demokrat untuk mendongkrak citra? Rasanya sulit karena publik sekarang sudah muak dengan segala bentuk pencitraan, apalagi ulah elite partai di DPR yang belakangan ini ingin melemahkan KPK. Citra mereka merosot karena terkesan plin-plan. Semua tindakan baik pun dicurigai sebagai bentuk pencitraan hingga muncul autokritik dari Megawati Soekarnoputri.

Karena itu, apa yang diungkapkan Dipo Alam, belum tentu menuai hasil seperti yang diharapkan. Alih-alih membuat publik bersimpati kepada Demokrat, malah sebaliknya muak terhadap partai, terkait dengan upaya pelemahan KPK oleh Komisi III DPR. Ada benang merah yang kasat mata, betapa anggota DPR dan partai merupakan sumber malapetaka di republik ini.

Padahal masih ada cara lain yang bisa dilakukan parpol untuk memperbaiki citra. Misalnya secara serius melakukan pembersihan internal tanpa menunggu proses hukum. Lihat di Jepang, Korea Selatan, atau di negara Eropa. Begitu seorang politikus disebut terindikasi korupsi, tanpa menunggu proses hukum yang memakan waktu, atas kemauan sendiri ia mengundurkan diri berkonsentrasi menjalani pemeriksaan, sekaligus menjaga objektivitas pemeriksaan.

Bisakah pimpinan partai di sini meminta kadernya mundur jika mereka terindikasi korupsi seperti Anas Urbaningrum, Andi Alifian Mallarangeng, Nirwan Amir dan sebagainya? Sepertinya sulit bin mustahil.

Karena itu, menutup ruang korupsi di lingkungan kader partai merupakan langkah penting untuk memerangi korupsi di DPR. Dengan demikian, autokritik Megawati patut diapresiasi. Itu mestinya juga dilakukan ketua umum partai-partai lain. Tak kalah penting keteladanan pimpinan nasional dan pimpinan partai agar kader mereka di DPR tidak korupsi dan hedonis. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar