Autokritik
Mega dan Hedonistis DPR
FS Swantoro ; Peneliti
dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 09 Oktober 2012
"Megawati pantas kesal karena perilaku
kadernya di DPR kontradiktif dengan slogan PDIP sebagai partai wong cilik"
PADA saat partai politik dan elite di DPR
menjadi bagian dari korupsi dan pelemahan KPK, menarik menyimak autokritik
Megawati Soekarnoputri. Autokritik itu antara lain agar parpol turun ke
bawah dan bergerak bersama rakyat. Cara itu bisa memperbaiki kepercayaan rakyat
terhadap partai yang kini merosot tajam.
Mega juga menyoroti perilaku hedonistis yang
dipamerkan sejumlah anggota parlemen. Dia menyatakan kecewa banyak anggota DPR
terjerat korupsi. Secara blak-blakan, dia menyebut banyak elite PDIP menjadi
borjuis baru, lupa kewajibannya menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Megawati pantas kesal karena perilaku
kadernya di DPR kontradiktif dengan slogan PDIP sebagai partai wong cilik.
Bahkan beberapa hasil survei yang pernah dirilis Transparency International
Indonesia (TII) dan Soegeng Sarjadi
Syndicate (SSS), menunjukkan bahwa DPR dan partai sebagai lembaga yang
paling korup.
Banyak elite partai dan anggota DPR bertabiat
hedonis sesungguhnya bukan hal baru. Begitu pula, bukan hanya terjadi pada
elite PDIP. Karena elite politik dengan perilaku sama bertebaran di banyak
partai. Elite partai di eksekutif dan legislatif, sudah tak malu lagi hidup
hedonis.
Meski anggota DPR terus dihujat, tengok saja
tempat parkir gedung DPR tak ubahnya showroom
mobil paling mewah di Asia. Sementara pada saat jutaan rakyat masih berkubang
kemiskinan banyak elite partai mempertontonkan kekayaan yang diperoleh dengan
menggarong uang rakyat.
Sebenarnya, menjadi orang kaya adalah hak
tiap orang dan agama tidak melarangnya. Yang menjadi persoalan ketika seseorang
menjadi hedonis kemudian menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekayaan
itu. Pola hidup hedonis melahirkan kerakusan dan ketamakan yang tak pernah
kenyang.
Celakanya, untuk mengejar gaya hedonis itu,
mereka menyalahgunakan kekuasaan. Itu yang layak dikutuk dan membuat korupsi
menggurita seperti sekarang. Siapa pun tahu bahwa korupsi sebagai kejahatan
luar biasa sangat merusak sendi-sendi kehidupan negara.
Menarik data yang diungkap Sekretaris Kabinet
Dipo Alam (28/9), soal pejabat negara dari partai yang korupsi sudah tak
terbantahkan. Menurut Dipo, selama Oktober 2004 - September 2012, SBY telah mengeluarkan
176 izin tertulis untuk memeriksa mereka. Dari jumlah itu, 79% adalah
kasus korupsi dan sisanya kasus lain. Golkar pada urutan terbanyak, 64 orang
(36,36 %), disusul PDIP 32 orang (18,18 %), dan Demokrat 20 orang (11,36 %).
Apa makna dari data itu? Pasti ada target
yang ingin dicapai terkait Pemilu 2014. Tampaknya Dipo ingin menyuguhkan fakta
kepada publik bahwa Demokrat bukanlah partai terkorup. Masih ada partai yang
peringkat di atasnya. Fakta lain, hampir semua parpol setali tiga uang, sama-sama
korupsi. Bahkan partai menengah dan kecil yang selama ini kritis seperti PKS
dan Hanura ada dalam daftar itu.
Muncul reaksi keras dari elite Golkar dan PKS
bahwa tindakan Dipo bernuansa politis. Sekitar dua tahun lagi akan digelar
Pemilu 2014. Seperti kita ketahui, belakangan ini Demokrat menjadi hujatan
publik sejak keterungkapan korupsi mantan Bendahara Umum Nazaruddin yang ikut
menyeret banyak kader Demokrat. Partai itu menjadi bulan-bulanan media dan
dipersepsikan sebagai partai terkorup.
Pembersihan
Internal
Lalu, apa tak ada cara lain bagi Demokrat
untuk mendongkrak citra? Rasanya sulit karena publik sekarang sudah muak dengan
segala bentuk pencitraan, apalagi ulah elite partai di DPR yang belakangan ini
ingin melemahkan KPK. Citra mereka merosot karena terkesan plin-plan. Semua
tindakan baik pun dicurigai sebagai bentuk pencitraan hingga muncul autokritik
dari Megawati Soekarnoputri.
Karena itu, apa yang diungkapkan Dipo Alam,
belum tentu menuai hasil seperti yang diharapkan. Alih-alih membuat publik
bersimpati kepada Demokrat, malah sebaliknya muak terhadap partai, terkait
dengan upaya pelemahan KPK oleh Komisi III DPR. Ada benang merah yang kasat
mata, betapa anggota DPR dan partai merupakan sumber malapetaka di republik
ini.
Padahal masih ada cara lain yang bisa
dilakukan parpol untuk memperbaiki citra. Misalnya secara serius melakukan
pembersihan internal tanpa menunggu proses hukum. Lihat di Jepang, Korea
Selatan, atau di negara Eropa. Begitu seorang politikus disebut terindikasi
korupsi, tanpa menunggu proses hukum yang memakan waktu, atas kemauan sendiri
ia mengundurkan diri berkonsentrasi menjalani pemeriksaan, sekaligus menjaga
objektivitas pemeriksaan.
Bisakah pimpinan partai di sini meminta
kadernya mundur jika mereka terindikasi korupsi seperti Anas Urbaningrum, Andi
Alifian Mallarangeng, Nirwan Amir dan sebagainya? Sepertinya sulit bin
mustahil.
Karena itu, menutup ruang korupsi di
lingkungan kader partai merupakan langkah penting untuk memerangi korupsi di
DPR. Dengan demikian, autokritik Megawati patut diapresiasi. Itu mestinya juga
dilakukan ketua umum partai-partai lain. Tak kalah penting keteladanan pimpinan
nasional dan pimpinan partai agar kader mereka di DPR tidak korupsi dan
hedonis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar