Gas Kita untuk
Siapa?
Nila Kurnia Sari ; Pemerhati
Sektor Energi
|
KORAN
TEMPO, 06 Oktober 2012
Pembangunan kilang gas Donggi
Senoro menjadi sangat penting mengingat pada saat ini pertumbuhan produksi gas
bumi nasional masih sangat kecil dibandingkan dengan pertumbuhan kebutuhan
industri nasional.
Ke mana larinya
gas yang disedot dari bumi kita? Idealnya, hasil olahan gas menjadi bahan bakar
gas digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan selebihnya baru
diekspor. Tanpa perlu diperdebatkan lagi, pola ideal itu sudah diperkuat oleh
payung hukum yang kuat.
Pasal 8
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas mengamanatkan kepada pemerintah
untuk memberikan prioritas terhadap pemanfaatan gas bumi buat kebutuhan dalam
negeri. Bahkan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat telah meminta pemerintah untuk
lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan gas dalam negeri daripada melakukan
ekspor ke sejumlah negara.
Tuntutan itu tak
lepas dari pemahaman akan tingginya kebutuhan gas dalam negeri. Sedangkan
ketersediaan bahan bakar tersebut tidak mencukupi. Menurut data dari
Kementerian ESDM, kebutuhan gas dalam negeri saat ini mencapai sekitar 7.803
million metric standard cubic feet per day (MMSCFD), namun baru terpenuhi
sekitar 7.500 MMSCFD. Tentu saja, kekurangan sebanyak 300 MMSCFD tersebut
ditutupi dengan mengimpor gas dari luar negeri.
Faktanya, dalam periode
2004-2011, Indonesia mengekspor sebagian besar liquid natural gas (LNG). Data
dari Kementerian ESDM menunjukkan persentase ekspor gas ke luar negeri adalah
53 persen. Hanya sekitar 41,2 persen yang digunakan untuk keperluan domestik,
dan 5,8 persen lainnya terbuang. Alokasi untuk domestik ini pun masih harus
dikurangi dengan konsumsi pemakaian sebesar 6,5 persen. Artinya, total yang
dimanfaatkan oleh masyarakat hanyalah 34,7 persen.
Peraturan
Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2010 tentang alokasi dan pemanfaatan gas bumi
menyebutkan, kebutuhan dalam negeri hanya 25 persen dari hasil produksi
kontraktor sesuai dengan pasal 4 ayat 20. Hal itu tidak hanya kontradiktif
dengan Pasal 8 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, namun juga bertentangan
dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa sumber daya alam dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat..
Alokasi yang
sangat sedikit tersebut menyebabkan sekitar 332 industri di Tanah Air terancam
gulung tikar. Penyebabnya tidak lain adalah, sebagian besar mereka
menggantungkan keberlangsungan produksi pada ketersediaan bahan bakar gas.
Keberadaan
domestic market obligation (DMO) gas diyakini mampu mengurai persoalan
kekurangan pasokan gas di dalam negeri. Permasalahannya, kisruh kekurangan gas
tersebut bersumber dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang lebih memilih
ekspor daripada domestik, alih-alih harga jual di pasar domestik yang lebih
rendah dibanding luar negeri.
Pemerintah
melalui Peraturan Menteri ESDM No. 3/2010 mewajibkan KKKS menyerahkan 25 persen
dari produksi gas bumi bagian kontraktor guna memenuhi keperluan domestik dalam
rangka DMO. Namun, dalam prakteknya, DMO gas itu memang tidak bisa begitu saja
langsung diterapkan kalau infrastruktur pendukungnya tidak tersedia. Seperti
yang terjadi saat ini, aturan DMO gas seakan tidak ada artinya karena
ketentuannya masih longgar dan harus ekonomis.
Pembahasan
mengenai ketersediaan gas dalam negeri ini sempat menemukan titik terang pada
pertengahan 2009. Jusuf Kalla, wakil presiden pada masa itu, mengangkat polemik
isu proyek Donggi Senoro. Melalui surat No. 23/WP/7/2009, Kalla menyampaikan
fatwa menolak permohonan izin ekspor. Sebelumnya, sebagian besar hasil produksi
proyek kilang gas yang terletak di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tenggara,
tersebut direncanakan diekspor ke Jepang dan Korea.
Donggi Senoro
ini sangat strategis dan merupakan harapan terbesar akan pemenuhan kebutuhan
gas domestik. Dengan kapasitasnya diprediksi mencapai 335 MMSCFD, atau terbesar
dibanding kilang Arun, Bontang, dan Tangguh, kilang gas ini dapat mewujudkan
ketahanan energi nasional apabila dimanfaatkan dengan lebih bijak.
Dalam memonya
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bernomor 22/WP/6/2009, disebutkan
bahwa energi/gas bumi harus terlebih dulu dipakai untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Ekspor hanya dapat dilakukan jika masih ada kelebihan produksi di
atas kebutuhan dalam negeri.
Bukan hanya itu,
Kalla juga telah memberi arahan kepada Menteri ESDM, PT Pertamina, dan BP Migas
untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan gas dalam negeri. Dengan mengatur
penggunaan produksi kilang LNG Donggi Senoro, diharapkan permintaan gas dalam
negeri dapat terpenuhi.
Sayangnya,
seiring dengan pergantian pemerintah pada akhir 2009, kebijakan alokasi gas
kembali berubah. Pasar dalam negeri akhirnya hanya menerima sekitar 25-30
persen dari hasil kilang gas Donggi Senoro. Tak kurang dari 70 persen hasil
produksi Donggi Senoro akan diseberangkan ke Jepang dan Korea.
Donggi Senoro
merupakan ladang gas yang ditemukan pada sekitar 2005. Melalui proses tender
oleh Pertamina, Proyek kilang gas tersebut akhirnya ditangani oleh Mitsubishi,
yang kemudian membentuk konsorsium Donggi Senoro bersama Pertamina, Pertamina
EP, dan Medco Energi. Protes terhadap persentase pembagian hasil produksi yang
tidak wajar tersebut kembali muncul pada medio 2012, dua tahun sebelum
pengapalan pertama yang ditargetkan dapat dilakukan pada 2014.
Menanggapi hal
itu, mantan General Manager JOB Medco-Pertamina, Hendra Jaya, mengatakan gas
terpaksa diekspor karena konsumen domestik tidak ada yang berminat pada saat
produksi gas dari blok Matindok dan Senoro ditawarkan. "PLN tidak mau
terima," kata Hendra di gedung DPD, akhir Juli lalu. Padahal,
kenyataannya, PLN merupakan satu dari sekian banyak industri yang mengharapkan
pasokan gas dari kilang gas ini.
Pembangunan
kilang gas Donggi Senoro menjadi sangat penting mengingat pada saat ini
pertumbuhan produksi gas bumi nasional masih sangat kecil dibandingkan dengan
pertumbuhan kebutuhan industri nasional. Apabila tidak dikelola dengan baik,
defisit gas bumi dalam negeri, sebagaimana diprediksi, akan mengakibatkan
terhambatnya pembangunan nasional di sektor industri.
Pemerintah sudah
sepantasnya memberikan perhatian yang baik pada ketersediaan gas dalam negeri,
khususnya pada proyek kilang gas Donggi Senoro yang sedang dalam masa
persiapan. Kiranya, komitmen alokasi ekspor gas Donggi Senoro perlu ditinjau
kembali dengan melakukan renegosiasi dengan pihak pembeli dari luar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar