Selasa, 09 Oktober 2012

Capres Alternatif


Capres Alternatif
Israr Iskandar ;  Dosen Sejarah Politik Universitas Andalas Padang
REPUBLIKA, 8 Oktober 2012


Kemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama dalam Pemilukada DKI Jakarta baru-baru ini tak hanya memberi harapan perubahan bagi warga Ibu Kota. Hal itu juga dapat memberi sejumlah inspirasi politik terkait potensi tampilnya tokoh-tokoh alternatif dalam bursa kepemimpinan nasional, khususnya menghadapi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014.

Tokoh alternatif dimaksud adalah tipikal pemimpin baru, tidak hanya sebagai hasil proses regenerasi, tetapi juga memiliki visi perubahan jelas dan tegas yang didasarkan pada rekam jejak (track record) kapasitas maupun integritasnya. Adakah fenomena Jokowi akan menjadi tren, termasuk dalam bursa capres 2014?

Pola Oligarki

Pada mulanya, pemimpin alternatif identik dengan pemimpin dari kalangan muda dengan karakter progresif, transformatif, dan visioner. Merujuk pada sejarah Indonesia sendiri, perintis negara dan pemimpin nasional pada awal kemerdekaan pada umumnya dari kalangan berusia 30-an dan awal 40-an tahun, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, IJ Kasimo, dan Natsir.

Sayangnya, saat ini ketika pemimpin alternatif dari kalangan muda diharapkan tampil meneruskan estafet kepemimpinan (nasional maupun lokal) dan mengibarkan bendera perubahan, citra pemimpin muda justru buruk dan terpuruk. Banyak tokoh muda terlibat korupsi, bergaya hidup hedonis, dan terjebak dalam pencitraan absurd. Dalam konteks inilah, publik mulai sangsi. Mereka melihat perilaku tokoh muda ternyata tidak jauh berbeda, bahkan lebih gawat, dibandingkan senior mereka.

Padahal, sebenarnya tidak semua tokoh politik muda korup dan hedonis.
Walaupun sebagian tokoh muda saat ini lahir dan pernah hidup dalam sistem Orde Baru, tidak semua mereka terjangkiti virus dan tabiat rezim otoriter itu dalam urusan menjalankan amanat publik. Masih banyak figur muda berkualitas dalam arti visioner, progresif, transformatif, berintegritas baik, dan mampu menjaga jarak dengan sistem kuasa korup sekalipun mereka lahir dari `rahim' zaman pragmatis.

Tersumbatnya laju figur alternatif, termasuk kalangan muda, lebih karena wacana kepemimpinan saat ini didominasi elite partai politik yang didominasi generasi lebih senior. Akibatnya, sebagian besar tokoh yang muncul dan dimunculkan masih stok lama dan didominasi politikus partai politik itu sendiri.

Partai politik seakan masih menjadi satu-satunya sumber rekrutmen dan produsen pemimpin politik, termasuk capres dan kepala daerah (Muhtadi, 2012).

Padahal, di luar partai politik masih banyak figur berkualitas, dalam arti kompeten dan berintegritas baik, namun peluang dan kesempatan mereka berkompetisi di arena politik nyaris nihil. Gagasan menutup peluang calon perseorangan dalam RUU Pemilukada belakangan ini merupakan contoh dan indikasi betapa kuatnya hegemoni partaipartai, terutama partai-partai besar, dalam proses kepemimpinan politik, termasuk di aras lokal.

Secara internal, partai-partai sendiri sebenarnya juga memiliki tokoh-tokoh progresif dan berintegritas kuat, tapi kans mereka sering terhambat oligarki partai yang ingin mempertahankan status quo. Tak banyak tersedia mekanisme internal partai untuk legowo membuka peluang bagi figur alternatif sekalipun dari partai mereka sendiri. Ketua umum partai hampir selalu menjadi pemegang tiket tunggal capres dari partai bersangkutan sekalipun tidak memiliki rekam jejak kepemimpinan yang meyakinkan.

Fenomena Jokowi

Fenomena Jokowi akhir-akhir ini memang seakan membalikkan keadaan.
Pada mulanya, wali kota Solo ini kurang dilirik oleh parpolnya sendiri untuk maju di Jakarta, tapi kuatnya desakan `arus bawah' telah membuat elite PDI Perjuangan memajukan dia sebagai pilihan. Namun, fenomena Jokowi ini agaknya belum akan menjadi kecenderungan kuat dalam bursa kepemimpinan nasional 2014.

Survei akhir-akhir ini menunjukkan, proyeksi calon-calon presiden untuk dimajukan dalam Pilpres 2014 masih didominasi wajah lama. Kalaupun muncul beberapa figur alternatif, termasuk luar partai politik, mereka masih kalah populer dibandingkan figur-figur lama.

Masyarakat Indonesia sebenarnya merindukan perubahan dalam arti sesungguhnya. Mereka menafsirkan kata perubahan itu bukan sekadar pergantian pejabat, melainkan perubahan tipikal dan pola kepemimpinan politik ke arah lebih progresif. Di sejumlah daerah, pergeseran pola perilaku politik masyarakat itu sendiri kemudian termanifestasikan dengan terpilihnya sejumlah kepala daerah berkualitas dalam arti progresif dan visioner, seperti di Solo, Surabaya, dan Sawahlunto.

Menghadapi 2014, figur alternatif harus terus dicari dan dimunculkan. Di sinilah peran strategis media dan masyarakat sipil, seperti dilakukan Gerakan Indonesia Memilih sekarang ini. Sekalipun sebagian media, terutama televisi yang memiliki jangkauan luas, juga tak terlepas dari muatan kepentingan (politik) tertentu, media bersama masyarakat sipil umumnya harus senantiasa menjaga, mendorong, sekaligus memfasilitasi tampilnya figur-figur alternatif supaya publik tidak terpaku pada stok figur yang digadang-gadang partai. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar