Capres
Alternatif
Israr Iskandar ; Dosen Sejarah Politik Universitas Andalas Padang
|
REPUBLIKA,
8 Oktober 2012
Kemenangan
pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama dalam Pemilukada DKI Jakarta
baru-baru ini tak hanya memberi harapan perubahan bagi warga Ibu Kota. Hal itu
juga dapat memberi sejumlah inspirasi politik terkait potensi tampilnya
tokoh-tokoh alternatif dalam bursa kepemimpinan nasional, khususnya menghadapi
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Tokoh
alternatif dimaksud adalah tipikal pemimpin baru, tidak hanya sebagai hasil
proses regenerasi, tetapi juga memiliki visi perubahan jelas dan tegas yang
didasarkan pada rekam jejak (track record)
kapasitas maupun integritasnya. Adakah fenomena Jokowi akan menjadi tren,
termasuk dalam bursa capres 2014?
Pola Oligarki
Pada
mulanya, pemimpin alternatif identik dengan pemimpin dari kalangan muda dengan
karakter progresif, transformatif, dan visioner. Merujuk pada sejarah Indonesia
sendiri, perintis negara dan pemimpin nasional pada awal kemerdekaan pada
umumnya dari kalangan berusia 30-an dan awal 40-an tahun, seperti Soekarno,
Hatta, Sjahrir, IJ Kasimo, dan Natsir.
Sayangnya,
saat ini ketika pemimpin alternatif dari kalangan muda diharapkan tampil
meneruskan estafet kepemimpinan (nasional maupun lokal) dan mengibarkan bendera
perubahan, citra pemimpin muda justru buruk dan terpuruk. Banyak tokoh muda
terlibat korupsi, bergaya hidup hedonis, dan terjebak dalam pencitraan absurd.
Dalam konteks inilah, publik mulai sangsi. Mereka melihat perilaku tokoh muda
ternyata tidak jauh berbeda, bahkan lebih gawat, dibandingkan senior mereka.
Padahal,
sebenarnya tidak semua tokoh politik muda korup dan hedonis.
Walaupun sebagian tokoh muda saat ini lahir dan pernah hidup dalam sistem Orde Baru, tidak semua mereka terjangkiti virus dan tabiat rezim otoriter itu dalam urusan menjalankan amanat publik. Masih banyak figur muda berkualitas dalam arti visioner, progresif, transformatif, berintegritas baik, dan mampu menjaga jarak dengan sistem kuasa korup sekalipun mereka lahir dari `rahim' zaman pragmatis.
Walaupun sebagian tokoh muda saat ini lahir dan pernah hidup dalam sistem Orde Baru, tidak semua mereka terjangkiti virus dan tabiat rezim otoriter itu dalam urusan menjalankan amanat publik. Masih banyak figur muda berkualitas dalam arti visioner, progresif, transformatif, berintegritas baik, dan mampu menjaga jarak dengan sistem kuasa korup sekalipun mereka lahir dari `rahim' zaman pragmatis.
Tersumbatnya
laju figur alternatif, termasuk kalangan muda, lebih karena wacana kepemimpinan
saat ini didominasi elite partai politik yang didominasi generasi lebih senior.
Akibatnya, sebagian besar tokoh yang muncul dan dimunculkan masih stok lama dan
didominasi politikus partai politik itu sendiri.
Partai politik seakan masih menjadi satu-satunya sumber rekrutmen dan produsen
pemimpin politik, termasuk capres dan kepala daerah (Muhtadi, 2012).
Padahal,
di luar partai politik masih banyak figur berkualitas, dalam arti kompeten dan
berintegritas baik, namun peluang dan kesempatan mereka berkompetisi di arena
politik nyaris nihil. Gagasan menutup peluang calon perseorangan dalam RUU
Pemilukada belakangan ini merupakan contoh dan indikasi betapa kuatnya hegemoni
partaipartai, terutama partai-partai besar, dalam proses kepemimpinan politik,
termasuk di aras lokal.
Secara
internal, partai-partai sendiri sebenarnya juga memiliki tokoh-tokoh progresif
dan berintegritas kuat, tapi kans mereka sering terhambat oligarki partai yang
ingin mempertahankan status quo. Tak
banyak tersedia mekanisme internal partai untuk legowo membuka peluang bagi figur alternatif sekalipun dari partai
mereka sendiri. Ketua umum partai hampir selalu menjadi pemegang tiket tunggal
capres dari partai bersangkutan sekalipun tidak memiliki rekam jejak
kepemimpinan yang meyakinkan.
Fenomena Jokowi
Fenomena
Jokowi akhir-akhir ini memang seakan membalikkan keadaan.
Pada mulanya, wali kota Solo ini kurang dilirik oleh parpolnya sendiri untuk maju di Jakarta, tapi kuatnya desakan `arus bawah' telah membuat elite PDI Perjuangan memajukan dia sebagai pilihan. Namun, fenomena Jokowi ini agaknya belum akan menjadi kecenderungan kuat dalam bursa kepemimpinan nasional 2014.
Pada mulanya, wali kota Solo ini kurang dilirik oleh parpolnya sendiri untuk maju di Jakarta, tapi kuatnya desakan `arus bawah' telah membuat elite PDI Perjuangan memajukan dia sebagai pilihan. Namun, fenomena Jokowi ini agaknya belum akan menjadi kecenderungan kuat dalam bursa kepemimpinan nasional 2014.
Survei
akhir-akhir ini menunjukkan, proyeksi calon-calon presiden untuk dimajukan
dalam Pilpres 2014 masih didominasi wajah lama. Kalaupun muncul beberapa figur
alternatif, termasuk luar partai politik, mereka masih kalah populer
dibandingkan figur-figur lama.
Masyarakat
Indonesia sebenarnya merindukan perubahan dalam arti sesungguhnya. Mereka
menafsirkan kata perubahan itu bukan sekadar pergantian pejabat, melainkan
perubahan tipikal dan pola kepemimpinan politik ke arah lebih progresif. Di
sejumlah daerah, pergeseran pola perilaku politik masyarakat itu sendiri
kemudian termanifestasikan dengan terpilihnya sejumlah kepala daerah
berkualitas dalam arti progresif dan visioner, seperti di Solo, Surabaya, dan
Sawahlunto.
Menghadapi
2014, figur alternatif harus terus dicari dan dimunculkan. Di sinilah peran
strategis media dan masyarakat sipil, seperti dilakukan Gerakan Indonesia
Memilih sekarang ini. Sekalipun sebagian media, terutama televisi yang memiliki
jangkauan luas, juga tak terlepas dari muatan kepentingan (politik) tertentu,
media bersama masyarakat sipil umumnya harus senantiasa menjaga, mendorong,
sekaligus memfasilitasi tampilnya figur-figur alternatif supaya publik tidak
terpaku pada stok figur yang digadang-gadang partai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar