Pemilukada
Tidak Langsung
Taufiq Hidayat ; Anggota Komisi II DPR-RI Fraksi Golkar
|
REPUBLIKA,
11 Oktober 2012
Yang
menarik perhatian dari beberapa rekomendasi Musyawarah Nasional (Munas) Alim
Ulama PBNU 14-17 September di Cirebon adalah pemilihan umum kepala daerah
(pemilukada) secara tidak langsung. Kepala daerah diusulkan untuk dipilih oleh
DPRD, kembali seperti pada masa sebelum era reformasi. Isu ini semakin hangat
dan relevan, mengingat di Badan Legislatif (Baleg) DPR RI sedang dibahas RUU
Pemda yang dipilah, meliputi RUU Pilkada dan RUU Desa.
Alasan
yang diberikan oleh Munas tersebut adalah pemilukada langsung dapat menimbulkan
maraknya politik uang yang dapat merusak moral politik bangsa, menyedot biaya
besar, serta rentan konflik horizontal dan tidak sesuai dengan Pancasila.
Pemilukada langsung yang tujuan awalnya diharapkan dapat menghasilkan pemimpin
yang lebih aspiratif, dalam perjalanan pelaksanaannya jauh panggang dari api.
Bila
kita perhatikan perjalanan pemilukada langsung hingga hari ini, secara cepat
kita mungkin bisa memahami mengapa Munas Alim Ulama PBNU mengeluarkan
rekomendasi mengenai perlunya pelaksanaan pemilukada tidak langsung. Uraian
rekomendasi Munas Alim Ulama PBNU tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pertama,
meski rumit dibuktikan, politik uang adalah rahasia umum yang kerap kali
terjadi selama pra dan saat pemilukada berlangsung. Dalam jangka panjang,
politik uang ini, akan merusak sendi-sendi moral politik kepemimpinan bangsa.
Karena, yang akan terjadi tentu saja terpilihnya kepala daerah dengan kekuatan
uang di belakangnya.
Pemilukada
langsung menyedot biaya besar. Alasan kedua yang dikemukakan Munas Alim Ulama
PBNU ini adalah fakta riil. Selama proses pemilukada langsung dilaksanakan,
dana APBD yang dipergunakan bisa sampai ratusan miliar rupiah. Belum lagi bila
pemilukada berlangsung dua putaran. Maka, dana APBD yang dikeluarkan bisa dua
kali lipat.
Selanjutnya,
pelibatan langsung rak yat sebagai pemilih menimbulkan kerentanan bagi
munculnya konflik horizontal. Seperti yang terjadi di beberapa daerah, konflik
massa pendukung pasangan calon kepala daerah telah menjadi tren yang tidak bisa
diabaikan begitu saja. Konflik yang melibatkan massa pendukung dan simpatisan
pasangan calon tertentu itu bisa meluas menjadi konflik horizontal yang akut.
Lebih
jauh, menurut rekomendasi Munas Alim Ulama PBNU, pemilukada langsung tidak
sesuai dengan Pancasila karena Pancasila menganut sistem musyawarah mufakat.
Maka, sistem pemilihan langsung melalui cara voting bertentangan dengan prinsip demokrasi Pancasila.
Berdasarkan
alasan-alasan yang diberikan oleh rekomendasi Munas Alim Ulama PBNU di atas,
yang bisa dinilai relevan adalah alasan mengenai biaya tinggi dan
ketidaksesuaian dengan sistem demokrasi Pancasila. Sementara itu, alasan
mengenai politik uang dan konflik horizontal bisa jadi kurang relevan.
Pada
pemilukada tidak langsung, bisa jadi kekuasaan kembali menjadi oligarki karena
sistem pemilihan melalui DPRD akan mengembalikan kekuasaan politik kepada
partai politik; kepada kekuasaan elite politik. Oleh karena itu, kualitas
kepemimpinan bisa saja masih menyisakan tanda tanya besar. Sebab, baik melalui
pemilukada langsung atau pun pemilukada tidak langsung, keduanya sama-sama
menghasilkan kepemimpinan kekuasaan uang.
Dampak
kerusakan moral politik bangsa dalam konteks politik uang sepertinya dapat
dihindarkan bila kesadaran memilih masyarakat berorientasi memilih kepemimpinan
yang sejati. Serta, bila partai politik telah mampu membedakan antara bekerja
untuk partai politik dan negara.
Pemilukada
langsung maupun pemilukada tidak langsung akan menyisakan konflik horizontal
yang meluas bila mas sa pendukung pasangan calon kepala daerah membawa
persaingan ke arena di luar aturan main. Konflik ini biasanya rentan terjadi
usai pemilihan berlangsung. Sebenarnya, bila ditengok konflik horizontal yang
terjadi terkait pemilukada, daya cegahnya terletak pada pasangan calon kepala
daerah beserta elite-elite politik yang menyertai di belakangnya.
Di
tengah -meminjam ungkapan Victor W Turner (Edith Turner, 1990) ketidakkeruan
negara karena limbung (state liminality
as a limbo) saat ini, peran organisasi masyarakat, seperti NU dan
Muhammadiyah dalam mencegah kebiasaan politik uang serta konflik horizontal
selama ini sangatlah signifikan. Oleh karena itu, seperti diteliti Alfred Stepan
dan Juan Linz (1996), serta Larry Diamond (1997), peran organisasi masyarakat
sipil dalam proses demokratisasi dan kontrol politik untuk penciptaan good governance dan clean government dalam arena politik tak bisa diremehkan.
Rekomendasi Munas Alim Ulama PBNU mengenai
pemilukada tidak lang sung ini tidak serta-merta bisa dinilai telah melenceng
dari amanat Reformasi 1998 dan demokrasi.
Namun, rekomendasi tersebut dapat
dijadikan pertimbangan faktual serta nasihat berharga mengenai penilaian ter
hadap efektivitas proses pelaksanaan pemilukada langsung dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar