MDGs dan
Pedesaan
Razali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
|
REPUBLIKA,
11 Oktober 2012
Pencanangan
pembangunan milenium (MDGs) yang ditandatangani oleh para pe mimpin/kepala negara
di New York pada 2000 dengan sasaran delapan goal merupakan target agregat yang
perlu dicapai suatu negara. Dengan ketetapan target itu, masing-masing negara
berupaya mengaplikasikannya ke level pemerintahan di bawahnya. Adapun untuk
Indonesia, aplikasi pencapaian target MDGs ditetapkan hingga level
kabupaten/kota.
Namun
sayangnya, aplikasi pencapaian target itu tidak dirinci menurut daerah
perkotaan dan pedesaan. Boleh jadi tidak dilakukannya disagregasi target MDGs
menurut perkotaan dan pedesaan ketika MDGs dicanangkan karena asumsi bahwa
pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah pemerintahan akan berlaku secara
adil dan merata antara perkotaan dan pedesaan.
Ternyata,
asumsi itu tidak berlaku dan pembangunan yang dilakukan umumnya bias ke
perkotaan. Maka, pencanangan MDGs yang sejatinya dimaksudkan untuk program
penyelamatan bangsa secara keseluruhan, mungkin tidak berjalan seiring antara
perkotaan dan pedesaan.
Maka,
tampak bahwa pencapaian MDGs di perkotaan sesuai target (on track), sedangkan untuk pedesaan kondisinya justru memburuk.
Secara faktual, lebih dari dua pertiga penduduk miskin di Tanah Air menetap di
pedesaan.
Atas
dasar itu, meski pencanangan MDGs dengan delapan goal dilakukan secara agregat,
namun dalam konteks negara sepatutnya perlu dirinci menurut daerah perkotaan
dan pedesaan. Pemilahan daerah perkotaan dan pedesaan itu sekaligus menjadi
instrumen evaluasi kinerja pemerintah dalam pemerataan pembangunan, terutama
antara perkotaan dan pedesaan.
Evaluasi
ketimpangan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan tampaknya perlu dilakukan
secara berkesinambungan. Hal ini mengingat, pembangunan pedesaan kian
tertinggal, terutama sejak berakhirnya pembangunan pedesaan yang pernah
dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada era 1980-an.
Semasa
Orde Baru, pemerintah cukup giat melakukan pembangunan pedesaan, yang tidak
hanya bertujuan memajukan ekonomi pedesaan, tapi juga kualitas penduduk
pedesaan, seperti program listrik masuk desa, pembangunan puskesmas, dan SD
Inpres. Atas upaya itu, kesejahteraan pedesaan maju pesat, bahkan meninggalkan
perkotaan, seperti yang terekam pada 1990.
Namun,
memasuki era 2000-an, khususnya setelah krisis 1997, pembangunan pedesaan
tereduksi menjadi pembangunan pertanian. Menurut Lacroix (1985), pembangunan
pertanian (agricultural development)
hanya sebagian dari pembangunan pedesaan (rural
development).
Pembangunan
pertanian umumnya hanya berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan
produksi pertanian. Sementara, pembangunan pedesaan, selain bertalian dengan
produksi pertanian, juga berhubungan dengan peningkatan kapabilitas penduduk,
khususnya pendidikan dan kesehatan.
Maka,
kurang intensifnya pembangunan manusia di pedesaan menyebabkan kapabilitas
penduduknya tertinggal dibandingkan penduduk perkotaan. Hal ini, antara lain,
tercermin dari pencapaian rata-rata lama sekolah (mean years schooling/MYS).
Berdasarkan indikator ini terlihat bahwa MYS pedesaan sebesar 6,54 tahun atau
setara tamat se kolah dasar (SD), sedangkan MYS perkotaan sebesar 9,25 tahun
atau setara tamat SMP (BPS, 2011).
Dengan
kapabilitas rendah, tidak mudah bagi penduduk pedesaan untuk mengembangkan
usaha, terutama di luar pertanian (off
farm). Padahal, kegiatan off farm dapat berfungsi mengompensasi rendahnya
pendapatan usaha pertanian untuk menambah pendapatan penduduk pedesaan.
Bahkan,
rendahnya kapabilitas pendu duk pedesaan cukup menyulitkan mereka dalam
menerjemahkan programprogram pemerintah. Untuk program kredit usaha kecil dan
menengah, misalnya, penduduk kurang mengetahui bagaimana cara pemanfaatannya.
Dan, tak jarang justru diabaikan karena khawatir tidak mampu dalam
pengembaliannya.
Padahal,
kredit usaha amat diperlukan untuk memperluas skala kegiatan dari mayoritas
penduduk untuk menambah pendapatan, terutama pada kegiatan off farm. Hal ini
tidaklah mengada-ada, mengingat berdasarkan hasil Sensus Per tanian 2003
tercatat sekitar 56,5 per sen rumah tangga tani menguasai lahan sempit atau kurang
dari setengah hektare sehingga hasil yang diperoleh diperkirakan belum cukup
memadai untuk mendukung hidup layak.
Maka,
atas dasar itu, pembangunan pedesaan perlu segera dilakukan secara intensif
untuk mengantisipasi ketertinggalan kesejahteraan pedesaan. Pembangunan
pedesaan dapat dilakukan de ngan menyinergikan pembangunan pertanian dan
pembangunan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan dan kapabilitas penduduk
pedesaan seacara luas.
Intensifikasi pembangunan pedesaan pada
gilirannya akan memberikan kontribusi besar pada penurunan kemiskinan di sana.
Sehingga, pencapaian MDGs secara nasional dapat merefleksikan pencapaian yang
setara di perkotaan dan pedesaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar