Jumat, 12 Oktober 2012

MDGs dan Pedesaan


MDGs dan Pedesaan
Razali Ritonga ;  Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
REPUBLIKA, 11 Oktober 2012


Pencanangan pembangunan milenium (MDGs) yang ditandatangani oleh para pe mimpin/kepala negara di New York pada 2000 dengan sasaran delapan goal merupakan target agregat yang perlu dicapai suatu negara. Dengan ketetapan target itu, masing-masing negara berupaya mengaplikasikannya ke level pemerintahan di bawahnya. Adapun untuk Indonesia, aplikasi pencapaian target MDGs ditetapkan hingga level kabupaten/kota.

Namun sayangnya, aplikasi pencapaian target itu tidak dirinci menurut daerah perkotaan dan pedesaan. Boleh jadi tidak dilakukannya disagregasi target MDGs menurut perkotaan dan pedesaan ketika MDGs dicanangkan karena asumsi bahwa pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah pemerintahan akan berlaku secara adil dan merata antara perkotaan dan pedesaan.

Ternyata, asumsi itu tidak berlaku dan pembangunan yang dilakukan umumnya bias ke perkotaan. Maka, pencanangan MDGs yang sejatinya dimaksudkan untuk program penyelamatan bangsa secara keseluruhan, mungkin tidak berjalan seiring antara perkotaan dan pedesaan.

Maka, tampak bahwa pencapaian MDGs di perkotaan sesuai target (on track), sedangkan untuk pedesaan kondisinya justru memburuk. Secara faktual, lebih dari dua pertiga penduduk miskin di Tanah Air menetap di pedesaan.

Atas dasar itu, meski pencanangan MDGs dengan delapan goal dilakukan secara agregat, namun dalam konteks negara sepatutnya perlu dirinci menurut daerah perkotaan dan pedesaan. Pemilahan daerah perkotaan dan pedesaan itu sekaligus menjadi instrumen evaluasi kinerja pemerintah dalam pemerataan pembangunan, terutama antara perkotaan dan pedesaan.

Evaluasi ketimpangan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan tampaknya perlu dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini mengingat, pembangunan pedesaan kian tertinggal, terutama sejak berakhirnya pembangunan pedesaan yang pernah dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada era 1980-an.

Semasa Orde Baru, pemerintah cukup giat melakukan pembangunan pedesaan, yang tidak hanya bertujuan memajukan ekonomi pedesaan, tapi juga kualitas penduduk pedesaan, seperti program listrik masuk desa, pembangunan puskesmas, dan SD Inpres. Atas upaya itu, kesejahteraan pedesaan maju pesat, bahkan meninggalkan perkotaan, seperti yang terekam pada 1990.

Namun, memasuki era 2000-an, khususnya setelah krisis 1997, pembangunan pedesaan tereduksi menjadi pembangunan pertanian. Menurut Lacroix (1985), pembangunan pertanian (agricultural development) hanya sebagian dari pembangunan pedesaan (rural development).

Pembangunan pertanian umumnya hanya berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan produksi pertanian. Sementara, pembangunan pedesaan, selain bertalian dengan produksi pertanian, juga berhubungan dengan peningkatan kapabilitas penduduk, khususnya pendidikan dan kesehatan.

Maka, kurang intensifnya pembangunan manusia di pedesaan menyebabkan kapabilitas penduduknya tertinggal dibandingkan penduduk perkotaan. Hal ini, antara lain, tercermin dari pencapaian rata-rata lama sekolah (mean years schooling/MYS). Berdasarkan indikator ini terlihat bahwa MYS pedesaan sebesar 6,54 tahun atau setara tamat se kolah dasar (SD), sedangkan MYS perkotaan sebesar 9,25 tahun atau setara tamat SMP (BPS, 2011).

Dengan kapabilitas rendah, tidak mudah bagi penduduk pedesaan untuk mengembangkan usaha, terutama di luar pertanian (off farm). Padahal, kegiatan off farm dapat berfungsi mengompensasi rendahnya pendapatan usaha pertanian untuk menambah pendapatan penduduk pedesaan.

Bahkan, rendahnya kapabilitas pendu duk pedesaan cukup menyulitkan mereka dalam menerjemahkan programprogram pemerintah. Untuk program kredit usaha kecil dan menengah, misalnya, penduduk kurang mengetahui bagaimana cara pemanfaatannya. Dan, tak jarang justru diabaikan karena khawatir tidak mampu dalam pengembaliannya.

Padahal, kredit usaha amat diperlukan untuk memperluas skala kegiatan dari mayoritas penduduk untuk menambah pendapatan, terutama pada kegiatan off farm. Hal ini tidaklah mengada-ada, mengingat berdasarkan hasil Sensus Per tanian 2003 tercatat sekitar 56,5 per sen rumah tangga tani menguasai lahan sempit atau kurang dari setengah hektare sehingga hasil yang diperoleh diperkirakan belum cukup memadai untuk mendukung hidup layak.

Maka, atas dasar itu, pembangunan pedesaan perlu segera dilakukan secara intensif untuk mengantisipasi ketertinggalan kesejahteraan pedesaan. Pembangunan pedesaan dapat dilakukan de ngan menyinergikan pembangunan pertanian dan pembangunan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan dan kapabilitas penduduk pedesaan seacara luas.

Intensifikasi pembangunan pedesaan pada gilirannya akan memberikan kontribusi besar pada penurunan kemiskinan di sana. Sehingga, pencapaian MDGs secara nasional dapat merefleksikan pencapaian yang setara di perkotaan dan pedesaan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar