Senin, 22 Oktober 2012

Parpol Islam dan Populisme Islam


Parpol Islam dan Populisme Islam
Wasisto Raharjo J ;  Peneliti dan Analis Politik
Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM
SINAR HARAPAN, 22 Oktober 2012



Menjelang Pemilu 2014, tingkat elektabilitas suara pemilih terhadap partai politik Islam cenderung menurun. Indikasinya dapat kita simak dari survei yang dilakukan oleh LSI dan SMRC pada pertengahan Oktober 2012, yang menunjukkan jika pemilu digelar hari ini maka perolehan suara parpol Islam tidak lebih dari 5 persen.

Kecenderungan menurunnya popularitas partai politik Islam sebenarnya dapat dibaca sejak pemilu 1999 dengan prosentase pemilu 1999 mencapai 38 persen suara, pemilu 2004 mencapai 24 persen suara, dan 2009 sebesar 12 persen suara saja.

Tentunya ada berbagai faktor internal dan eksternal yang bisa dijadikan sebagai penyebab utama berkurangnya tersebut. Namun, saya lebih melihat menurunnya angka elektabilitas partai politik Islam tersebut karena inkonsistensi kejuangan yang mereka terapkan sebagai bentuk gerakan populisme pasca-Orde Baru.

Membicarakan parpol Islam dari perspektif populisme Islam berarti membicarakan tentang marginalisasi dan ketimpangan kelas yang dilakukan oleh rezim otoritarian terhadap umat Islam (Hadiz, 2011). Pengkerdilan politik Islam tersebut dilakukan rezim untuk melakukan depolitisasi politik Islam agar jangan sampai ideologi yang mereka canangkan, yakni membentuk negara Islam jangan sampai terwujud.

Pascaruntuhnya Orde Baru pada 1998 terjadi gelombang besar-besaran kebangkitan umat Islam untuk kembali ke jalur politik, baik melalui jalur formal maupun informal. Mereka membentuk gerakan populis untuk mengakhiri negara otoritarian untuk berganti menjadi negara Islam.

Memang pasca-1998 berbagai idealisme muncul untuk merekonstruksi ulang konsep Indonesia sebagai negara oleh berbagai kelompok reformis. Seperti halnya demokrasi oleh kelompok nasionalis, negara Islam oleh kelompok Islam, maupun negara kesejahteraan oleh kelompok sosial-demokrat.

Pertarungan wacana antarberbagai kelompok tersebut yang kemudian dimanifestasikan dalam wujud partai politik tersebut akhirnya memenangkan kelompok nasionalis dengan konsep negara demokrasi.

Meskipun kalah di tingkat politik Islam, populisme Islam masih bergerak di akar rumput dengan membentuk berbagai gerakan masyarakat, seperti FPI dan MMI yang masih kukuh dengan konsep negara Islam dan semangat amar ma’ruf nahi munkar sebagai ideologi politik mereka.

Stigmatisasi Teroris

Adanya politik stigmatisasi terorisme sendiri pasca-2002 terhadap segala aktivitas politik Islam memberikan pengaruh luar biasa terhadap karakteristik parpol Islam di Indonesia. Parpol Islam kemudian mulai beralih fungsi dari semula cadre party menjadi catch all-party.

Perubahan mendasar tersebut dapat kita simak dari perkembangan parpol Islam mutakhir yang kini beralih menjadi partai terbuka, seperti PKS, PAN, PKB, maupun PPP.

PKS kini layaknya sebuah partai nasionalis yang mulai membuka pendaftaran kader non-Islam, PKB mulai bereksperimentasi dengan konsep partai hijau (green party), dan PAN tampil sebagai partai modern kaum urban, sementara PPP masih kukuh dengan identitas keislamannnya.

Sayangnya, transformasi populisme yang dilakukan oleh parpol Islam di tingkat politik formal tidak dibarengi dengan populisme yang dilakukan kelompok ormas Islam yang tetap dengan pendirian konservatifnya.

Adanya mekanisme represif dan koersif yang dilakukan ormas Islam berkorelasi kuat dengan tingkat elektabilitas suatu parpol Islam. Apalagi ditambah dengan stigmatisasi radikal dan terorisme turut memukul wajah parpol Islam.

Kini kita tidak lagi melihat gerakan populisme yang dilakukan parpol Islam untuk berkomitmen menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam berpolitik, salah satunya memerangi korupsi di pemerintahan. Kini kader parpol Islam tidak ubahnya dengan parpol lainnya yang sama-sama ikut menikmati hasil korupsi.

Mereka melupakan semangat populisme yang mereka canangkan dan lebih bersikap pragmatis. Hal itulah yang kemudian membuat populisme Islam di akar rumput juga kian menjadi-jadi dengan intens melakukan aksi represif dan opresif terhadap objek yang dianggap haram.

Pada akhirnya populisme Islam justru menjadi senjata makan tuan bagi aktivitas politik Islam di mana muncul ketakutan dan skeptisme masyarakat terhadap parpol Islam dengan menangnya parpol Islam di pemerintahan maka Indonesia akan menjadi negara Islam. Hal itulah yang kemudian membuat perolehan suara parpol Islam cenderung menurun setiap event pemilu.

Stigmatisasi terorisme, radikalisme, maupun negara Islam yang menyertai perjalanan aktivitas politik Islam justru menjadi beban moral tersendiri. Hadirnya parpol Islam sebagai gerakan populisme atas respons marginalisasi politik yang dilakukan oleh Orde Baru pasca-1998 ini justru kian menjauh dari esensi amar ma’ruf nahi munkar yang mereka canangkan.

Jika sudah demikian, Islam yang tersemat pada parpol Islam pada akhirnya juga menjadi formalitas dan seremonial belaka karena sikap politik santun beragama yang ingin mereka gapai justru terjebak pada nafsu politik untuk berkuasa dan berburu jabatan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar