Pilar Utama
UMKM
Purbayu Budi Santosa ; Guru Besar Fakultas Ekonomika Bisnis Undip
|
SUARA
MERDEKA, 22 Oktober 2012
JUMLAH usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM) di Indonesia saat ini sekitar 55 juta, dan menyerap 97%
tenaga kerja Indonesia. Meski secara kuantitas sangat besar dan menyerap
banyak tenaga kerja, pangsa dalam pendapatan nasional masih sekitar 57%.
Angka itu kalah jauh dari pangsa para konglomerat yang berjumlah kecil tetapi
sangat mendominasi perekonomian negara kita.
Di negara Eropa atau negara
lain, krisis masif ekonomi saat ini ikut memasung dan merontokkan UMKM.
Tetapi di negara kita ketika krisis besar melanda pada medio 1997 dan
2008 justru usaha kecil itu berperan sebagai penyelamat. Maka tidaklah
mengherankan apabila banyak pihak mengatakan usaha kecil itu dapat berperan
sebagai penyelamat seka-ligus penyembuh krisis.
Melihat jumlah, baik dari jenis
usaha maupun penyerapan naker, dan anggapan sektor itu sebagai pahlawan
perekonomian Indonesia, realitasnya kondisi sektor tersebut masih
memprihatikan, sarat masalah. Tapi ada yang berpendapat karena kondisi yang
sedemikian lemah maka mereka terbiasa dan mampu bertahan menghadapai badai
krisis seperti apa pun.
Secara umum UMKM menghadapi dua
masalah utama, yaitu finansial dan nonfinansial (organisasi manajemen). Yang
termasuk persoalan finansial di antaranya, seperti temuan Urata (2000)
dan beberapa pakar lain, kekurangsesuaian (mismatch) antara dana yang tersedia
dan yang bisa diakses.
Selain itu, tak ada pendekatan
sistematis dalam pendanaan; biaya transaksi yang tinggi, mengingat kerumitan
prosedur kredit yang akhirnya menyita banyak waktu padahal nilai kredit yang
dikucurkan kecil; kurang akses ke sumber dana formal; bunga kredit untuk
investasi dan modal kerja cukup tinggi; dan banyak UMKM yang belum bankable.
Sebenarnya kita bisa belajar
dari Muhammad Yunus yang berhasil mengembangkan kredit mikro melalui Grameen
Bank (artinya bank desa), untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang
begitu masif di Bangladesh, persoalan yang lebih berat dibanding di
Indonesia. Dia alumnus Vanderbilt dengan segudang ilmu tapi untuk
mengaplikasikan pembaruan ia lebih percaya pada kondisi di lapangan dengan
pendekatan budaya.
Aplikasi pemikiran Yunus
diterapkan di Desa Jobra, Bangladesh tahun 1976, dengan mendirikan Grameen
Bank. Modal awal berasal dari modal sendiri yang hanya 27 dolar AS. Hingga ia
meraih hadiah Nobel beberapa waktu lalu, Grameen Bank mempunyai 2.200 cabang
dan melayani 6,6 juta peminjam di 71.000 desa lebih. Lebih hebat lagi, kurang
lebih 97% peminjam adalah perempuan, dan kebanyakan waktu pembayarannya
tepat.
Kita bisa lebih terheran-heran
lagi mendengar kabar dia pernah 2 tahun tinggal di Indonesia, belajar tentang
kredit mikro dengan pinjaman bergulir dari BRI. Fakta itu makin menguatkan
dugaan, salah satunya dari antropolog Ann Dunham (ibu dari Barack Oba-ma)
yang sekitar 25 tahun tinggal di Indonesia bahwa sebenarnya banyak orang
Indonesia pandai dan cerdas, tetapi punya sifat rendah diri dan lebih
mengagumi ide orang asing sehingga mudah tertipu.
Wadah Koperasi
Pihak asing sering mengambil
ide asli dan baik dari orang Indonesia, tapi kita justru bangga terhadap ide
dan temuan orang asing, yang penerapannya sering kurang cocok terhadap
situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Kenyataan ini dikritik oleh EF Schumacher
dalam buku Small is Beautiful (1973) dengan mengatakan ekonom di negara
berkembang terlalu terpengaruh ajaran Barat yang kurang tepat.
Adapun permasalahan organisasi
manajemen (nonfinansial) di antaranya keminiman pengetahuan atas
teknologi produksi dan quality control yang disebabkan keterbatasan
kesempatan mengikuti perkembangan teknologi dan tidak banyak mengikuti
diklat.
Persoalan lain adalah kurangnya
pengetahuan akan pemasaran yang disebabkan oleh keterbatasan informasi
mengenai pasar; keterbatasan kemampuan menyediakan produk/ jasa yang sesuai
dengan keinginan pasar; dan keterbatasan SDM yang berkualifikasi.
Banyaknya orang yang
berkecimpung di sektor UMKM sebenarnya menepis anggapan rendahnya jiwa
wiraswasta masyarakat Indonesia, yang menurut berbagai kalangan hanya
berjumlah sekitar 0,5% dari total penduduk. Padahal menurut beberapa pakar,
suatu negara akan maju bila sekitar 2,5% penduduk mempunyai jiwa wiraswata.
Pihak terkait harus segera
memecahkan persoalan itu bila ingin menjadikan Indonesia sebagai negara
berbasis ekonomi kerakyatan dengan UMKM sebagai pilar utamanya. Sebenarnya
pemerintah bisa mengambil langkah cerdas dengan merevitalisasi koperasi, dan
UMKM dapat bergabung dalam wadah sebuah koperasi. Bila berbagai
aktivitas ekonomi mempunyai wadah, terlebih koperasi punya tujuan mulia maka
kita akan lebih mudah membina dan memberdayakan.
Semoga dengan inspirasi dari
Konferensi Keuangan Mikro Internasional (International Microfinance
Conference) di Yogyakarta pada 22-23 Oktober 2012, yang antara lain bertujuan
menjadikan Indonesia sebagai laboratorium dunia, sektor UMKM bisa
berkembang sebagaimana diharapkan. Masalah utama memang keuangan yang
sulit diakses, di samping kekuatan hukum dari usaha yang dijalankan.
Kiranya pangsa kenaikan UMKM
dalam perekonomian Indonesia dapat melawan kiprah pasar ritel yang sudah
menggurita, termasuk mengancam keberadaan usaha kecil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar