Outsourcing
Rhenald Kasali ; Ketua
Program MM Universitas Indonesia
|
SINDO,
04 Oktober 2012
Jalan-jalan tertentu di Jakarta, kemarin, tak sepadat hari-hari
biasanya. Banyak karyawan memilih meliburkan dirinya karena demo massal buruh.
Di pusat-pusat industri di pinggiran Jakarta dan kota-kota industri lainnya,
ribuan buruh tumpah ke jalan untuk menuntut kesejahteraan.
Salah satu yang mereka tuntut adalah penghapusan sistem outsourcing. Sudah sekian lama buruh di
Indonesia menuntut penghapusan outsourcing
yang dinilai lebih banyak merugikan, mengganggu rasa keadilan dan
kesejahteraan, serta dianggap menguntungkan sebagian pengusaha. Betulkah outsourcing ini harus dihapuskan agar
buruh bisa lebih sejahtera atau sebenarnya ada masalah lain yang lebih penting
dan harus diselesaikan sehubungan dengan outsourcing
ini?
Fenomena Global
Perlu dipahami para buruh, outsourcing merupakan sebuah gejala global yang terjadi di seluruh dunia. Outsourcing muncul karena dunia usaha semakin menyadari siklus bisnisnya bergerak semakin pendek. Dari 30 tahun sekali menjadi 20 tahun sekali, lalu 10 tahun sekali. Krisis semakin cepat terjadi, semakin berat. Perusahaan yang memiliki sendirian ribuan karyawan terlalu riskan bila terjadi gangguan dari luar, termasuk siklus krisis.
Di lain pihak manajemen modern mengajarkan, perusahaan yang unggul adalah perusahaan yang fokus pada kompetensi intinya. Perusahaan tidak mau susah payah mengurusi terlalu banyak hal yang tidak dikuasainya. Seperti bank yang keahliannya mengurus aspek keuangan, dulu mengurus banyak hal, termasuk security dan catering. Sekarang dunia usaha ingin fokus ke core competency atau kompetensi inti dan memilih menyerahkan hal-hal yang bukan keahlian intinya ke perusahaan lain.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebenarnya telah menetapkan lima jenis pekerjaan yang diperbolehkan outsourcing, yakni cleaning service, keamanan, transportasi, katering, dan pemborongan pertambangan. Selain lima pekerjaan tersebut, pemerintah melarang penggunaan tenaga kerja outsourcing.
Padahal gejala outsourcing di negeri ini sudah merambah ke segala bidang mulai dari R&D, sekretariat, desain, travel, pengawalan, riset pasar, distribusi, dan sebagainya. Outsourcing telah terjadi begitu luas di sini dan di seluruh dunia. Sejumlah perusahaan kemudian memilih menggunakan jasa outsourcing untuk jasa-jasa tersebut dengan harapan bisa lebih fokus pada kompetensinya, efisien sekaligus meminimalkan risiko ketika terjadi krisis.
Namun buruh bertanya apakah semua ini semata-mata ditujukan untuk kepentingan pengusaha? Praktik-praktik outsourcing banyak ragamnya dan banyak diterapkan di berbagai negara maju. Misalnya nearshoring yang berarti mengalihkan pekerjaan-pekerjaan ke perusahaan-perusahaan negara tetangga karena dianggap memiliki kedekatan baik dari segi budaya, zona waktu maupun peraturan.
Praktik nearshoring ini umumnya diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Eropa Barat dengan menyerahkan outsourcing kepada negara-negara Eropa Timur. Atau praktik offshore sourcing, yakni mencari outsourcing ke negara-negara lain yang upahnya lebih rendah, tetapi kualitasnya cukup baik. Ada pula crowdsourcing yang menyerahkan pekerjaan kepada sekelompok orang.
Yang ingin saya tekankan di sini, outsourcing merupakan praktik yang lumrah diterapkan berbagai perusahaan di dunia untuk merespons krisis. Hanya saja, praktik outsourcing ini harus dikelola dengan baik agar tidak memunculkan masalah, terutama berkaitan dengan kesejahteraan buruh. Buruh yang tidak sejahtera berarti bangsa juga tidak sejahtera.
Kompetensi Outsourcing
Yang harus dicermati sekarang, mengapa outsourcing di Indonesia kerap kali mendapatkan penolakan? Saya kira salah satu penyebabnya karena tenaga kerja outsourcing yang disewa perusahaan banyak menimbulkan persepsi bahwa mereka adalah warga “kelas dua”. Perusahaan seringkali menerapkan dualisme: karyawan tetap dan karyawan outsourcing.
Para karyawan outsourcing kerap dipandang sebelah mata karena tingkat kesejahteraannya jauh di bawah kesejahteraan pegawai tetap di perusahaan tersebut pada kualifikasi pekerjaan yang sama. Tentu saja hal itu menimbulkan rasa ketidakadilan. Fasilitas dan imbalan yang diterima pegawai outsourcing tidak setara dengan kesejahteraan pegawai tetap. Mirip perbedaan yang dialami pekerja-pekerja lokal di perusahaan-perusahaan asing yang kesejahteraannya dibedakan.
Masalah tunjangan kesehatan pun tidak diperhatikan oleh perusahaan pengguna jasa tersebut. Mereka menyerahkan masalah tunjangan kesehatan, kesejahteraan pekerja kepada perusahaan outsourcing, dan demi mendapatkan efisiensi, perusahaan outsourcing banyak yang menghapuskan tunjangan kesejahteraan buruhnya, bahkan menekan upahnya. Sebuah ketidakadilan yang kemudian sangat merugikan buruh.
Selama dualisme itu ada, rasa ketidakadilan sulit dihilangkan. Selain itu, banyak perusahaan yang melakukan outsourcing semata-mata untuk mencari untung karena bisa menyewa tenaga kerja yang lebih murah, bukan karena ingin fokus pada kompetensi inti. Sementara perusahaan outsourcing juga mencari untung dengan mencari tenaga-tenaga kerja murah yang kompetensinya tidak sesuai.
Jika sudah begini, buruh outsourcing-lah yang paling menderita. Padahal niat semula dengan outsourcing adalah perusahaan bisa fokus pada kompetensi intinya sehingga bisa lebih fokus, kinerja lebih baik, bisa berekspansi yang pada akhirnya bisa membuat semua pihak semakin sejahtera. Ditengah globalisasi saat ini, praktik outsourcing tidak mungkin dihapuskan. Para buruh pun harus melihat outsourcing sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi.
Namun yang lebih penting, sistem outsourcing harus dibenahi, ditata ulang. Outsourcing yang baik adalah yang efisien, menguntungkan kedua belah pihak, dan menyejahterakan buruh. Tidak boleh ada perusahaan yang membayar tenaga kerja outsourcing di bawah standar.
Perusahaan outsourcing sebaiknya memiliki kompetensi dan akreditasi dan dibuat standarnya secara nasional sehingga pada akhirnya semua pihak tidak merasa dirugikan dan negeri ini kembali kompetitif. ●
Fenomena Global
Perlu dipahami para buruh, outsourcing merupakan sebuah gejala global yang terjadi di seluruh dunia. Outsourcing muncul karena dunia usaha semakin menyadari siklus bisnisnya bergerak semakin pendek. Dari 30 tahun sekali menjadi 20 tahun sekali, lalu 10 tahun sekali. Krisis semakin cepat terjadi, semakin berat. Perusahaan yang memiliki sendirian ribuan karyawan terlalu riskan bila terjadi gangguan dari luar, termasuk siklus krisis.
Di lain pihak manajemen modern mengajarkan, perusahaan yang unggul adalah perusahaan yang fokus pada kompetensi intinya. Perusahaan tidak mau susah payah mengurusi terlalu banyak hal yang tidak dikuasainya. Seperti bank yang keahliannya mengurus aspek keuangan, dulu mengurus banyak hal, termasuk security dan catering. Sekarang dunia usaha ingin fokus ke core competency atau kompetensi inti dan memilih menyerahkan hal-hal yang bukan keahlian intinya ke perusahaan lain.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebenarnya telah menetapkan lima jenis pekerjaan yang diperbolehkan outsourcing, yakni cleaning service, keamanan, transportasi, katering, dan pemborongan pertambangan. Selain lima pekerjaan tersebut, pemerintah melarang penggunaan tenaga kerja outsourcing.
Padahal gejala outsourcing di negeri ini sudah merambah ke segala bidang mulai dari R&D, sekretariat, desain, travel, pengawalan, riset pasar, distribusi, dan sebagainya. Outsourcing telah terjadi begitu luas di sini dan di seluruh dunia. Sejumlah perusahaan kemudian memilih menggunakan jasa outsourcing untuk jasa-jasa tersebut dengan harapan bisa lebih fokus pada kompetensinya, efisien sekaligus meminimalkan risiko ketika terjadi krisis.
Namun buruh bertanya apakah semua ini semata-mata ditujukan untuk kepentingan pengusaha? Praktik-praktik outsourcing banyak ragamnya dan banyak diterapkan di berbagai negara maju. Misalnya nearshoring yang berarti mengalihkan pekerjaan-pekerjaan ke perusahaan-perusahaan negara tetangga karena dianggap memiliki kedekatan baik dari segi budaya, zona waktu maupun peraturan.
Praktik nearshoring ini umumnya diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Eropa Barat dengan menyerahkan outsourcing kepada negara-negara Eropa Timur. Atau praktik offshore sourcing, yakni mencari outsourcing ke negara-negara lain yang upahnya lebih rendah, tetapi kualitasnya cukup baik. Ada pula crowdsourcing yang menyerahkan pekerjaan kepada sekelompok orang.
Yang ingin saya tekankan di sini, outsourcing merupakan praktik yang lumrah diterapkan berbagai perusahaan di dunia untuk merespons krisis. Hanya saja, praktik outsourcing ini harus dikelola dengan baik agar tidak memunculkan masalah, terutama berkaitan dengan kesejahteraan buruh. Buruh yang tidak sejahtera berarti bangsa juga tidak sejahtera.
Kompetensi Outsourcing
Yang harus dicermati sekarang, mengapa outsourcing di Indonesia kerap kali mendapatkan penolakan? Saya kira salah satu penyebabnya karena tenaga kerja outsourcing yang disewa perusahaan banyak menimbulkan persepsi bahwa mereka adalah warga “kelas dua”. Perusahaan seringkali menerapkan dualisme: karyawan tetap dan karyawan outsourcing.
Para karyawan outsourcing kerap dipandang sebelah mata karena tingkat kesejahteraannya jauh di bawah kesejahteraan pegawai tetap di perusahaan tersebut pada kualifikasi pekerjaan yang sama. Tentu saja hal itu menimbulkan rasa ketidakadilan. Fasilitas dan imbalan yang diterima pegawai outsourcing tidak setara dengan kesejahteraan pegawai tetap. Mirip perbedaan yang dialami pekerja-pekerja lokal di perusahaan-perusahaan asing yang kesejahteraannya dibedakan.
Masalah tunjangan kesehatan pun tidak diperhatikan oleh perusahaan pengguna jasa tersebut. Mereka menyerahkan masalah tunjangan kesehatan, kesejahteraan pekerja kepada perusahaan outsourcing, dan demi mendapatkan efisiensi, perusahaan outsourcing banyak yang menghapuskan tunjangan kesejahteraan buruhnya, bahkan menekan upahnya. Sebuah ketidakadilan yang kemudian sangat merugikan buruh.
Selama dualisme itu ada, rasa ketidakadilan sulit dihilangkan. Selain itu, banyak perusahaan yang melakukan outsourcing semata-mata untuk mencari untung karena bisa menyewa tenaga kerja yang lebih murah, bukan karena ingin fokus pada kompetensi inti. Sementara perusahaan outsourcing juga mencari untung dengan mencari tenaga-tenaga kerja murah yang kompetensinya tidak sesuai.
Jika sudah begini, buruh outsourcing-lah yang paling menderita. Padahal niat semula dengan outsourcing adalah perusahaan bisa fokus pada kompetensi intinya sehingga bisa lebih fokus, kinerja lebih baik, bisa berekspansi yang pada akhirnya bisa membuat semua pihak semakin sejahtera. Ditengah globalisasi saat ini, praktik outsourcing tidak mungkin dihapuskan. Para buruh pun harus melihat outsourcing sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi.
Namun yang lebih penting, sistem outsourcing harus dibenahi, ditata ulang. Outsourcing yang baik adalah yang efisien, menguntungkan kedua belah pihak, dan menyejahterakan buruh. Tidak boleh ada perusahaan yang membayar tenaga kerja outsourcing di bawah standar.
Perusahaan outsourcing sebaiknya memiliki kompetensi dan akreditasi dan dibuat standarnya secara nasional sehingga pada akhirnya semua pihak tidak merasa dirugikan dan negeri ini kembali kompetitif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar