Keterasingan
Buruh
Inda Suhendra ; Wakil Presiden
Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)
|
REPUBIKA,
04 Oktober 2012
Menurut Karl Marx (1818-1883), dalam dunia kapitalis, manusia tidak
bekerja secara bebas dan universal, tetapi karena terpaksa hanya untuk bertahan
hidup. Pekerjaan yang dilakukannya tidak mengembangkan, tetapi mengasingkan
dirinya.
Analisis Marx dalam Economic
and Philosophical Manuscripts of 1844 tersebut tampaknya masih relevan
dengan iklim perburuhan saat ini. Kaum buruh makin teralienasi dari dirinya
sendiri, pekerjaan, keluarga, dan lingkungannya. Bahkan, kaum buruh juga makin
terasing di negerinya sendiri.
Ada banyak faktor penyebab keterasingan kaum buruh, salah satunya
adalah upah. Dengan upah minimum yang benar-benar minim, buruh terpaksa
memenuhi kebutuhannya dengan mencari tambahan uang lembur atau side income lainnya.
Setelah jam kerja usai, idealnya seorang buruh pulang ke rumah.
Tak ada buruh yang ingin bekerja lembur hingga malam atau bekerja pada hari
libur. Tapi, buruh tak punya pilihan lain, faktor kebutuhan terpaksa
mengalahkan kebersamaan dengan keluarga. Dengan demikian, buruh akan terasing
dari keluarga dan lingkungannya karena minimnya interaksi.
Bekerja karena keterpaksaan membuat pekerjaan jadi kehilangan
makna. Ia bekerja untuk tidak kelaparan semata (Franz Magnis-Suseno: Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis
ke Perselisihan Revisionisme). Ketika bekerja, buruh tak memiliki dirinya
lagi. Buruh jadi milik pemodal dan ia tak punya kendali atas dirinya sendiri.
Keadaan tersebut mengakibatkan kaum buruh jadi terasing dari dirinya.
Untuk meningkatkan kemampuan pemenuhan kebutuhan buruh, parameter
penentuan upah sudah seharusnya dievaluasi. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 17 Tahun 2005 telah direvisi dengan
Permenakertrans No 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan
Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Dalam format baru tersebut, komponen kebutuhan ditambah dari 46
komponen menjadi 60 komponen. Namun, kesejahteraan buruh tampaknya masih jauh
panggang dari api. Demi hidup layak, sejatinya dibutuhkan 80 komponen kebutuhan
yang dimasukkan dalam permenakertrans tersebut.
Problem Outsourcing
Sistem kerja outsourcing (alih
daya) juga jadi penyebab lain keterasingan kaum buruh. Secara empiris, sistem
kerja outsourcing telah mereduksi
hak-hak normatif dan status kaum buruh. Sistem kerja outsourcing bisa dibilang sebagai bentuk halus perbudakan modern.
Bayangkan sesorang bekerja pada perusahaan A, tetapi ia bukan
karyawan perusahaan A, melainkan karyawan perusahaan B yang jadi penyedia jasa
tenaga kerja di perusahaan A. Buruh outsourcing
kerap dianggap pekerja kelas dua dengan benefit di bawah standar normatif.
Status keberlanjutan kerjanya juga tak pasti, bahkan buruh outsourcing kerap tidak mendapat jaminan
sosial tenaga kerja yang sifatnya wajib. Dengan demikian, seorang buruh jadi
terasing dari lingkungan tempat ia bekerja.
Terkait dengan outsourcing,
Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan judicial
review (Putusan Nomor 27/PUUIX/2011). Tapi, putusan tersebut tidak
menghapuskan praktik outsourcing. MK
hanya mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak pekerja outsourcing dari penyedia jasa yang satu ke penyedia jasa lainnya. Putusan inipun
tampaknya perlu aturan lebih perinci yang harus disosialisasikan dan praktiknya
diawasi ketat oleh dinas terkait.
Keterasingan selanjutnya disebabkan oleh faktor penegakan hukum
yang masih lemah. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, buruh dapat menempuh koridor hukum. Ketika
berselisih masalah ketenagakerjaan, ia dapat menempuh penyelesaian bipartit dan
tripartit, bahkan sampai di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Namun, dalam
banyak kasus, buruh kerap dikalahkan oleh kekuatan kapital yang mengintervensi
lembaga yudikatif.
Perbaikan regulasi ketenagakerjaan bukanlah hal yang tabu untuk
dilakukan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga beberapa kali diusulkan banyak pihak untuk direvisi. Bahkan, MK sudah melakukan uji materi terhadap beberapa pasal undangundang ini (di antaranya, Putusan Nomor 012/PUU-I/2003, 115/PUU-VII/2009, 27/ PUU-IX/2011, dan 37/PUU-IX/2011). Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam regulasi ketenagakerjaan, hal terpenting adalah kepastian pelaksanaan hukum itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga beberapa kali diusulkan banyak pihak untuk direvisi. Bahkan, MK sudah melakukan uji materi terhadap beberapa pasal undangundang ini (di antaranya, Putusan Nomor 012/PUU-I/2003, 115/PUU-VII/2009, 27/ PUU-IX/2011, dan 37/PUU-IX/2011). Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam regulasi ketenagakerjaan, hal terpenting adalah kepastian pelaksanaan hukum itu sendiri.
Pengawasan Ketenagakerjaan
Banyak kasus pelanggaran yang dilakukan pengusaha dengan
jelas-jelas mengangkangi hukum ketenagakerjaan. Namun, pemerintah, dalam hal
ini Kemenakertrans, kerap tak hadir memastikan pelaksanaan hukum tersebut.
Kini, bukan saatnya lagi pemerintah menarik investor dengan
iming-iming fleksibilitas pasar tenaga kerja dan upah buruh murah. Bukan
zamannya pula ketidakseimbangan angkatan kerja dan lapangan kerja menjadi dalih
untuk menindas kaum buruh. Pemerintah harus melakukan pengawasan yang massif
agar hukum ketenagakerjaan dapat dijalankan dengan benar oleh semua pemangku
kepentingan.
Karena jika itu tak dilakukan, korban utamanya lagi-lagi adalah
buruh. Kaum buruh makin terkalahkan dan tersingkir hingga merasa tak punya
peran vital dalam kehidupan berbangsa.
Kasus-kasus korupsi yang vulgar makin menegaskan ironi dan akan
mempertebal kecemburuan sosial. Akibatnya, kepercayaan buruh terhadap
pemerintah makin menipis, bahkan hilang sama sekali. Keterasingan-keterasingan
kaum buruh pada gilirannya akan terakumulasi menjadi energi negatif yang dapat
meledak sewaktu-waktu.
Sosialisme yang diusung Marx
telah mati-setidaknya pascakeruntuhan Soviet. Namun, kapitalisme juga harus
mengoreksi diri agar menjauh dari kapitalisme yang dibayangkan Marx. Buruh dan
pemilik modal tak harus saling menegasikan. Kini, saatnya
buruh dan pengusaha bersinergi. Kaum buruh perlu pendekatan humanistis. Karena,
buruh juga manusia yang-dalam terminologi Abraham Maslow-butuh ruang
aktualisasi diri. Tentunya dengan jalan yang bermartabat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar