Jumat, 05 Oktober 2012

Keterasingan Buruh


Keterasingan Buruh
Inda Suhendra ;  Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)
REPUBIKA, 04 Oktober 2012


Menurut Karl Marx (1818-1883), dalam dunia kapitalis, manusia tidak bekerja secara bebas dan universal, tetapi karena terpaksa hanya untuk bertahan hidup. Pekerjaan yang dilakukannya tidak mengembangkan, tetapi mengasingkan dirinya.

Analisis Marx dalam Economic and Philosophical Manuscripts of 1844 tersebut tampaknya masih relevan dengan iklim perburuhan saat ini. Kaum buruh makin teralienasi dari dirinya sendiri, pekerjaan, keluarga, dan lingkungannya. Bahkan, kaum buruh juga makin terasing di negerinya sendiri.

Ada banyak faktor penyebab keterasingan kaum buruh, salah satunya adalah upah. Dengan upah minimum yang benar-benar minim, buruh terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan mencari tambahan uang lembur atau side income lainnya.

Setelah jam kerja usai, idealnya seorang buruh pulang ke rumah. Tak ada buruh yang ingin bekerja lembur hingga malam atau bekerja pada hari libur. Tapi, buruh tak punya pilihan lain, faktor kebutuhan terpaksa mengalahkan kebersamaan dengan keluarga. Dengan demikian, buruh akan terasing dari keluarga dan lingkungannya karena minimnya interaksi.

Bekerja karena keterpaksaan membuat pekerjaan jadi kehilangan makna. Ia bekerja untuk tidak kelaparan semata (Franz Magnis-Suseno: Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme). Ketika bekerja, buruh tak memiliki dirinya lagi. Buruh jadi milik pemodal dan ia tak punya kendali atas dirinya sendiri. Keadaan tersebut mengakibatkan kaum buruh jadi terasing dari dirinya.

Untuk meningkatkan kemampuan pemenuhan kebutuhan buruh, parameter penentuan upah sudah seharusnya dievaluasi. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 17 Tahun 2005 telah direvisi dengan Permenakertrans No 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

Dalam format baru tersebut, komponen kebutuhan ditambah dari 46 komponen menjadi 60 komponen. Namun, kesejahteraan buruh tampaknya masih jauh panggang dari api. Demi hidup layak, sejatinya dibutuhkan 80 komponen kebutuhan yang dimasukkan dalam permenakertrans tersebut.

Problem Outsourcing

Sistem kerja outsourcing (alih daya) juga jadi penyebab lain keterasingan kaum buruh. Secara empiris, sistem kerja outsourcing telah mereduksi hak-hak normatif dan status kaum buruh. Sistem kerja outsourcing bisa dibilang sebagai bentuk halus perbudakan modern.

Bayangkan sesorang bekerja pada perusahaan A, tetapi ia bukan karyawan perusahaan A, melainkan karyawan perusahaan B yang jadi penyedia jasa tenaga kerja di perusahaan A. Buruh outsourcing kerap dianggap pekerja kelas dua dengan benefit di bawah standar normatif.

Status keberlanjutan kerjanya juga tak pasti, bahkan buruh outsourcing kerap tidak mendapat jaminan sosial tenaga kerja yang sifatnya wajib. Dengan demikian, seorang buruh jadi terasing dari lingkungan tempat ia bekerja.

Terkait dengan outsourcing, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan judicial review (Putusan Nomor 27/PUUIX/2011). Tapi, putusan tersebut tidak menghapuskan praktik outsourcing. MK hanya mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak pekerja outsourcing dari penyedia jasa yang satu ke penyedia jasa lainnya. Putusan inipun tampaknya perlu aturan lebih perinci yang harus disosialisasikan dan praktiknya diawasi ketat oleh dinas terkait.

Keterasingan selanjutnya disebabkan oleh faktor penegakan hukum yang masih lemah. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, buruh dapat menempuh koridor hukum. Ketika berselisih masalah ketenagakerjaan, ia dapat menempuh penyelesaian bipartit dan tripartit, bahkan sampai di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Namun, dalam banyak kasus, buruh kerap dikalahkan oleh kekuatan kapital yang mengintervensi lembaga yudikatif.

Perbaikan regulasi ketenagakerjaan bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga beberapa kali diusulkan banyak pihak untuk direvisi. Bahkan, MK sudah melakukan uji materi terhadap beberapa pasal undangundang ini (di antaranya, Putusan Nomor 012/PUU-I/2003, 115/PUU-VII/2009, 27/ PUU-IX/2011, dan 37/PUU-IX/2011). Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam regulasi ketenagakerjaan, hal terpenting adalah kepastian pelaksanaan hukum itu sendiri.

Pengawasan Ketenagakerjaan

Banyak kasus pelanggaran yang dilakukan pengusaha dengan jelas-jelas mengangkangi hukum ketenagakerjaan. Namun, pemerintah, dalam hal ini Kemenakertrans, kerap tak hadir memastikan pelaksanaan hukum tersebut.

Kini, bukan saatnya lagi pemerintah menarik investor dengan iming-iming fleksibilitas pasar tenaga kerja dan upah buruh murah. Bukan zamannya pula ketidakseimbangan angkatan kerja dan lapangan kerja menjadi dalih untuk menindas kaum buruh. Pemerintah harus melakukan pengawasan yang massif agar hukum ketenagakerjaan dapat dijalankan dengan benar oleh semua pemangku kepentingan.

Karena jika itu tak dilakukan, korban utamanya lagi-lagi adalah buruh. Kaum buruh makin terkalahkan dan tersingkir hingga merasa tak punya peran vital dalam kehidupan berbangsa.

Kasus-kasus korupsi yang vulgar makin menegaskan ironi dan akan mempertebal kecemburuan sosial. Akibatnya, kepercayaan buruh terhadap pemerintah makin menipis, bahkan hilang sama sekali. Keterasingan-keterasingan kaum buruh pada gilirannya akan terakumulasi menjadi energi negatif yang dapat meledak sewaktu-waktu.

Sosialisme yang diusung Marx telah mati-setidaknya pascakeruntuhan Soviet. Namun, kapitalisme juga harus mengoreksi diri agar menjauh dari kapitalisme yang dibayangkan Marx. Buruh dan pemilik modal tak harus saling menegasikan. Kini, saatnya buruh dan pengusaha bersinergi. Kaum buruh perlu pendekatan humanistis. Karena, buruh juga manusia yang-dalam terminologi Abraham Maslow-butuh ruang aktualisasi diri. Tentunya dengan jalan yang bermartabat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar