Selasa, 09 Oktober 2012

Operasi Senyap untuk KPK


Operasi Senyap untuk KPK
Hery Firmansyah ;  Dosen Pidana Fakultas Hukum UGM
REPUBLIKA, 8 Oktober 2012


Wacana revisi terhadap keberadaan Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 semakin kencang diembus kan oleh wakil rakyat. Entah disadari apa tidak oleh mereka, tindakan tersebut sangat berpotensi besar melemahkan kedudukan KPK. Tercatat ada dua poin penting yang nantinya akan semakin mengecilkan keberadaan KPK, yaitu bagian sisi penuntutan dan penyadapan.

Jika saja jeli membaca sepak terjang KPK maka dua hal ini sesungguhnya merupakan senjata pamungkas yang KPK miliki di saat kinerja aparat penegak hukum lain sedang mengalami stagnasi luar biasa. Kasus yang akhirnya menyeret Angelina Sondakh adalah salah satu bukti kerja penyadapan yang dilakukan oleh KPK berhasil. Dari Black berry Messenger yang dikirimkan Angelina terhadap Rosalinda Manullang itu lah kemudian diketahui ada politik dagang sapi yang dimainkan dalam proyek yang tengah mereka tangani.

Bahkan, jauh sebelumnya konspirasi tingkat tinggi yang dilakukan Anggodo berhasil membuktikan kepada publik bahwa beking penguasa hitam masih dianut dalam praktik dan mirisnya hal itu dilakukan oleh aparat penegak hukum. Namun, yang sangat disesalkan, nama pejabat yang jelas-jelas dalam rekaman telepon tersebut masih bebas ber keliaran menghirup udara segar tanpa tersentuh jeratan hukum. Inilah opera sabun yang selalu dipertontonkan di dalam dunia hukum kita.

Ancaman mundur Abraham Samad selaku masinis KPK bukanlah suatu bentuk lepas tanggung jawab ataupun bentuk tidak kesatrianya yang bersangkutan. Jelas ini sebuah penentuan sikap yang diambil oleh seseorang untuk dapat melindungi kepentingan institusi pemberantasan korupsi yang tengah dipimpin nya.

Penguatan moral yang diberikan dengan kehadiran Hasyim Muzadi serta Mahfud MD sekurang-kurangnya dapat memberikan kita pengertian bahwa masalah ini cukup serius untuk ditangani. Urgensi kedatangan tersebut merupakan sebuah dukungan moral terhadap semangat memberantas korupsi yang tidak boleh redup dan melemah, apalagi sampai mati di tengah jalan.

Pelan tapi pasti KPK selalu dibuat repot sehingga akhirnya kita melihat bersama hal tersebut sungguh membuat terganggunya kinerja KPK. Penarikan 20 penyidik kepolisian pada saat ramainya kasus simulator SIM, coba diredam dengan sebuah alasan masa tugas para penyidik tersebut telah habis.

Sesungguhnya hal ini dipahami cukup membuat jalannya pemberantasan korupsi tersendat, khususnya terhadap kasus yang ditangani oleh para penyidik tersebut. Sehingga, pada akhirnya ujaran Abraham yang dimuat di beberapa media agar KPK segera memiliki penyi dik independen memang terbukti patut diperhitungkan. Selama independensi itu hanya sebuah ilusi, maka selama itu pula KPK akan selalu terjerat dalam jebakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang sudah tentu berseberangan dengan posisi KPK saat ini.

Meminjam istilah “operasi senyap” yang dilontarkan JK saat memberikan keterangan tentang kasus Bank Century tidaklah berlebihan jika diberlakukan dalam kasus ini. “Operasi senyap” di arahkan kepada sesama pihak yang telah men-setting demi tujuan bersama dari kelompok mereka tanpa perlu pihak lain di luar bagian mereka mengetahuinya. Seolah tak ada habisnya upaya untuk menyudutkan KPK.

Bahkan, memorandum of understanding (MoU) yang ditandatangani tri partit oleh ketua KPK, Jasa Agung, dan Kapolri pada 23 Maret 2012 menjadi satu bukti lain yang mereka pegang untuk membuat gerak KPK semakin terbatas. Alasan MoU menjadi undang-undang yang mengikat pihak yang telah secara sukarela menandatangani tidaklah salah.

Namun, jika melihat tajuk MoU, yakni untuk mempercepat pemberantasan korupsi, maka tentunya bukanlah tarik-menarik masalah siapa yang lebih berhak untuk menangani perkara yang menjadi titik tolak permasalahan. Tapi, yang harus dipikirkan adalah mekanisme komunikasi yang dibangun untuk segera menyesuaikan kasus tersebut demi efisiensi penegakan hukum.

Dalam hukum pidana dikenal ada nya asas lex certa dan lex scripta, yakni kedua hal tersebut mengajarkan kepada ahli hukum untuk dapat melihat penyelesaian hukum melalui pendekatan hukum pidana dengan jelas dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Urgensi pembaruan terhadap undang-undang KPK belumlah diperlukan untuk saat ini karena masih banyak kerja besar lain yang masih belum tuntas.

Sejumlah megaskandal korupsi belum tersentuh, mengapa harus meributkan hal yang sebenarnya tidak pernah dipersoalkan oleh sebagian besar rakyat negeri ini. Janganlah mengatasnamakan rakyat jika saja yang sebenarnya di usung adalah nafsu pribadi dan tujuan tertentu yang memberi keuntungan sepihak bagi pengerat uang rakyat.

Rasanya perlu menyuarakan serta mempertegas argumen bahwa KPK bukanlah lembaga tandingan aparat penegak hukum lain. Jadi, tidak perlu ada sentimen yang mengarah pada nuansa antagonis yang kontraproduktif, tentunya terhadap kerja pemberantasan korupsi. Jika KPK salah, tak ada salahnya dikoreksi dengan bangunan yang konstruktif tanpa perlu dibuat seakan-akan lembaga tersebut telah kehilangan spirit memberantas korupsi, serta embel-embel menabrak peraturan ataupun overlapping kewenangan.

Coba segarkan kembali pikiran orang-orang yang begitu getol menghantam KPK, baik dengan cap “hanya” sebuah lembaga ad-hoc, yang dengan demikian dianggap sebagai lembaga penegak hukum “kelas dua”. Mungkin saja mereka yang mengatakan hal tersebut dahulunya adalah orang-orang yang aktif menyuarakan dan memperjuangkan pembentukan KPK.

Ke depan tentunya KPK sebagai institusi harus lebih berhati-hati dan memahami bahwa kerja pemberantasan korupsi akan terus menuai ujian dari ber bagai pihak. Namun, tentunya kerja ini harus terus ditunaikan. Masyarakat tidak boleh tinggal diam melihat hal yang perlu diluruskan.

Kita tentu terus mendorong harmonisasi dalam supervisi yang dijalankan oleh masing-maisng institusi penegak hukum. Karena, akan sangat sulit untuk dapat membuat negeri ini terbebas dari korupsi jika KPK tidak pernah dicintai sepenuh hati. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar