Operasi Senyap
untuk KPK
Hery Firmansyah ; Dosen Pidana Fakultas Hukum UGM
|
REPUBLIKA,
8 Oktober 2012
Wacana
revisi terhadap keberadaan Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 semakin
kencang diembus kan oleh wakil rakyat. Entah disadari apa tidak oleh mereka,
tindakan tersebut sangat berpotensi besar melemahkan kedudukan KPK. Tercatat
ada dua poin penting yang nantinya akan semakin mengecilkan keberadaan KPK,
yaitu bagian sisi penuntutan dan penyadapan.
Jika
saja jeli membaca sepak terjang KPK maka dua hal ini sesungguhnya merupakan
senjata pamungkas yang KPK miliki di saat kinerja aparat penegak hukum lain
sedang mengalami stagnasi luar biasa. Kasus yang akhirnya menyeret Angelina
Sondakh adalah salah satu bukti kerja penyadapan yang dilakukan oleh KPK
berhasil. Dari Black berry Messenger
yang dikirimkan Angelina terhadap Rosalinda Manullang itu lah kemudian
diketahui ada politik dagang sapi yang dimainkan dalam proyek yang tengah
mereka tangani.
Bahkan,
jauh sebelumnya konspirasi tingkat tinggi yang dilakukan Anggodo berhasil
membuktikan kepada publik bahwa beking penguasa hitam masih dianut dalam
praktik dan mirisnya hal itu dilakukan oleh aparat penegak hukum. Namun, yang
sangat disesalkan, nama pejabat yang jelas-jelas dalam rekaman telepon tersebut
masih bebas ber keliaran menghirup udara segar tanpa tersentuh jeratan hukum.
Inilah opera sabun yang selalu dipertontonkan di dalam dunia hukum kita.
Ancaman
mundur Abraham Samad selaku masinis KPK bukanlah suatu bentuk lepas tanggung
jawab ataupun bentuk tidak kesatrianya yang bersangkutan. Jelas ini sebuah
penentuan sikap yang diambil oleh seseorang untuk dapat melindungi kepentingan
institusi pemberantasan korupsi yang tengah dipimpin nya.
Penguatan
moral yang diberikan dengan kehadiran Hasyim Muzadi serta Mahfud MD
sekurang-kurangnya dapat memberikan kita pengertian bahwa masalah ini cukup
serius untuk ditangani. Urgensi kedatangan tersebut merupakan sebuah dukungan
moral terhadap semangat memberantas korupsi yang tidak boleh redup dan melemah,
apalagi sampai mati di tengah jalan.
Pelan
tapi pasti KPK selalu dibuat repot sehingga akhirnya kita melihat bersama hal
tersebut sungguh membuat terganggunya kinerja KPK. Penarikan 20 penyidik
kepolisian pada saat ramainya kasus simulator SIM, coba diredam dengan sebuah
alasan masa tugas para penyidik tersebut telah habis.
Sesungguhnya
hal ini dipahami cukup membuat jalannya pemberantasan korupsi tersendat,
khususnya terhadap kasus yang ditangani oleh para penyidik tersebut. Sehingga,
pada akhirnya ujaran Abraham yang dimuat di beberapa media agar KPK segera
memiliki penyi dik independen memang terbukti patut diperhitungkan. Selama
independensi itu hanya sebuah ilusi, maka selama itu pula KPK akan selalu
terjerat dalam jebakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang sudah tentu
berseberangan dengan posisi KPK saat ini.
Meminjam
istilah “operasi senyap” yang dilontarkan JK saat memberikan keterangan tentang
kasus Bank Century tidaklah berlebihan jika diberlakukan dalam kasus ini.
“Operasi senyap” di arahkan kepada sesama pihak yang telah men-setting demi tujuan bersama dari
kelompok mereka tanpa perlu pihak lain di luar bagian mereka mengetahuinya. Seolah
tak ada habisnya upaya untuk menyudutkan KPK.
Bahkan,
memorandum of understanding (MoU)
yang ditandatangani tri partit oleh ketua KPK, Jasa Agung, dan Kapolri pada 23
Maret 2012 menjadi satu bukti lain yang mereka pegang untuk membuat gerak KPK
semakin terbatas. Alasan MoU menjadi undang-undang yang mengikat pihak yang
telah secara sukarela menandatangani tidaklah salah.
Namun,
jika melihat tajuk MoU, yakni untuk mempercepat pemberantasan korupsi, maka
tentunya bukanlah tarik-menarik masalah siapa yang lebih berhak untuk menangani
perkara yang menjadi titik tolak permasalahan. Tapi, yang harus dipikirkan
adalah mekanisme komunikasi yang dibangun untuk segera menyesuaikan kasus
tersebut demi efisiensi penegakan hukum.
Dalam hukum pidana dikenal ada nya asas lex certa dan lex scripta,
yakni kedua hal tersebut mengajarkan kepada ahli hukum untuk dapat melihat
penyelesaian hukum melalui pendekatan hukum pidana dengan jelas dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Urgensi pembaruan terhadap undang-undang KPK belumlah diperlukan untuk saat ini
karena masih banyak kerja besar lain yang masih belum tuntas.
Sejumlah
megaskandal korupsi belum tersentuh, mengapa harus meributkan hal yang
sebenarnya tidak pernah dipersoalkan oleh sebagian besar rakyat negeri ini.
Janganlah mengatasnamakan rakyat jika saja yang sebenarnya di usung adalah
nafsu pribadi dan tujuan tertentu yang memberi keuntungan sepihak bagi pengerat
uang rakyat.
Rasanya
perlu menyuarakan serta mempertegas argumen bahwa KPK bukanlah lembaga
tandingan aparat penegak hukum lain. Jadi, tidak perlu ada sentimen yang
mengarah pada nuansa antagonis yang kontraproduktif, tentunya terhadap kerja
pemberantasan korupsi. Jika KPK salah, tak ada salahnya dikoreksi dengan
bangunan yang konstruktif tanpa perlu dibuat seakan-akan lembaga tersebut telah
kehilangan spirit memberantas korupsi, serta embel-embel menabrak peraturan
ataupun overlapping kewenangan.
Coba
segarkan kembali pikiran orang-orang yang begitu getol menghantam KPK, baik
dengan cap “hanya” sebuah lembaga ad-hoc,
yang dengan demikian dianggap sebagai lembaga penegak hukum “kelas dua”.
Mungkin saja mereka yang mengatakan hal tersebut dahulunya adalah orang-orang
yang aktif menyuarakan dan memperjuangkan pembentukan KPK.
Ke
depan tentunya KPK sebagai institusi harus lebih berhati-hati dan memahami
bahwa kerja pemberantasan korupsi akan terus menuai ujian dari ber bagai pihak.
Namun, tentunya kerja ini harus terus ditunaikan. Masyarakat tidak boleh
tinggal diam melihat hal yang perlu diluruskan.
Kita
tentu terus mendorong harmonisasi dalam supervisi yang dijalankan oleh
masing-maisng institusi penegak hukum. Karena, akan sangat sulit untuk dapat
membuat negeri ini terbebas dari korupsi jika KPK tidak pernah dicintai sepenuh
hati.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar