Mobilitas
Pemimpin Lokal
Arbi Sanit ; Institut
Kepemimpinan dan Sistem Politik Indonesia
|
KOMPAS,
01 Oktober 2012
Kinerja dan karya pemimpin
demokratik memang tak otomatis dan mutlak jadi tanggung jawabnya sendiri.
Namun, sah saja bagi publik bila mengaitkan kinerjanya dengan berbagai
kenyataan yang ada.
Sebutlah seperti distorsi
integrasi dan irelevansi serta absensi kebijaksanaan publik, di samping
rentannya koordinasi pemerintahan secara horizontal dan vertikal dengan krisis
politik dan pemerintahan Indonesia. Tidak terbantahkan bahwa hal itu merupakan
konsekuensi dari krisis pemimpin dan kepemimpinan politik, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif.
Krisis
Krisis kuantitas pemimpin
politik terbaca dari keterbatasan pilihan saat pengurus ormas dan parpol serta
pejabat institusi pemerintahan menyeleksi tokoh untuk dijadikan bakal calon dan
calon pemimpin lembaga bersangkutan. Pemahaman searah juga diperoleh dari
laporan surveyor tentang tingkat
kepercayaan publik terhadap tokoh dan pemimpin politik: yang daftar tidak lebih
dari belasan nama.
Sementara itu, krisis
kualitas pemimpin politik bukan saja terjelaskan oleh penampilan tidak pantas
atau berlebihan dari berbagai anggota institusi pemerintahan dan tokoh
masyarakat, lebih dari itu terungkap pula dari pemikiran dan keputusan serta
tindakan mereka yang tidak memenuhi standar minimal negarawan sekalipun.
Memang ironis! Tatkala
230-an juta penduduk dengan kondisi bebas bermobilitas secara horizontal dan
vertikal, Indonesia malah kelangkaan bakal dan calon pemimpin politik. Tentu
saja dapat dikemukakan berbagai penyebabnya.
Pertama, kaderisasi pemimpin
yang tidak saja masih diselenggarakan secara tradisional (baca: magang), tetapi
juga terabaikan.
Kedua, sistem perekrutan
masih andalkan hubungan personal dalam lingkaran kelompok atau golongan elite
sehingga pemimpin berwawasan sempit (elitis).
Ketiga, sejak pengaderan
sampai perekrutan tak diberlakukan standar kriteria kurikulum dan keberhasilan
yang telah diberlakukan secara universal, yaitu integritas, kapabilitas, visi,
dan popularitas. Alhasil, tatkala jadi pemimpin harus mengandalkan kekuatan
pisik dan karisma atau materi untuk berkuasa dan atau mempertahankannya.
Keempat, sistem penggantiannya—yang
merotasi dan meregenerasi pemimpin—tidak konsisten berdasar aturan main baku
yang rasional dan adil. Kelima, basis kekuatan politik pemimpin masih bersifat
acak dan sempit.
Pengalaman hampir satu
setengah dekade reformasi sudah cukup membuktikan, strategi konvensional tak
cukup bermakna untuk menanggulangi masalah kelangkaan pemimpin politik dan
inefektivitas kepemimpinannya. Setiap menjelang pemilu di era Reformasi,
dilakukan perubahan kepartaian dan kepemiluan melalui revisi perundang- undangan
politik. Namun, masalah yang dihadapi tidak terkurangi. Oleh karena itu, sudah
saatnya untuk mengkreasi sistem baru atau alternatif untuk mempersiapkan dan
menyaring calon pemimpin, dengan membesarkan sumbernya dan mengefektifkan
kompetisi penyaringannya.
Memperbesar Potensi
Sejauh ini sistem perekrutan
dan seleksi pemimpin politik konvensional dimonopoli parpol. Mereka
memanfaatkan satu dari dua fungsi utama pemilu parlemen atau pilpres/pilkada,
yaitu memenangi kompetisi posisi kepemimpinan politik. Karena itu prosesnya
dilangsungkan secara berlapis, sesuai peringkat pemerintahan negara:
kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.
Tahapannya dimulai dari
penetapan calon oleh DPP partai, berlanjut ke pendaftaran calon ke KPU sebelum
menjalani kampanye, diakhiri tahap penyerahan suara dan penentuan pemenang.
Tidak diberlakukan syarat kriteria kapabilitas calon, tetapi amat mementingkan
syarat administratif yang terperinci sebagai wujud formalisme demokrasi.
Hasil pilpres era Reformasi
menunjukkan, sistem perekrutan dan seleksi konvensional gagal menghasilkan
pemimpin transformatif yang dibutuhkan untuk memajukan Indonesia secara
optimal. Kecenderungan itu hadir karena secara hakiki pemilu dirancang berwatak
non atau semi- kompetitif, tertutup di arena level pemerintahan dengan pemain
terbatas dan tak transparan.
Fakta terkait keunggulan
Joko Widodo—yang sedang menjabat Wali Kota Solo—dalam Pilkada DKI Jakarta 2012
menginspirasi inovasi sistem perekrutan dan seleksi pemimpin politik nasional.
Dasarnya adalah asumsi bahwa gubernur Jakarta dekat atau ada dalam lingkaran
pemimpin politik nasional.
Untuk ukuran Indonesia,
pemimpin lokal sekaliber Joko Widodo bisa jadi puluhan, bahkan ratusan. Mereka
tokoh pilihan dan atau ”panutan” rakyatnya selama tahunan, sering kali berkuasa
melebihi satu periode. Sejauh ini potensi besar itu disia-siakan karena elite
dan penguasa nasional yang tertutup dan arogan.
Jika menggunakan jalur
konvensional, pembesaran potensi bakal dan calon pemimpin nasional dengan
mobilitas pemimpin lokal harus diproses melalui dan oleh parpol. Akan tetapi,
konservativisme elite partai yang dilatari kepentingan untuk melanggengkan
kekuasaan akan mengganjal perubahan yang dibutuhkan tersebut.
Oleh karena itu, dapat
dipilih cara ”pencarian bakat” nonpartisan, sebagaimana direncanakan oleh
kalangan intelektual nasional baru-baru ini. Namun, cara itu bisa jadi tidak
efektif karena kelanjutan prosesnya dikembalikan ke mekanisme kepartaian dan
pasar pemimpin politik.
Alternatif lain adalah semi-
partisan, yaitu mobilisasi pemimpin lokal ke tingkat nasional atas prakarsa
lembaga masyarakat independen atau organ parpol. Cara semipartisan ini
berproses dalam bentuk kombinasi sosialisasi atau ”pemasaran politik” dengan
survei pengenalan dan penerimaan serta popularitas tokoh atau pemimpin lokal
yang berminat jadi bakal capres atau cawapres. Selanjutnya, bakal calon yang
kepopulerannya berpotensi memenangi pilpres dikembalikan ke proses politik
partisan. Namun, akan lebih baik bila amendemen UUD lanjutan memberikan peluang
bagi aktivitas nonpartisan mempromosikan pasangan capres independen.
Kompetisi Cerdas
Tradisi kampanye, termasuk
”pemasaran politik”, pemilu Indonesia dinilai tak cerdas. Bukan saja tidak
memberikan pilihan rasional kepada pemilih, juga karena berfokus pada
pembangunan citra politik calon.
Inovasi politik cerdas dapat
diwujudkan dengan ”pemasaran politik” berbasis kompetisi terbuka tentang profil
dan rekam jejak integritas dan pengalaman kepemimpinan serta visi bakal capres
atau cawapres. Untuk memenangi kompetisi terbuka, bakal calon harus membuktikan
perkembangan kecerdasannya dengan mengandalkan ”pemasaran politik”, yang
prosesnya mengutamakan diskusi kritis dan dialog antarbakal dan calon.
Untuk memilih bakal dan
calon dengan cerdas, calon pemilih harus membanding dan menyimpulkan berdasar
manfaat tertinggi yang paling bisa diharap dari bakal dan calon. Dengan
sendirinya komunikasi politik cerdas itu bisa mereduksi kebutuhan dana
non-administratif. Hanya saja, pelembagaan inovasi politik itu perlu ketegasan
substansi hukum dan penegakannya. Tegas membatasi kebutuhan dana dan penggunaan
dana hanya untuk keperluan riil administrasi kampanye dan pemilihan. Juga tegas
menjatuhkan sanksi terhadap pelanggar, mulai dari bakal calon, politisi partai
pendukung, sampai pasangan capres sekalipun.
Berbeda dengan prosedur
konvensional yang fokus pada fungsi pilpres untuk menghasilkan pemenang,
inovasi pemilu memperkuat peran pilpres sebagai mekanisme pembentukan dan atau
pematangan kepemimpinan politik secara khusus. Caranya melalui proses
pra-pemilu yang lazim dikenal sebagai pemilu pendahuluan.
Urgensinya, pertama,
mengatasi kelangkaan bakal dan calon pasangan presiden. Kedua, peminat
tersaring melalui kompetisi intrakoalisi partai yang merasa siap memenangi pilpres
berdasar perkiraan porsi pemilih yang mencukupi untuk memenangi jabatan
presiden. Ketiga, pemenang kompetisi politik bakal capres intrakoalisi
ditentukan berdasar keunggulan rekam jejak tentang profil, integritas,
kapabilitas kepemimpinan, visi, dan kerangka program dalam debat politik
terbuka.
Keempat, substansi debat
antarbakal capres menyediakan pijakan bagi calon pemilih untuk menetapkan
pilihan. Kelima, pra-pemilu bukan saja melembagakan kompetisi politik rasional,
juga melatih calon dan pemilih berpolitik cerdas dalam ruang dan waktu yang
mencukupi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar