Diskusi Panel Kompas
‘Masa
Depan ASEAN di Tengah Berbagai Kepentingan dan Kekuatan Multipolar Global’
Menuju
Internasionalisme Asia Tenggara
|
KOMPAS,
01 Oktober 2012
Pengantar Redaksi:
Harian ”Kompas” bersama Kementerian Luar Negeri RI dan Center for East
Asian Cooperation Studies Universitas Indonesia (CEACoS UI) pada 3 September
2012 mengadakan diskusi bertemakan ”Masa Depan ASEAN di Tengah Berbagai
Kepentingan dan Kekuatan Multipolar Global”. Diskusi di Kantor Redaksi ”Kompas”
Jakarta itu menampilkan panelis Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN I Gusti
Agung Wesaka Puja yang diwakili Direktur Mitra Wicara dan Antar Kawasan Rahmat
Pramono, I Gede Ngurah Swajaya (Perwakilan Tetap RI untuk ASEAN), ekonom Unika
Atma Jaya A Prasetyantoko, pengamat ekonomi internasional Prof Djisman
Simandjuntak, dan pejabat Direktur Eksekutif CEACoS UI Makmur Keliat. Laporan
diskusi diturunkan dalam empat tulisan, mulai hari ini sampai Kamis mendatang.
Bagi organisasi regional
ASEAN yang pada 8 Agustus berusia 45 tahun, abad ke-21 adalah tantangan. Bukan
hanya terkait integrasi pembentukan masyarakat ASEAN di atas pilar ekonomi,
politik dan keamanan, serta sosial budaya, melainkan juga terkait evaluasi
ulang peran dan fungsinya di era globalisasi. Pengelompokan regional di Asia
Tenggara berada pada simpang kritis di tengah sejumlah masalah, termasuk
ancaman resesi ekonomi global ataupun interaksi negara-negara besar, seperti
Amerika Serikat, China, India, Rusia, dan Jepang.
Ketika Pertemuan Para
Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) di Phnom Penh, Kamboja, Juli lalu, untuk
pertama kali tak berhasil menghadirkan komunike bersama sesuai tradisi ”Jalan
ASEAN”, banyak pihak mulai melihat ASEAN kehilangan peran dan pengaruhnya
mengawal dinamika dan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara.
Dilema ASEAN kini adalah
sejumlah isu ekonomi, politik, dan keamanan yang dihadapi di kawasan Asia
Tenggara menjadi terlalu besar sehingga ASEAN tampak tak lagi bisa melakukan
apa pun dengan memadai. Sejumlah persoalan yang dihadapi ASEAN, termasuk sidang
AMM di Kamboja itu, mengundang banyak kritik terhadap organisasi regional ini.
ASEAN pascaperang Indochina
memang diharapkan menjadi panacea
bagi stabilitas politik keamanan dan dinamika ekonomi. Mekanisme kerja sama
ASEAN melalui noninterferensi dan mufakat dianggap sudah tak lagi memadai di
era globalisasi.
Dalam era ini, kekuatan
hegemoni dunia, yang sebelumnya terpusat pada AS-Uni Soviet pada masa Perang
Dingin, bergeser membentuk kekuatan multipolar yang melahirkan kekuatan negara
adidaya baru.
Banyak pihak melihat ASEAN
sebagai organisasi yang bereaksi pada sejumlah isu yang muncul di Asia
Tenggara, khususnya pasca-Perang Dingin. Secara mencolok, ASEAN menjadi sangat
aktif menyelesaikan konflik Kamboja, kemudian bergeser dan terbelenggu dalam
isu hak asasi di Myanmar.
Di sisi lain, ketika
kepentingan masing-masing anggota berbenturan satu sama lain—atau bersinggungan
dengan kekuatan tetangga, seperti klaim tumpang tindih Laut China
Selatan—organisasi regional ini dianggap tak mampu menyelesaikannya dan condong
mendorong persoalan ”masuk ke bawah karpet”.
Ini kenyataan yang memang
menjadi pokok persoalan penting dalam rangka antisipasi untuk memberikan bobot
dan nuansa ke-ASEAN-an bagi kawasan strategis Asia Tenggara.
Tumbuh Bertahap
Organisasi regional yang
dihormati dan disegani oleh kekuatan di luar kawasan ataupun negara tetangga
non-ASEAN ini memang berbeda dengan Uni Eropa. Integrasi ekonomi, masyarakat,
ataupun politik ASEAN memang tidak sematang pengelompokan regional di kawasan
Eropa.
Bagi kita, ASEAN akan selalu
berada dalam kondisi natura
nonfacit saltum. Alam tidak membuat lompatan. ASEAN tumbuh secara bertahap
melalui ujian dan cobaan yang sering kali tidak bisa diprediksi sebelumnya.
Bekerja di dalam ASEAN membangun konsensus memang bukan hal yang mudah.
Dengan demikian, untuk
membentuk Masyarakat ASEAN pada tahun 2015, ASEAN yang ingin memainkan dan
menjaga peran sentralnya perlu mengelola arsitektur regional dengan baik dan
menjaga keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) dalam berhadapan dengan
negara-negara besar luar kawasan.
Pandangan ini yang
disampaikan Dirjen Kerja Sama ASEAN I Gusti Agung Wesaka Puja yang dibacakan
Direktur Mitra Wicara dan Antar Kawasan Rahmat Pramono. Dalam diskusi ini
terungkap, peran sentralitas ASEAN di kawasan adalah sesuatu yang harus
dibangun, bukan dituntut dari negara-negara luar kawasan untuk mengakuinya.
Disepakati, ASEAN akan berada di kursi terdepan memainkan peran sentral itu.
Adapun Djisman Simandjuntak,
yang juga Ketua Pengurus Yayasan CSIS dan Ketua Pengurus Yayasan Prasetya
Mulya, berpendapat, tak ada kerja sama antarnegara yang tidak bersifat politik
sehingga mekanisme kerja sama ASEAN pun sangat kental dengan kerja sama politik
sebagai ciri alamiahnya.
”Bali Concord bersifat sangat politik, demikian halnya dengan IMF dan
Bank Dunia,” katanya.
Ciri Alamiah
Sejak awal, pembentukan
ASEAN dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan keamanan di kawasan Asia
Tenggara sebagai prasyarat terjadinya pertumbuhan ekonomi di masing-masing
negara anggota. ASEAN tidak dibentuk untuk melakukan integrasi ekonomi
anggotanya atau membentuk sebuah institusi supranasional.
Ciri alamiah ini yang
menjadi landasan kenyataan orientasi ASEAN dan Uni Eropa yang dibangun untuk
pemeliharaan perdamaian dan keamanan di masing-masing kawasan. Dalam
perkembangannya, kedua organisasi regional ini memang memilih jalan berbeda.
Uni Eropa memilih pendekatan integrasi ekonomi dan membangun masyarakat Eropa
melalui Perjanjian Roma pada tahun 1975.
Adapun ASEAN, pada tingkatan
tertentu, condong memperkuat fondasi regional melalui kerja sama keamanan.
Pertama melalui Deklarasi Zona Damai, Bebas, dan Netral (ZOPFAN) pada tahun
1971, kemudian pada KTT ASEAN di Bali tahun 1976 menghasilkan dokumen penting Treaty of Amity and Cooperation in Southeast
Asia (TAC).
Raison d'être ASEAN yang
berlandaskan persoalan keamanan kawasan memang ditopang oleh semangat
antikomunis ketika itu, dan koheren dengan kepentingan AS di puncak terjadinya
Perang Dingin. Sehingga strategi baru AS tentang kebijakan poros di kawasan
Asia Pasifik dengan sendirinya dipandang sebagai pembaruan eksistensi AS di
Asia Tenggara yang secara bersamaan bersinggungan dengan kebangkitan China
sebagai kekuatan dominan baru di kawasan Asia.
Di era globalisasi ini,
instrumen kebijakan ASEAN condong pada keuntungan ekonomi melalui pembentukan
sejumlah kawasan perdagangan bebas ataupun kemitraan ekonomi sesama anggota
ataupun negara non-ASEAN ataupun luar kawasan. Bisa dipastikan, persoalan
kebijakan ekonomi pun akan bersinggungan dengan masalah keamanan, khususnya
keamanan pangan dan energi, ketika Asia Tenggara harus berhadapan dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang akan
menjadi perjanjian ekonomi standar tinggi.
Indonesia sebagai negara
penting dan besar di ASEAN diharapkan bisa memainkan peran yang memadai membawa
organisasi ini sebagai pengimbang kekuatan dan mengakomodasi kehadiran AS,
China, Uni Soviet, dan Jepang. Diperlukan adaptasi dan penyesuaian komprehensif
untuk tetap menjadikan ASEAN sebagai kekuatan pengimbang melalui nuansa
konsensus dan mufakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar