Ekonomi
Inkonstitusional
Revrisond Baswir ; Penggiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
|
KOMPAS,
01 Oktober 2012
Peralihan kekuasaan dari
rezim Soekarno kepada rezim Soeharto tidak dapat hanya dimaknai secara politik.
Peristiwa itu juga wajib dimaknai secara ekonomi. Menyusul kejatuhan Soekarno,
pemerintahan Soeharto pun menggeser bandul perekonomian Indonesia dari ”kiri”
ke ”kanan”.
Padahal, Pasal 33 UUD 1945
telah dengan tegas mengamanatkan agar ”perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Artinya, dalam penyelenggaraan
perekonomian Indonesia, setiap pelaku ekonomi Indonesia wajib berusaha untuk
bekerja sama dan saling bantu membantu (Hatta, 1970). Dengan latar belakang
seperti itu, penggeseran bandul perekonomian Indonesia dari ”kiri” ke ”kanan”
sebagaimana dilakukan pemerintahan Soeharto, dengan sendirinya berpotensi
memicu terjadinya kerancuan konstitusional. Sebagaimana pernah diakui oleh M
Sadli, walaupun kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto lebih mengikuti paham pasar
yang serba bebas, Undang-Undang Dasar 1945 tetap tidak diubah.
”Undang-Undang Dasar 1945
tidak diubah. Dasar Negara (tetap) Pancasila. Mungkin keputusan untuk tidak
mengubah UUD 1945 lebih didasarkan agar tidak ’membuka kotak Pandora’, yang
bisa mengulangi debat sengit pada tahun 1945 mengenai Dasar Negara. Maka, dasar
pikiran pemerintahan Soeharto adalah untuk merombak paradigma kebijaksanaan
pemerintah dengan penafsiran UUD 1945 secara lebih sesuai dengan kebutuhan
zaman seperti dirasakan penguasa-penguasa baru” (Sadli, 2004).
Amandemen Pasal 33
Berangkat dari pengakuan
Sadli tersebut, dapat diketahui bahwa hasrat untuk mengamandemen Pasal 33 UUD
1945 sesungguhnya sudah muncul sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing. Namun, karena tidak ingin ”membuka kotak
Pandora”, hasrat itu ditangguhkan. Sesuai ungkapan Sadli, yang dilakukan adalah
”penafsiran UUD 1945 secara lebih sesuai dengan kebutuhan zaman seperti
dirasakan oleh penguasa-penguasa baru”.
Sepanjang era pemerintahan
Soeharto, ”penafsiran UUD 1945 secara lebih sesuai dengan kebutuhan zaman
seperti dirasakan oleh penguasa-penguasa baru” tersebut memang berlangsung
tanpa gejolak.
Walaupun perlawanan terhadap
kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto sempat muncul saat meletusnya peristiwa
Malari pada 1974, hubungan Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF),
Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) berjalan cukup lancar. Demikian pula
pelaksanaan agenda liberalisasi terselubung yang dikemas dalam berbagai paket
deregulasi dan debirokratisasi pada 1980-an.
Namun, setelah berlangsung
selama lebih dari tiga dekade, upaya ”penafsiran UUD 1945 secara lebih sesuai
dengan kebutuhan zaman” itu ternyata tidak sepenuhnya mampu mendamaikan
konstitusi dengan kebijakan ekonomi yang hendak dijalankan oleh
”penguasa-penguasa baru”. Hal itu, antara lain, terungkap dari mencuatnya
hasrat terbuka untuk mengamandemen Pasal 33 UUD 1945 pasca-kejatuhan Soeharto
pada 1998.
Bahkan, dalam dengar
pendapat yang dilakukan MPR dengan sejumlah pejabat ekonomi pemerintah dan
ekonom yang mewakili Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia 2001, hasrat untuk
mengamandemen Pasal 33 UUD 1945 itu terungkap sangat jelas.
Hal itu, antara lain, dapat
disimak dari pendapat Sjahrir sebagaimana dikemukakan Mubyarto berikut, ”Dr Sjahrir merasa sulit menerima Pasal 33
UUD 1945 Ayat 1, 2, dan 3 secara tidak direvisi karena kesan yang ditimbulkan
adalah ’keniscayan sistem sosialisme yang dianut dalam pasal tersebut’. Dengan
perkataan lain, paham sosialisme menurut Sjahrir harus ditolak, karena, ’kita
tidak perlu berteman dengan paham ekonomi yang sudah jelas kalah’, dan ’akan
lebih baik membina paham ekonomi dunia kapitalisme yang sudah jelas-jelas
menang dalam pertarungan’” (Mubyarto, 2001).
Kapitalisme
Pancasila?
Walaupun hasrat untuk
mengamandemen Pasal 33 UUD 1945 sudah sangat kuat, sebagaimana terbukti
kemudian, upaya itu gagal membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Bahkan, jika
disimak bunyi Ayat 1, 2, dan 3, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa upaya
itu mengalami kegagalan secara mendasar. Sebagaimana diketahui, amandemen Pasal
33 UUD 1945 hanya berdampak pada hilangnya bagian penjelasan serta
ditambahkannya Ayat 4 dan 5 ke dalam batang tubuh pasal tersebut. Ayat 1, 2,
dan 3 tetap bertahan seperti sediakala.
Berbeda dari era
pemerintahan Soeharto, kegagalan mengamandemen Pasal 33 itu kini harus dibayar
mahal dengan diajukannya sejumlah produk perundang-undangan ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Akibatnya, sebagaimana dialami UU No 20/ 2002 tentang
Kelistrikan, UU ini batal demi hukum.
Secara terbatas, hal yang
hampir serupa dialami pula oleh UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas. Sesuai
keputusan MK, Pasal 28 UU Migas yang mengatur masalah pelepasan harga BBM ke
mekanisme pasar dibatalkan oleh MK. Yang menarik adalah pendapat Sadli ketika
membela UU Kelistrikan dalam persidangan di MK. Walaupun Sadli sudah mengetahui
bahwa amandemen Pasal 33 UUD 1945 gagal dilakukan, ia tetap bersikeras untuk
membela UU Kelistrikan dan menolak amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menurut
Sjahrir mengandung ”keniscayaan sosialisme” itu.
Disebutkan oleh Saldi, ”Maka akhirnya persoalan pokok adalah apakah
kita terima kapitalisme sebagai dasar perekonomian nasional atau menolaknya.
Menolak sudah tidak bisa karena Indonesia tidak bisa berdiri sendiri di
perekonomian dunia. Maka, untuk mengurangi stigma negatif istilah (kapitalisme)
bisa dibubuhi ’Pancasila’, atau di luar negeri social capitalism atau
capitalism with a human face. Terserahlah kalau dengan embel-embel demikian
bisa lebih laku” (Sadli, 2004).
Keyakinan sebagaimana dianut
Sadli dan Sjahrir tentu dianut pula oleh banyak ekonom Indonesia lainnya.
Persoalannya, setelah upaya untuk mengamandemen Pasal 33 UUD 1945 mengalami
kegagalan, masih perlukah kita bermain-main dengan ”penafsiran UUD 1945 secara
lebih sesuai dengan kebutuhan zaman seperti dirasakan oleh penguasa-penguasa
baru”, sebagaimana dikemukakan Sadli?
Bahkan, setelah Amerika
Serikat dan beberapa negara Uni Eropa mengalami krisis keuangan secara
berkepanjangan sejak tahun 2007, masih perlukah kita bersikeras mengatakan
”akan lebih baik membina paham ekonomi dunia kapitalisme yang sudah jelas-jelas
menang dalam pertarungan”.
Sebaliknya, tidakkah sudah
tiba saatnya bagi kita untuk belajar menghormati, menghayati, dan mengamalkan
Pasal 33 UUD 1945 secara jujur dan cerdas? Pertanyaan ini hanya perlu dijawab
jika kita benar-benar menghendaki terselenggaranya sebuah perekonomian yang
mengutamakan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang sebagaimana
diamanatkan oleh pasal tersebut.
Jika yang kita kehendaki
adalah sebuah perekonomian yang inkonstitusional, pertanyaan itu tentu dapat
diabaikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar