Pendidikan
Moral Preman
Ali Mustafa Yaqub ; Imam Besar Mesjid Istiqlal
|
KOMPAS,
19 Oktober 2012
Ketika diberitakan para
pelajar melakukan tawuran sampai menimbulkan korban jiwa, seorang kawan
berkomentar: ”Klop! Yang tua jadi intelektual maling, yang muda jadi pelajar
preman.”
Sejak Januari hingga
September 2012, tawuran pelajar di negeri kita telah menelan korban 21 jiwa.
Ini artinya rata-rata setiap bulan minimal ada dua korban dalam tawuran
pelajar.
Kendati kita berharap
fenomena tawuran pelajar itu hanyalah ”setitik nila yang merusak susu
sebelanga”, tampaknya para penanggung jawab pendidikan di negeri ini perlu
mencari sebab, apa yang salah dalam pendidikan kita? Ibarat membuat roti
berbahan baku terigu, apabila hasilnya ternyata bakwan mungkin ada yang salah
dalam jenis bahan tambahan dan atau cara pengolahannya.
Jika tujuan pendidikan
adalah untuk mencerdaskan anak bangsa yang berbudi luhur, berakhlak mulia,
dan bertakwa kepada Tuhan, tetapi hasilnya adalah lahirnya generasi yang
cerdas tetapi bermoral preman, maka tentu ada yang salah dalam pendidikan
kita. Bahan bakunya sudah jelas, yaitu para pelajar. Bahan tambahan dan cara
pengolahannya mungkin perlu ditinjau ulang.
Bila tujuan pendidikan
kita seperti disebut di atas, bahan tambahannya tentu pendidikan moral agama
karena agama tak pernah mengajarkan premanisme. Namun, tampaknya bahan
tambahan yang diajarkan bukan pendidikan moral agama. Boleh jadi pendidikan
moral preman. Sebab, hasilnya adalah generasi yang cerdas, tetapi bermoral
preman dengan budaya tawuran dan bunuh-bunuhan.
Akui Kesalahan Kita
Seyogianya kita berani
mengakui ada yang salah dalam pendidikan kita. Dengan keberanian mengakui
kesalahan itu maka kita dapat melakukan perbaikan. Sejauh ini kita tidak
pernah dan semoga tak akan pernah, mendengar adanya tawuran dan bunuh-bunuhan
antarpelajar dari sekolah yang berbasis agama. Kendati begitu, kita perlu
waspada adanya upaya pembusukan sekolah berbasis agama.
Perbedaan pendidikan
antara sekolah berbasis agama dan yang tak berbasis agama terletak pada bahan
tambahan dan cara pengolahannya. Sekolah yang berbasis agama telah melahirkan
generasi cerdas dan berakhlak mulia, kendati hal itu belum sempurna dan masih
banyak kekurangan,
Premanisme pelajar dengan
budaya tawuran dan bunuh-bunuhan tidak pernah dikenal di sekolah berbasis
agama. Sementara bahan baku untuk semua jenis sekolah sama: peserta didik
alias pelajar. Maka, untuk melahirkan generasi bangsa sesuai tujuan pendidikan
yang diamanatkan UU Sistem Pendidikan Nasional, kita perlu mengubah bahan
tambahan dan cara mengolahnya dengan pendidikan moral agama dan akhlak mulia.
Kendati begitu, belum ada
jaminan pasti apabila bahan tambahan itu diubah akan melahirkan generasi cerdas
dan bermoral. Sebab, untuk melahirkan generasi yang ideal diperlukan tiga
unsur pendidikan, yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan
pendidikan lingkungan. Kendati jam pelajaran pendidikan moral agama di
sekolah ditambah semaksimal mungkin, apabila rumah tangga dan lingkungan
tidak ikut mendukung hal itu, hasilnya juga jauh dari harapan.
Oleh karena itu, apabila
kita menginginkan lahirnya generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia,
tiga unsur pendidikan itu wajib segera dibenahi. Apabila hal ini tidak
dilakukan, justru akan lahir generasi preman dan intelektual maling. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar