Menilik
Estafet Kepemimpinan di PDIP
M Jamiluddin Ritonga ; Pengamat Masalah Sosial dan Politik
|
SINAR
HARAPAN, 11 Oktober 2012
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
boleh bangga memiliki ketua umum yang begitu populer di masyarakat.
Megawati Soekarnoputri (Mega) selalu mendapat
peringkat 1 dan 2 dalam setiap polling yang dilakukan berbagai lembaga survei.
Peringkat Mega selalu bergantian dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra,
Prabowo Subianto.
Popularitas yang begitu tinggi menjadikan
Mega tidak tertandingi di internal partainya. Kader lain, praktis tidak pernah
muncul dalam polling capres dan cawapres, kecuali Puan Maharani.
Peringkat yang diperoleh sang anak juga
antara langit dan bumi dengan peringkat sang ibunda dalam popularitas. Karena
itu, kiranya wajar kalau mayoritas kader PDIP masih berharap sang ketua umum
tetap bersedia menjadi calon presiden (capres) 2014.
Keyakinan itu pernah dikemukakan Ketua DPP
PDI Perjuangan, Maruarar Sirait. Politikus muda ini bahkan berani menjamin
bahwa arus bawah 100 persen mendukung Mega untuk maju dalam Pilpres 2014.
Dukungan itu dilandasi pada keyakinan bahwa
Mega seorang figur yang memiliki kekuatan ideologi Pancasila, kerakyatan, dan
pluralisme.
Klaim Maruarar tersebut tentu bersifat
politis. Ini karena Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, Taufiq Kiemas, secara
tidak langsung sudah sering membantah klaim-klaim seperti itu.
Taufiq Kiemas justru berulang kali menyatakan
keinginannya agar capres mendatang sebaiknya dari generasi muda. Bantahan tidak
langsung ini tentu menyiratkan bahwa di PDIP tidak satu suara dalam menentukan
capres 2014.
Multitafsir
Keinginan Taufiq Kiemas tersebut memang
multitafsir. Di satu sisi, pernyataannya itu mengesankan bahwa ia memang
bersungguh-sungguh tidak menginginkan lagi generasi tua memimpin negeri ini
pada tahun 2014.
Kesungguhannya itu mungkin dimaksudkan untuk
menyelamatkan reformasi. Ini karena selama reformasi bergulir, negeri ini terus
dipimpin generasi tua yang hasilnya dinilai banyak pihak tidak signifikan.
Karena itu, ia menawarkan solusi untuk mempercepat terwujudnya amanat reformasi
adalah mengusung generasi muda untuk memimpin negeri ini pada Pilpres 2014.
Namun, di sisi lain, pernyataan Taufiq Kiemas
itu dapat dilihat hanya sebagai sinyal untuk internal PDIP.
Sebagai politikus kawakan, ia tentu memiliki
kalkulasi politik tentang kemungkinan Mega akan gagal lagi untuk yang ketiga
kali bila dipaksakan bertarung dalam Pilpres 2014. Sebagai suami, ia tentu
tidak rela melihat sang istri menjadi pecundang di usia senja.
Selain itu, Taufiq Kiemas boleh jadi ingin
memanfaatkan momentum Pilpres 2014 sebagai estafet kepemimpinan di internal
PDIP. Momen ini dinilainya tepat di saat kader PDIP masih menjadikan sosok Mega
sebagai simbol partai. Dengan begitu, estafet kepemimpinan dari Mega ke Puan
Maharani diharapkan akan berjalan mulus, tanpa riak-riak yang berarti.
Sinyal tersebut juga dikemukakan Mega saat
memberikan pidato politiknya di gedung Manggala Wanabakti pada 21 April 2012.
Ia menginginkan agar anaknya, Puan Maharani, menjadi presiden dari PDIP.
Keinginan Mega mengusung Puan sebagai capres kiranya sejalan dengan harapan
Taufiq Kiemas.
Keinginan Mega juga mengisyaratkan bahwa
harapan Taufiq Kiemas agar Indonesia dipimpin orang muda hanyalah retorika
politik. Ini karena di PDIP banyak orang muda yang kompeten dan popularitasnya
dapat diadu dengan Puan Maharani. Namun, sinyal untuk itu tidak pernah muncul
baik dari Mega, Taufiq Kiemas, maupun kader PDIP sendiri.
Jadi, di balik pernyataan Taufiq Kiemas
tersebut kiranya hanya strategi untuk memuluskan estafet kepemimpinan di PDIP.
Taufiq Kiemas boleh jadi tidak peduli capres mendatang dari generasi tua atau
generasi muda. Baginya, yang terpenting adalah bagaimana suksesi kepemimpinan
di PDIP dari Mega ke Puan Maharani dapat berjalan sesuai skenarionya.
Kalau demikian halnya, tujuan utama Taufiq
Kiemas boleh jadi tidak terlalu berharap kader terbaik PDIP dapat memenangi
Pilpres 2014.
Ini karena, kalau PDIP berhasil melakukan
suksesi kepemimpinan melalui penentuan capres PDIP kepada Puan Maharani, maka
peluang memenangi Pilpres 2014 tampaknya akan tertutup. Puan Maharani, dilihat
dari berbagai aspek memang dinilai belum layak menjadi capres, apalagi
presiden.
Namun, bagi Taufiq Kiemas, bisa jadi hal itu
bukan persoalan prinsip, selama dinasti keluarga tetap memimpin PDIP. Sang
anak, yang masih mudah dinilai masih cukup banyak waktu untuk menjadi presiden,
layaknya sang kakek dan ibundanya. Mungkin itu yang ada di benak Taufiq Kiemas,
sehingga kepentingan keluarga lebih menonjol daripada kejayaan partai wong
cilik.
Harus Teruji
Keinginan untuk mengusung anak menjadi calon
presiden bukanlah tindakan yang salah. Di banyak negara demokrasi hal itu sudah
kerap terjadi. Bahkan, Amerika Serikat, yang dinilai dedengkotnya demokrasi,
sudah melakukan hal itu sejak lama. Ini artinya, bila Taufiq Kiemas dan Mega
nantinya benar-benar mengusung Puan Maharani menjadi capres, pada dasarnya
mengikuti pola Amerika Serikat.
Sepanjang sejarah demokrasi Amerika Serikat,
ada dua pasangan orang tua dan anak yang menjadi presiden negeri Paman Sam
tersebut. Pasangan pertama, John Adams dan John Quincy Adams yang merupakan
presiden ke-2 dan ke-6 Amerika Serikat. Kedua, George W Bush dan George W.
Presiden ke-41 dan 43 merupakan pasangan kedua ayah dan anak yang menjadi
presiden Amerika.
Hanya saja, di Amerika Serikat, seorang anak
yang mengikuti jejak orang tuanya menjadi presiden sudah melalui ujian dengan berbagai
kompetisi sebelum menjadi orang pertama di AS. Mereka tidak hanya memiliki nama
besar ayahnya (keluarga), namun sudah teruji dalam panggung politik. Dengan
begitu, pencalonan sang anak tidak menjadi masalah, karena dinilai memiliki
kapasitas untuk menjadi presiden.
Berbeda halnya dengan kasus Indonesia, yang
belum memiliki sistem ujian politik yang baik untuk dilalui seorang anak
menjadi presiden seperti orang tuanya.
Proses ujian di Indonesia masih ditolong
melalui nama besar orang tuanya, seperti yang dijalani Mega di awal karier
politiknya. Bahkan, hingga sekarang Mega masih berada di bawah bayang-bayang
orang tuanya, di mana foto Pak Karno selalu mendampingi Mega dalam berbagai
aktivitas politiknya.
Kecenderungan yang sama juga membayangi kiprah
Puan Maharani, yang dalam banyak aktivitas politiknya kerap didampingi foto
Mega dan Pak Karno. Pendekatan yang relatif sama ini diharapkan dapat
mengantarkan Puan Maharani menjadi orang nomor satu di PDIP, sekaligus
mengulang sukses sang ibu dan kakek.
Persoalannya adalah apakah cara demikian akan
berhasil di tengah era yang berbeda? Tentu sulit menjawabnya. Hanya saja,
sejarah sudah membuktikan, langgam yang sama bila diterapkan di era yang
berbeda, kerapkali hasilnya akan jauh dari harapan.
Karena itu, upaya mengantarkan Puan Maharani
menjadi capres 2014, sekaligus suksesi kepemimpinan di PDIP, akan berhasil bila
langgam yang digunakan disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Jadi, keinginan Taufiq Kiemas dan Mega akan
berhasil, bila Puan Maharani harus melewati ujian yang akan menyeleksinya
pantas atau tidak menjadi orang nomor satu di republik ini.
Bila tidak, dikhawatirkan akan timbul gejolak
di internal partai, yang imbasnya akan berpengaruh pada perolehan suara PDIP
pada Pileg dan Pilpres 2014. Kiranya hal itu patut direnungkan Taufiq Kiemas
dan Mega sebelum memutuskan Puan Maharani maju sebagai capres 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar