Menghapus
Korupsi
Mochtar Naim ; Sosiolog
|
KOMPAS,
01 Oktober 2012
Dari mana harus dimulai?
Jika pertanyaan ini diajukan kepada seorang sosiolog yang menekuni
masalah-masalah patologi sosial, jawabnya sama seperti yang diberikan oleh
dokter dalam menghadapi pasiennya.
Korupsi dan
derivatifnya—kolusi, nepotisme, despotisme—adalah penyakit masyarakat. Oleh
karena itu harus dimulai dengan melakukan diagnosis, yaitu mencari penyebab
dari penyakit itu. Jika penyebabnya sudah ditemukan, penyebabnya itulah yang
diangkatkan melalui terapi-terapi penyembuhan dan dengan resep obat-obat yang
tepat.
Pertanyaan, dapatkah korupsi
sebagai penyakit masyarakat itu diangkat? Jawabnya, sama seperti dokter
menjawab pertanyaan pasiennya: Insya Allah, dapat! Kecuali kalau penyakitnya
sudah lajat, sudah sangat payah, memang tidak bisa disembuhkan lagi. Yang
ditunggu adalah kematian. Bukankah kematian masyarakat akibat korupsi sudah
kita temukan di mana-mana dalam lembaran sejarah? Kuburannya pun bertebaran di
mana-mana.
Memang, penyakit masyarakat
bernama ”korupsi” itu telah ada sejak manusia ada. Secara potensial inheren ada
pada tiap manusia. Namun, manusia itu disebut manusia karena dia berusaha
melawan dan memerangi sifat-sifat buruk (sayyiah),
jelek (lawwamah), dan kesetanan
(syaithaniyyah)-nya dengan petunjuk-petunjuk Ilahi dan akal sehatnya. Itu sebabnya, dalam Islam, keimanan dan
ketakwaan harus senantiasa diperbarui dan diperkuat. Perjalanan hidup seseorang
tak pernah berupa garis lurus yang terus menanjak atau terus menurun, tetapi
keduanya. Itu sebabnya kenapa ada orang yang pada mulanya baik, lurus, jujur,
tidak korupsi, tetapi akhirnya jelek dan menjadi koruptor besar. Begitu juga
sebaliknya.
Karena itu, dari segi
pendekatan psikoteologis dan dari tinjauan mikrokosmis ini, penyembuhan
penyakit korupsi dan antek-anteknya—betapapun luas dan meruyaknya—harus dimulai
dari diri.
Pendekatan bersifat kejiwaan
yang dimulai dari diri, bagaimanapun, harus dilakukan karena yang sakit itu
sesungguhnya adalah jiwa. Penyakit jiwa terapinya terutama agama. Tak ada
terapi kejiwaan yang lebih ampuh dan lebih menyentuh kecuali pendekatan
kejiwaan bernuansa keagamaan. Dalam psiko-terapi yang bernuansa keagamaan,
manusia yang telah terputus talinya dengan Sang Penciptanya dihubungkan kembali
sehingga dia merasakan ada pihak lain selain dirinya yang akan membantu dia,
yaitu Sang Pencipta.
Multilevel dan Multifaset
Bagaimanapun, manusia tidak
sendiri hidup di dunia ini. Dia tak akan survive
dan ada kalau tak ada manusia lain bersamanya. Di tengah-tengah masyarakat
inilah dia hidup. Korupsi itu ada dan baru ada ketika dia hidup bersama masyarakatnya.
Pada dimensi bersifat
makrokosmis yang berorientasi kemasyarakatan ini, maka korupsi yang tadinya
bersifat individual sekarang juga bersifat sosial, bahkan kultural. Sekarang
kaitannya tak hanya pada diri orang per orang, juga pada sistem yang berlaku dan corak kebudayaan yang dianut. Ini yang membedakan ada
masyarakat yang bisa mengendalikan laju fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme
itu, dan ada yang terbawa hanyut karenanya.
Fenomena korupsi ini pada
analisis pertama bisa dibagi dua menurut corak sistem, lembaga, dan budaya yang
berlaku. Pertama, bercorak demokratis, egaliter, dan menempatkan hukum berdiri
di atas penguasa. Kedua, bercorak feodalistis, hierarkis, dan menempatkan
penguasa berdiri di atas hukum. Secara hipotetis dikatakan: yang pertama laju
korupsinya rendah dan terkendali, yang kedua laju korupsinya tinggi dan tak
terkendali.
Bukti historis-empirik dan
aktual dari negara-negara yang melaksanakan corak pertama ada di mana-mana.
Begitu pun contoh corak kedua. Negara-negara terbelakang dan dunia ketiga yang
sedang bergulat menyelesaikan dirinya dan yang telah melewati puncak
perkembangan dan kemajuannya relatif akut korupsi, kolusi dan nepotismenya.
Sementara negara-negara maju yang demokratis, terbuka, dan menempatkan hukum di
atas semua orang dan semua kepentingan umumnya KKN- nya—kalau ada—terkendali
dan rata-rata di bawah ambang toleransi.
Sekarang ke pangkal kaji:
dapatkah semua ini dihapus? Kalau dapat, dari mana harus dimulai? Tentu saja
dapat kalau memang kita mau menghapusnya! Semua itu lalu harus dimulai dengan
azam yang kuat, dengan tekad dan iktikad yang bulat dan menyatakan perang
sampai ke akar-akarnya. Niat dan azam yang kuat ini tentu harus dibarengi
perbuatan nyata yang konkret dan terprogram. Pendekatannya pun harus bersifat multifaset, multilevel, dan terpadu
secara berkesinambungan.
Sedikitnya ada empat
pendekatan multilevel yang secara serempak dan terpadu harus dilakukan:
pendekatan struktural-sistemik, pendekatan kultural, pendekatan keagamaan, dan
pendekatan suri teladan dari para pemimpin.
Dengan pendekatan
struktural-sistemik berarti semua perangkat hukum dan pelembagaan dalam rangka
pemberantasan korupsi harus disiapkan. Undang-undang yang dikeluarkan harus
bersanksi berat. Adapun yang dikejar dengan cara capital punishment ini:
pelajaran bagi khalayak ramai agar tidak mencoba-coba melakukannya.
Di balik semua perangkat
hukum ini tentu saja adalah perlakuan hukum yang sama dan tidak memihak. Hukum
harus ditempatkan di atas semua orang, golongan, dan kepentingan tanpa pilih
kasih. Jika ini berjalan, korupsi dan tindak kejahatan lain apa pun akan
berkurang.
Hukum juga akan berjalan
secara efektif jika sistem kontrol yang bersifat timbal balik dihidupkan
kembali. Prinsip trias politika
adalah sebuah keniscayaan yang mau tak mau memang harus dihidupkan dan
diberlakukan kembali. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di samping
setara juga harus bersifat saling mengontrol dan saling mengingatkan.
Pendekatan Kultural
Pendekatan kultural tak
kalah penting dalam upaya menghapus korupsi secara tuntas dan total. Seperti
dimaklumi, penyebab utama maraknya KKN di bumi Indonesia—terutama selama Orde
Baru dan Lama—adalah karena kita kembali ke dunia lama kita yang sesungguhnya
sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan hidup sekarang. Penghalang utama adalah
kultur bangsa kita sendiri yang selama berabad- abad hidup secara akrab dengan
korupsi, kolusi dan nepotisme itu.
Peranan sebagai perantara
yang dimainkan oleh kelompok keturunan asing, khususnya China, dalam perdagangan
untuk kepentingan keraton berlanjut sampai hari ini dalam jumlah dan skala yang
makin besar. Kehidupan para priayi yang lebih memilih hidup senang tanpa
berpayah-payah telah menyebabkan kolusi dan nepotisme menjadi bagian tak
terpisahkan, bahkan telah membudaya dari kehidupan feodal di bumi Indonesia.
Dengan pendekatan kultural,
struktur pemerintahan dan kekuasaan yang dijiwai oleh semangat feodalisme itu
harus dikikis habis. Kita harus menyatakan perang terhadap feodalisme dan
nepotisme itu sendiri. Dengan memberlakukan dan menggantikannya dengan sistem
demokrasi, di mana rakyat yang berdaulat—bukan raja atau presiden—maka
feodalisme dan nepotisme yang telah berurat berakar itu diharapkan akan hapus
pada waktunya.
Lalu, seperti telah
disinggung di atas, pendekatan agama. Apa pun corak pendekatan yang
dilakukan—struktural-sistemik, hukum, kelembagaan dan kebudayaan—jika tak
dijiwai semangat keagamaan, orang hanya takut korupsi karena ada undang-undang,
ada polisi, dan ada sanksi hukum yang sifatnya formal. Semua itu, seperti
selama ini, bisa dibeli dan dikelabui. Adapun yang bisa menahan diri kita untuk
tidak korupsi yang ternyata jauh lebih efektif justru adalah pertahanan yang
ada dalam diri sendiri.
Pertahanan itu namanya agama, walau yang keluar dalam
bentuk norma, sikap, dan perilaku. Melalui ajaran-ajaran keagamaan ini, orang
lalu tertahan untuk melakukan apa-apa yang tidak baik dan menyalahi hukum.
Sanksi agama yang melekat dalam diri orang per orang bisa lebih ampuh dan lebih
efektif daripada sanksi hukum mana pun. Praktik puasa hanyalah satu contoh
betapa tanpa dilihat oleh siapa pun orang tak akan makan-minum yang membatalkan
puasa.
Komponen keempat, walau
bukan yang terakhir, teladan yang baik dari para pemimpin. Adagium dalam Islam,
”mulailah dari dirimu sendiri”, sangat tepat dan berlaku dalam contoh
keteladanan ini. Apatah lagi dalam Islam tiap orang adalah pemimpin, dan
pemimpin itu bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.
Namun, kombinasi dari semua
ini secara terpadu, multilevel, dan multifaset
tentu lebih menjamin terkikis habisnya praktik dan budaya korupsi di bumi
Indonesia. Jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh, seperti yang kita lihat
dengan contoh teladan dari negeri-negeri jiran, dalam satu generasi yang sama
sudah akan terlihat buktinya. ●
Hal yang amat sederhana mudah mudahan bisa menginspirasi.
BalasHapusKorupsi akan terjadi dan akan dilakukan oleh Manusia yang Hatinya sedang dalam keadaan Kotor.
Manusia yang Hatinya Kotor , dia akan sulit mengenali dirinya dan juga kesulitan didalam menangkap petunjuk petunjuk yang telah diberikan oleh Alloh SWT kepada setiap makhluk Nya, karena itulah maka akan muncul rasa Khawatir, Ketakutan, Iri Hati pada diri manusia.
Munculnya rasa Khawatir, Ketakutan ataupun Iri Hati tersebut mendorong upaya manusia untuk melakukan pengamanan diri.
Akibat dari kurangnya pengenalan diri, maka manusia akan melakukan pengamanan yang berlebihan tak mengetahui batas batasnya, termasuk hak haknya yang telah diberikan Alloh SWT kepada manusia .....Inilah awal muawalnya mengapa manusia melakukan Korupsi ... atau dia melakukan sesuatu yang diluar hak yang diamanahkan Alloh SWT kepadanya.
Sehingga bila kita akan memberantas korupsi, tidak sulit .... Bersihkan Hati kita , maka kita tidak akan melakukan korupsi , karena manusia yang hatinya dalam keadaan bersih dia tahu dan mampu melaksanakaan apa apa yang seharusnya diperbuat secara tepat , karena orang yang hatinya dalam keadaan bersih akan mampu membaca petunjuk petunjuk Alloh SWT.
Dan untuk membersihkan hati , sebetulnya juga tidak lah sulit, perlu diingat bahwa tidak siapapun bisa membersihkan hati manusia kecuali hanya Alloh SWT semata.
Karena itulah maka mohonlah kepada Alloh SWT untuk dibersihkan hati kita , dan ikutilah dengan berjanji bahwa kebersihan hati tersebut hanyalah untuk meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Alloh SWT.
Terima kasih , sedikit komentar ini, semoga bisa menginspirasi .....