Benteng
Terakhir Melawan Krisis
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS,
01 Oktober 2012
Perekonomian Indonesia kebal
krisis pada 2008-2009 karena tiga hal. Pertama, konsumsi domestik yang kuat,
yang didukung oleh keberadaan masyarakat kelas menengah. Konsumsi rumah tangga
menyumbang 55 hingga 60 persen pembentukan produk domestik bruto. Kelas
menengah kita berjumlah 130 juta orang, dengan daya beli 2 hingga 20 dollar AS
per orang sehari.
Kedua, Indonesia memiliki
produk-produk primer yang menyebabkan keragaman komoditas ekspor. Ketika pasar
manufaktur global sedang lesu terkena krisis, Indonesia justru mengalami ”bonanza”
melalui ekspor produk-produk berbasis sumber daya alam yang harganya meroket
(minyak sawit, batubara, karet, dan timah). Akibatnya, surplus perdagangan
mencapai 20 miliar hingga 40 miliar dollar AS setahun.
Ketiga, industri perbankan
beruntung tidak memiliki portofolio yang besar pada produk dan transaksi
derivatif global sehingga tidak menderita kerugian berarti ketika harga saham
global jatuh. Krisis global kali ini berbeda. Harga produk-produk primer jatuh.
Dalam empat bulan terakhir, neraca perdagangan tekor. Tahun ini diperkirakan
akan terjadi defisit perdagangan, sesuatu yang sudah lama tak kita alami.
Oleh karena itu, benteng
terakhir pertahanan untuk melawan krisis kini bergantung pada geliat kelas
menengah, kinerja industri perbankan, dan masuknya modal asing. Terperosoknya
perekonomian India yang pertumbuhan ekonominya menurun drastis dari level 8
persen menjadi 5 persen juga menjadi salah satu alasan investor global
mengalihkan sasaran investasi ke Indonesia selain ke China. Itulah sebabnya
bursa efek kita kembali bergairah, bahkan pekan lalu mencatat rekor baru di
atas 4.250. Kinerja industri perbankan sejauh ini baik-baik saja. Aset total
mencapai Rp 3.900 triliun, dana pihak ketiga Rp 2.900 triliun, kredit total Rp
2.400 triliun, non-performing loan bruto 2,18 persen, dan net interest margin
5,38 persen.
Bahkan, dalam hal ekspansi
kredit melebihi ekspektasi, dengan pertumbuhan 25,8 persen. Dalam situasi
tertekan krisis ekonomi global, mestinya ekspansi kredit turun, misalnya
menjadi 23 persen atau 24 persen. Yang terjadi justru sebaliknya, penyaluran
kredit tetap tinggi. Hal ini akan menjadi jaminan bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia dapat mencapai setidaknya 6,3 persen tahun ini.
Namun, di sisi lain, timbul
kekhawatiran overheating, yakni pertumbuhan ekonomi tinggi yang diikuti dampak
negatif defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Kejadian ini pernah
kita alami pada 1996 sebelum krisis 1997. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI)
mulai meminta bank-bank mengerem ekspansi kreditnya dan lebih mementingkan
aspek kualitatif.
Dalam rangka meningkatkan
kualitas itulah, BI akan segera mengeluarkan kebijakan perizinan berlapis (multiple license), di mana BI akan
membeda-bedakan strata setiap bank berdasarkan modalnya. Semakin besar modal
suatu bank, semakin leluasa bank tersebut mengembangkan bisnisnya, termasuk
mendirikan cabang-cabang di daerah. Saat ini, perbankan nasional diperbolehkan
mengembangkan bisnis apa pun karena penerapan perizinan tunggal (single license).
Implikasi dari kebijakan ini
adalah hanya bank-bank berkualitas baik yang berhak atas lisensi mendirikan
cabang-cabang di daerah. Dengan catatan, jika BI dan pemerintah daerah juga
harus secara proaktif memberikan daya tarik dan kemudahan agar kota-kota dan
daerah-daerah yang selama ini kurang terjangkau oleh sektor perbankan menjadi
sasaran investasi. Implikasi lain dari ketentuan ini adalah kian sulitnya
bank-bank asing melakukan ekspansi pendirian kantor-kantor cabang di kota-kota
kecil. Dalam beberapa tahun terakhir, bank-bank asing mulai merambah ke
daerah-daerah untuk menjalankan ekspansi kredit usaha mikro, kecil, dan
menengah yang menjanjikan tingkat keuntungan tinggi.
Kebanyakan bank asing di
Indonesia berstatus sebagai cabang dari kantor pusatnya di luar negeri. Karena
status ini, mereka tidak memiliki struktur permodalan yang kuat. Modal mereka
berada di negara-negara asalnya. Dengan ketentuan BI yang baru, mereka tidak
akan diizinkan membuka cabang di daerah karena persyaratan mendirikan bank di
daerah adalah memiliki struktur modal yang kuat.
Bank-bank asing itu boleh
mendirikan cabang jika statusnya diubah menjadi anak perusahaan (subsidiary) dan berbadan hukum perseroan
terbatas (PT). Dengan status hukum ini, akan terjadi suntikan dana (modal) dari
induk bank itu di luar negeri ke Indonesia. Akibatnya, cadangan devisa BI akan
meningkat. Ini akan sangat bagus bagi neraca pembayaran kita dan bisa
memperkuat kurs rupiah.
Praktik regulasi ini lazim
dilakukan di luar negeri. Ketika Bank Mandiri ingin melakukan ekspansi kredit
di London, kantor pusat Bank Mandiri di Jakarta harus menyuntikkan dana ke
London agar mempertahankan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio). Suntikan dana ini berdampak positif bagi
perekonomian Inggris karena berarti ada aliran dana masuk.
Asas
resiprokalitas inilah yang hendak dituju BI. Sudah lama hal
ini menjadi ganjalan bagi BI. Upaya untuk menyetarakan regulasi sehingga semua
bank berada pada level of playing field
yang sama agak sulit dieksekusi ketika perekonomian Indonesia sakit untuk
periode yang lama. Namun, seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian
Indonesia, BI pun mulai ”berani” melakukan upaya ini. Memang akan timbul pro
dan kontra. Regulasi multiple license
ini seperti menutup kesempatan bank-bank asing untuk membuka cabang di daerah.
Ini akan menjadikan berkurangnya kesempatan untuk memberikan akses
sebanyak-banyaknya kepada masyarakat terhadap produk perbankan (financial inclusion). Namun, di sisi
lain, hal ini akan mendorong bank-bank asing untuk mengubah status hukumnya
menjadi PT. Implikasinya, akan ada aliran suntikan modal masuk ke Indonesia. BI
bisa mendorong naik cadangan devisanya yang kini sekitar 109 miliar dollar AS.
Bagi bank-bank lokal,
sasaran yang dikehendaki BI adalah mendorong terjadinya konsolidasi. Bank-bank
kecil diharapkan tergerak untuk melakukan konsolidasi (merger dan akuisisi) dengan bank-bank lain sehingga permodalannya
semakin kuat. Namun, soal ini saya tidak bisa terlalu optimistis. Pengalaman
selama ini, bank-bank kita sangat sulit berkonsolidasi. Itulah sebabnya jumlah
bank kita sekarang tetap tinggi, 120 bank.
Meski demikian, regulasi multiple license saya anggap baik,
terutama jika berhasil memicu bank-bank asing untuk membentuk PT. Aliran dana
asing masuk ke Indonesia yang ditimbulkannya sangat penting sebagai salah satu
strategi yang jitu menghadapi krisis ekonomi global. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar