Mengatasi
Ekonomi Berbiaya Tinggi
Berly Martawardaya ; Dosen FE UI dan Pengurus Indec
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Oktober 2012
MASUKNYA Indonesia
pada kategori investment grade mendorong investor global untuk masuk ke
negeri ini. Ada banyak kemudahan investasi yang diluncurkan, namun sudah
menjadi rahasia umum bahwa peraturan di atas kertas dan praktik bisa berbeda
hasilnya.
Salah satu kendala utama dalam berinvestasi di
daerah ialah ekonomi berbiaya tinggi yang sering juga disebut praktik pungli
(pungutan liar). Pada masa Orde Baru korupsi berpusat pada lingkaran elite
rezim pemerintah, tetapi di era desentralisasi praktik korupsi ini justru
terdesentralisasi dan menyebar ke daerah.
Seperti yang pernah ditulis Media Indonesia
(4/10), nyata-nyata bahwa praktik ekonomi biaya tinggi kian memojokkan dunia
usaha dan berimbas ke kesejahteraan pekerja. Para buruh beberapa kali harus
turun ke jalan untuk menuntut adanya aturan yang menjamin kehidupan layak dan
kesejahteraan bagi mereka. Bahkan, akibat aksi tersebut, banyak industry yang
tutup beroperasi selama sehari dengan kerugian yang bisa menembus triliunan
rupiah.
Namun, pengusaha juga tidak punya cukup ruang
bernapas untuk mewujudkan rupa-rupa tuntutan para pekerja tersebut.
Masalahnya jelas, karena para pengusaha dibelit rantai birokrasi yang panjang
(dipanjangpanjangkan) dan besarnya biaya siluman.
Birokrasi yang berbelit dan besarnya pungutan
liar itu menjadikan pengusaha harus merogoh kocek lebih mahal untuk
menjalankan bisnis. Akibatnya, perusahaan tidak dapat membayar pekerjanya
dengan upah lebih layak. Keluhan pengusaha itu mendapatkan justifi kasi dari
penelitian yang pernah dilakukan Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan
Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia yang menunjukkan besarnya biaya
siluman mencapai 20%-30% dari total ongkos produksi.
Kalau biaya tinggi itu bisa dihilangkan, LP3E
memprediksi bahwa upah buruh bisa naik dua kali lipat. Jika itu benarbenar
terjadi, industri bisa lebih fokus meningkatkan produksi mereka dengan
pekerja yang juga lebih berdaya saing. Tampak benar bahwa selain birokrasi
kita menghabiskan APBN dalam jumlah besar, pemerintah juga membikin ekonomi
biaya tinggi.
Euforia demokrasi tidak diiringi dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia di pemerintahan. Menjadi kepala
daerah tidak dipandang sebagai pelayan publik, tapi sebagai jalan menambah
kekuasaan dan mempertebal kantong pri badi. Apalagi menjadi kepala daerah
sekarang umumnya membutuhkan biaya kampanye yang amat besar untuk survei,
pencitraan, dan pendekatan kepada pemilih.
Sumber utama dana kampanye tersebut biasanya
antara dari tabungan dan penjualan aset kandidat yang perlu balik modal
setelah terpilih atau dari pengusaha hitam yang ingin mendapatkan fasilitas
dan proyek dari kepala daerah. Keduanya berujung pada inefisiensi dan ekonomi
biaya tinggi.
Kewenangan kepala daerah di era otonomi daerah
saat ini cukup besar dan rawan penyalahgunaan. Investor, apalagi yang akan
melakukan investasi dalam jumlah besar, tidak jarang yang izin dan proses
usahanya dipersulit dan diminta memberikan upeti kepada kepala daerah.
Kondisi tersebut yang dipadu dengan menguatnya
penegakan hukum khususnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebabkan
sampai dengan Mei 2012, sedikitnya 173 kepala daerah yang dipilih secara
langsung dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) tersangkut kasus
korupsi. Jumlah itu berarti setara dengan 37% dari total kepala daerah yang
dipilih langsung.
Persepsi Buruk
Korupsi di daerah adalah salah satu pe nyebab
Indo nesia menempati rangking 100 dari 183 negara pada corruption perception
index. Situasi itu tidak bisa terus-menerus dibiarkan. Investor potensial
menjadi enggan untuk berinvestasi di daerah karena tidak adanya kepastian
hukum. Jangan sampai setelah membayar biaya tambahan yang diminta oleh
pemerintah daerah lalu dinyatakan menyuap sehingga sudah jatuh tertimpa
tangga. Kasus seperti Siti Hartati Murdaya dan Bupati Buol harus diselidiki
secara tuntas sehingga tidak terulang lagi.
Di sisi lain, minimnya infrastruktur juga sering
menjadi kendala. Survei Doing Business 2012 yang dilakukan Bank Dunia
menemukan bahwa dibutuhkan waktu 108 hari untuk mendapatkan sambungan listrik
di Indone sia. Jauh lebih lama jika dibandingkan dengan di Malaysia yang
hanya membutuhkan 51 hari. Padahal tanpa listrik, sulit bagi perusahaan untuk
memulai operasi.
Kalaupun memaksa menggunakan genset, hanya akan menambah biaya perusa haan
untuk pembelian dan transpor bahan bakar.
Sarana transportasi di daerah, khususnya jalan
dan jembatan, kondisinya masih banyak yang memprihatinkan. Situasi itu jelas
menghambat penjualan produk perusahaan. Kementerian Pekerjaan Umum merupakan
urat nadi pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di Indonesia. Namun,
kinerja kementerian tersebut masih belum optimal. Sekitar 11,5% atau senilai
Rp6,529 triliun baru terserap dari total anggaran Kementerian Pekerjaan Umum
(PU) 2011 sebesar Rp56,912 triliun.
Koordinasi antara perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan pembangunan merupakan syarat mutlak untuk mengurangi ekonomi
berbiaya tinggi. Sistem politik yang lebih hemat biaya kampanye,
de-bottle-necking regulasi, perbaikan infrastruktur, dan peningkatan
penyerapan anggaran merupakan tantangan yang tidak bisa dielakkan lagi.
Bersiap Kecewa
Penegakan dan kepastian hukum yang efektif
masih jauh panggang dari api. Perlu penantian bertahun-tahun dalam proses
banding sampai ke Mahkamah Agung dan peninjauan kembali. Jangan terkejut
kalau kemudian Indonesia hanya menempati rangking 156 dari 183 negara pada
kategori kepastian hukum berdasarkan survei Doing Business.
Beberapa minggu yang lalu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato pada Indonesia Investment Day di Wall Street, New York, Amerika
Serikat, yang dihadiri banyak lembaga investasi besar dunia. Kita tidak ingin
para investor yang datang ke Indonesia dengan bersemangat berinvestasi hanya
untuk kecewa menghadapi permasalahan ekonomi biaya tinggi dan tidak kembali
lagi. Sudah saatnya Indonesia berubah menjadi negara low cost, high growth economy. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar