Kepemimpinan
yang Terhubung
M Hariman Bahtiar ; Warga
Pekalongan, Alumnus Unpad dan Pascasarjana Pengkajian Ketahanan Nasional UI,
Wakil Indonesia dalam ASEAN +3 (Jepang, China, dan Korsel) Youth Leaders
Symposium di Phnom Penh Kamboja
|
SUARA
MERDEKA, 18 Oktober 2012
"Sudah saatnya negeri ini, dan juga
Jateng, dipimpin oleh putra terbaik, karenanya dibutuhkan pemimpin sejati"
JOKOWI sudah mengawali tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, dengan blusukan ke beberapa perkampungan kumuh (SM, 17/10/12). Kendati tidak mutlak, kemenangannya dalam Pilgub DKI Jakarta dianggap sebagai babak baru kepemimpinan di Indonesia.
Dia yang low profile dan apa adanya lebih
dipilih ketimbang Foke, incumbent (petahana) yang mendapat
dukungan koalisi partai-partai.
Tulisan ini mengambil contoh sosok Jokowi
tidak untuk menyanjungnya karena dia manusia biasa. Namun salah satu yang
menarik dari mantan Wali Kota Solo itu adalah kemampuannya menampilkan
praktik kepemimpinan yang terhubung langsung dengan warga. Ia terbiasa turun
ke bawah dan saat bertemu warga terlihat seperti tidak ada jarak pemisah.
Hal ini sulit dilakukan oleh pejabat pada
umumnya. Praktik seperti ini sontak menarik perhatian. Saya kira, rakyat
dengan daya kritis yang meningkat mendambakan sesuatu yang baru.
Di negara maju, seorang wali kota atau
presiden sekali pun, sudah terbiasa berkomunikasi langsung dengan rakyat.
Ada contoh menarik saat keterpilihan Barack
Obama dalam Pilpres AS 2008. Waktu itu saya mengikuti sebuah program
pertukaran ke AS. Dalam program itu, saya beruntung bertemu Obama saat masih
senator, namun sudah resmi maju mengikuti Konvensi Partai Demokrat.
Saya menghadiri acara constituent coffee
yang ia gelar di kompleks Capitol Hill, Washington DC. Acara temu konstituen
itu untuk mendengar langsung aspirasi warga dari dapilnya. Terlihat ia juga
akrab dengan warga, mendengarkan dan memberikan jawaban yang jujur dan tulus.
Lebih kaget lagi, saat saya berkunjung ke
kota kecil, Clarkdale di Mississippi. Wali Kota Henry Espy menemui kami di
pinggir jalan. Sangat jauh dari kesan formal dan kaku. Ia berjalan sendiri
dari kantor wali kota tanpa ajudan atau staf. Menyambut kami secara rileks.
PraktIk kepemimpinan yang egaliter seperti ini, saya kira yang sesuai dengan
perkembangan zaman.
Dalam beberapa literatur, Kouzes dan Posner
misalnya melalui penelitiannya menyatakan ada lima praktik mendasar pemimpin
yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul. Pertama; pemimpin yang menantang
proses (challenging the process). Pemimpin yang menampilkan sesuatu yang
berbeda: out of the box. Sosok yang menarik dan simpatik.
Kedua; sosok yang mampu memberi inspirasi
dan visi bersama (inspiring a shared vision). Dengan perkembangan demokrasi,
kebebasan dan pluralitas, dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu hadir memberi
visi. Pemimpin sederhana yang berkomunikasi dengan rakyat.
Ketiga; pemimpin yang mampu menggerakkan
bawahan atau rakyat untuk berbuat sesuatu (enabling others to act).
Kompleksitas persoalan bangsa, membutuhkan pemimpin yang mampu mendorong
orang untuk berkontribusi. Mengajak rakyat untuk menjadi bagian dari solusi,
bukan bagian dari masalah.
Keempat; pemimpin yang mampu menjadi
teladan atau contoh dan memberikan arah jalan (modelling the way). Dalam
kehidupan dewasa ini, sosok pemimpin yang sederhana misalnya mungkin sudah
menjadi figur langka. Namun kesederhanaan justru dapat menjadi media efektif
untuk menggerakkan potensi rakyat karena faktor kepercayaan (trust) terhadap
dirinya.
Motivasi
Kelima; pemimpin yang selalu memberi
motivasi bawahan, membesarkan hati rakyat (encouraging the heart). Tugas
pemimpin memang memberikan semangat dan motivasi. Ia harus menjadi salah satu
sumber inspirasi rakyat. Karenanya, pemimpin haruslah sosok yang kuat dan
tepercaya.
Kita semua berkepentingan untuk melahirkan
pemimpin yang ideal. Tentu tidak ada yang sempurna, namun bukan hal yang
mustahil untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik. Menurut hemat saya, poin
penting dari kepemimpinan tentu bukanlah teori melainkan praktik.
Kini menjelang Pilpres 2014, beberapa
kandidat telah resmi akan maju sebagai calon presiden. Para capres itu
hendaknya menyiapkan diri sebagai pemimpin sejati. Dekati rakyat dengan
ketulusan, bukan pencitraan.
Pelaksanaan Pilgub Jateng 2013 pun tinggal 8
bulan lagi. Siapa pun yang memutuskan menjadi cagub, hendaknya menyiapkan
diri smenjadi bagai pemimpin sejati. Dekati warga provinsi ini dengan
ketulusan, bukan pencitraan.
Sebaliknya, rakyat, media massa, dan semua
pihak harus memberi kesempatan selebar-lebarnya anak bangsa untuk menjadi
pemimpin. Sudah saatnya negeri ini, dan juga Jateng, dipimpin oleh putra
terbaik. Menghadapi tantangan masa depan yang makin kompleks, dibutuhkan
pemimpin sejati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar