Kamis, 18 Oktober 2012

Komitmen Bersama di RUU Kamnas


Komitmen Bersama di RUU Kamnas
TB Hasanuddin ;  Wakil Ketua Komisi I DPR RI
MEDIA INDONESIA, 18 Oktober 2012



SAAT ini Pansus Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) DPR RI tengah menunggu draf revisi yang diajukan pemerintah. Berdasarkan catatan, beberapa kali RUU Kamnas hilir mudik antara DPR dan pemerintah karena tidak adanya revisi substansial dari pemerintah. Sebelum dibahas dalam tingkat pansus, RUU Kamnas telah terlebih dahulu dibedah di Komisi I DPR. Melalui Panja RUU Kamnas, Komisi I telah menerima beragam masukan mengenai draf RUU yang ada yang kemudian dapat dikelompokkan menjadi tiga isu utama, yaitu hakikat keamanan nasional, sinkronisasi peraturan perundang-undangan, serta fenomena pasal karet dan kekhawatiran publik.

Mengenai isu hakikat keamanan nasional, yang selalu menjadi topik pembicaraan ialah seputar apa itu keamanan nasional. Pertanyaan itu menjadi dasar pemikiran bagi kita semua ketika mendiskusikan RUU Kamnas. Dalam logika sederhana, sebuah keamanan (rasa aman) akan muncul ketika ketidakamanan dieliminasikan. Akan tetapi, jika memang sesederhana itu, bisa dipastikan semua negara di dunia memiliki definisi yang sama dan tentunya persoalan membahas RUU Kamnas menjadi sederhana.

Sebagian besar argumentasi yang masuk ke Komisi I DPR pada waktu itu memberikan beberapa definisi keamanan nasional, mulai dari keamanan dengan ‘k’ kecil dan keamanan dengan ‘K’ besar, keamanan dalam arti sempit dan dalam arti luas, keamanan tradisional, keamanan nontradisional, keamanan negara, keamanan manusia, hingga tujuh dimensi keamanan kemanusiaan yang dibuat oleh UNDP 1994.

Kesepahaman yang dominan dalam diskusi di Komisi I DPR pada waktu itu ialah keamanan nasional sebagai sebuah instrumen yang menjembatani semua aktor, institusi, dan regulasi di semua tingkatan yang bertanggung jawab dalam mewujudkan tujuan berdirinya bangsa tersebut. Pendek kata, keamanan nasional adalah keamanan seluruh bangsa, bukan keamanan pemerintah semata.

Kemudian kehadiran RUU Kamnas juga menghasilkan sebuah pertanyaan besar bagi beberapa pihak jika ditinjau dari perspektif sinkronisasi perundang-undangan. Ada yang berpendapat bahwa RUU Kamnas akan menjadi payung regulasi bagi tumpang-tindihnya peraturan perundang-undangan mengenai pertahanan dan keamanan negara. Ada juga yang berpendapat RUU Kamnas akan sebaliknya menjadi permasalahan baru.

Harapan mengenai RUU Kamnas sebagai payung regulasi muncul ketika RUU Kamnas akan mengatur sistem keamanan nasional yang memang secara kontekstual sangat dibutuhkan mengingat perkembangan ancaman terhadap keamanan secara nasional, regional, dan global saat ini. RUU Kamnas kemudian akan mengatur alokasi sumber daya manusia dan sumber daya nasional yang ada dalam merespons ancaman. Sebagai contoh sederhana, meningkatnya frekuensi fenomena bencana alam di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Bencana alam dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional karena menimbulkan dampak langsung kelaparan yang mengancam keamanan insani dan berpotensi menimbulkan gangguan keamanan publik apabila tidak ditangani secara cepat. Hal itu tentunya membutuhkan koordinasi di antara instansi pemerintah baik itu secara vertikal mau pun horizontal.

Sementara itu, argumentasi yang berbeda mengenai RUU Kamnas melihat kehadiran RUU tersebut hanya akan menghasilkan masalah baru. Hal itu karena berdasarkan UUD RI 1945, tidak dikenal konsep atau terminologi keamanan nasional, melainkan konsep sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat 2 UUD RI 1945 yang berbunyi `Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung'.

Argumentasi tersebut juga didukung oleh adanya indikasi RUU Kamnas dapat menjadi super lex specialis atau menjadi payung hukum bagi semua persoalan keamanan nasional sehingga peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan RUU ini dapat dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 59 draf RUU Kamnas).

Yang tidak bisa dimungkiri ialah pemikiran adanya fenomena pasal karet dan kekhawatiran publik. Sepertinya eksistensi pasal karet atau pasal multitafsir masih menjadi kelaziman dalam setiap proses legislasi di Indonesia.
 
Dalam konteks RUU Kamnas, fenomena itu kemudian menghasilkan banyak sekali kekhawatiran akan potensi munculnya kembali rezim kekerasan.

Misalnya, beberapa pihak mencatat bahwa Pasal 17 ayat 2 huruf c RUU Kamnas yang menyebut bentuk ancaman tidak bersenjata terhadap keamanan publik dan insani antara lain anarki (nomor 3), ideologi (nomor 10), dan radikalisme (nomor 11). Definisi itu dianggap dapat ditafsirkan sangat luas dan berpotensi menjadi alat bagi penguasa untuk menerapkan aturan subversif seperti di masa lalu. Dalam konteks ini, mungkin saja nantinya pemerintah/ presiden menetapkan bahwa demonstrasi damai sebagai tindakan mengancam ideologi atau aksi protes sebagai ancaman anarki. Kemudian, penjelasan Pasal 17 ayat 2 juga memasukkan kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, ketidaktaatan hukum, korupsi, dan lain-lain.

Penggunaan kata ‘dan lainlain’ menjadi berbahaya karena memiliki fl eksibilitas tinggi sehingga dapat disalahgunakan oleh penguasa. Pemerintah seharusnya menghindari penggunaan bahasa-bahasa yang mengambang karena implikasi hukumnya bisa sangat berbahaya.

Kekhawatiran akan potensi superioritas lembaga kepresidenan atas legislatif kembali muncul ketika dalam bagian penjelasan Pasal 17 ayat 2 juga disebutkan bahwa diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi juga dapat menjadi ancaman tidak bersenjata. Hal itu juga diperkuat dengan Pasal 17 ayat 4 yang memberikan wewenang kepada presiden untuk menetapkan ancamanancaman tersebut.

Diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi adalah konsep yang sangat abstrak dan sulit untuk diidentifikasi. Tanpa definisi yang jelas, adalah sebuah keniscayaan jika suatu saat mosi tidak percaya kepada presiden yang sudah melanggar peraturan perundang-undangan bisa dianggap sebagai diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi. Sehingga, mungkin saja bagi seorang presiden untuk menetapkan parlemen sebagai ancaman keamanan. Konsep baru semacam itu penting untuk didiskusikan secara publik agar tidak terjadi penyimpangan di masa mendatang.

Kritik juga muncul terhadap Pasal 54 huruf e jo Pasal 20 dalam pembahasan di Komisi I DPR. Di sini ada permasalahan yang cukup signifikan mengenai wewenang khusus seperti menyadap, memeriksa, dan menangkap dari para unsur keamanan nasional non-projusticia. Ada indikasi bahwa RUU Kamnas telah memberikan cek kosong kepada para aktor-aktor keamanan yang non-projusticia untuk melakukan penyadapan dan penangkapan. Hal itu kemudian telah menjadikan RUU Kamnas sebagai ancaman terhadap HAM karena melegalkan penculikan.

Perjalanan RUU Kamnas memang masih panjang dan berliku. Akan tetapi, arah perjalanannya akan menentukan apakah bangsa Indonesia konsisten dengan komitmennya terhadap kemajuan demokrasi atau malah mengalami kemunduran sembari menjamin keamanan warganya. Jika memang ingin meraih kemajuan dalam berdemokrasi sembari mengawal usaha mencapai tujuan bangsa, sekiranya beberapa catatan dari proses pembahasan RUU Kamnas di Komisi I DPR di atas patut untuk dijadikan pedoman dasar dalam mendiskusikan RUU Kamnas di ruang publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar