Kamis, 04 Oktober 2012

Kritik Klise dan Spirit Otoda


Kritik Klise dan Spirit Otoda
Rohman Budijanto  ;  Direktur Eksekutif JPIP
JAWA POS, 04 Oktober 2012


SELAMA 12 tahun JPIP berkegiatan mengawal otonomi daerah (otoda), kritik kepada pelaksanaan otoda berkutat pada isu itu-itu saja. Munculnya raja-raja kecil, menyuburkan korupsi di daerah, banyak konflik horizontal, APBD habis untuk belanja PNS, birokrasi yang lamban, egoisme antardaerah, dan kritik semacamnya. Ketika JPIP menggelar Otonomi Awards ke-11 tahun ini, kritik seperti ini masih berletupan. 

Padahal, sangat banyak kemajuan daerah yang dicapai. Ibarat di dalam pesawat, kadang kita tidak menyadari bahwa kita tengah melesat cepat. Setiap tahun JPIP tak kekurangan bahan dalam meneliti praktik-praktik yang baik dalam pemerintahan. Inovasi ini juga disambut oleh rakyat, yang ditemukan dalam survei publik. Tak ada alasan untuk meresentralisasi atau kembali ke zaman Orba lagi. Desentralisasi adalah jalan universal, karena, kata pakar otoda Prof Dr Mas'ud Said, dijalankan di 95 persen negara anggota PBB. 

Menjawab kritik soal korupsi, sebenarnya belum tentu korupsi di daerah makin marak setelah otoda dilaksanakan. Zaman Orba terlihat tak ada korupsi, karena korupsi tak diusut. Kepala daerah bersama pejabat hukum dan yudisial malah berada di "klub muspida". Dulu alokasi dana APBD kepada "jajaran samping" malah diapresiasi karena dianggap kepala daerah punya kepedulian. Tapi, sekarang alokasi semacam itu bisa masuk kategori korupsi, karena "memperkaya orang lain secara melawan hukum". 

Ibarat pertandingan bola, dulu tak banyak gol pemberantasan korupsi karena gawangnya dibuat sangat kecil. Hanya orang yang benar-benar siallah yang bisa masuk gawang korupsi. Sementara, sekarang pemberantasan korupsi banyak bikin gol, karena gawangnya dibuat berstandar internasional. Buktinya, indeks korupsi Transparency International zaman Orba lebih rendah, hanya 2,0 (1998), dibanding angka sekarang yang berkisar 3,0.

Kadang peraturan juga diskriminatif kepada daerah. Saat ini tengah digodok RUU Pemerintahan Daerah. Salah satu isinya melarang kepala daerah merangkap jabatan ketua partai. Mengapa hanya kepala daerah? Mengapa presiden atau menteri tak dilarang? Apakah jabatan mereka tak sepenting kepala daerah? 

Padahal, siapa pun yang merangkap jabatan, baik di pusat maupun di daerah, sama-sama berisiko benturan kepentingan. Contohnya, kadang presiden lebih sensitif dan cepat memberikan pernyataan urusan partainya daripada urusan negara. "Raja-raja kecil" di daerah berusaha diringkus aturan, "raja besar" di pusat yang perilakunya sama tak diregulasi.

Kritik atas tuduhan munculnya "raja-raja kecil" di daerah itu juga terbantahkan karena banyaknya bupati atau wali kota yang terjerat kasus korupsi dan kasus lain. Mereka bukan raja sama sekali, karena masih terkontrol oleh hukum. Yang jelas, rakyat daerah tak keberatan pemberantasan korupsi dilakukan.

Soal kritik APBD habis untuk belanja pegawai, juga patut dijawab. Menurut peneliti JPIP Wawan Sobari, sumber masalahnya juga di pusat. Sewaktu otoda diberlakukan, PNS didaerahkan. Otomatis belanja untuk mereka bengkak. Lagi pula, menurut studi Fitra yang peduli anggaran, transfer ke daerah dalam kurun 2007-2010 tak beranjak dari 30 persen. Padahal, belanja negara terus melejit seiring kemajuan. 

Sedangkan keluhan pada birokrasi yang lamban, itu problem nasional, bukan hanya problem daerah. Namun, dari daerah banyak sekali inovasi untuk mengefisienkan pelayanan, seperti perizinan satu atap. Yang perlu dibenahi pusat adalah kinerja lembaga pusat yang ada di daerah, seperti BPN. Meskipun selalu di-warning oleh KPK dan ada yang ditangkap karena korupsi, kinerja dan moralitas lembaga ini tetap payah. Tentu saja ini mengganggu hajat orang daerah. 

JPIP tetap optimistis dalam mengawal otoda. Dalam Otonomi Awards ke-11 pada 2012 ini kian banyak saja inovasi cantik dan mengejutkan dari daerah. Daerah tetap semangat berkompetisi demi kemajuan. Selalu lahir kepala daerah yang cemerlang yang didukung rakyat.
Otonomi tetap harga pas bagi NKRI yang harga mati. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar