Membangun
kembali Kemandirian Pangan
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap Jurusan Ilmu dan
Teknologi Pangan,
Ketua LPPM Unika
Santo Thomas Medan
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Oktober 2012
Kemandirian pangan
adalah soal mati-hidupnya bangsa Indonesia di kemudian hari. (Soekarno, Presiden Pertama RI)
HARI Pangan Sedunia, yang diperingati se tiap
16 Oktober, tahun ini mengusung tema Agricultural
cooperatives key to feeding the world. Secara nasional tema itu
diterjemahkan menjadi Agroindustri berbasis kemitraan petani menuju
kemandirian pangan untuk mengingatkan masyarakat luas membangun kembali
kemandirian pangan.
Di negeri yang dikenal memiliki lahan
pertanian yang luas, subur, dan makmur, hampir 70% makanan yang dikonsumsi
warganya dipanen di negeri asing, alias impor. Kebutuhan pangan impor itu
telah menguras devisa negara sekitar Rp100 triliun setiap tahun. Indonesia
tumbuh sebagai bangsa yang kurang percaya diri untuk membangun kemandirian
pangan. Dengan mengandalkan lahan tropis yang sangat luas, bangsa ini
seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangan dari hasil kerja petaninya.
Persoalan klasik pertanian ialah kian
berkurangnya lahan untuk pertanian pangan, sementara kebutuhan pangan kian
meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Penyelamatan lahan pertanian
pangan belum menjadi prioritas. Sebaliknya `penjarahan' lahan terus
berlangsung untuk memperluas perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang
pada gilirannya lahan produksi pangan kian menyusut.
Kian Merosot
Luas alih fungsi lahan pertanian, berdasarkan
data Badan Pusat Statistik, mencapai 110 ribu hektare per tahun. Dampaknya,
meski pemerintah optimistis untuk memproduksi beras 40 juta ton pada 2012,
ada kecenderungan penurunan-jika menilik produksi GKG 2011 hanya tercapai
sebanyak 65,39 juta ton atau turun 1,08 juta ton jika dibandingkan dengan
2010 (BPS, 2011). Itu bukti ketersediaan lahan merupakan syarat mutlak
kemandirian pangan.
Tekad bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
mandiri di bidang pangan secara perlahan tetapi pasti kian merosot. Pemerintah
dan masyarakat tampil menjadi pribadi yang tidak lagi memiliki kepercayaan
diri di bidang pangan. Kesulitan memenuhi kebutuhan pangan selalu diatasi
pemerintah dengan kebijakan impor. Devisa terkuras untuk memenuhi kebutuhan
pangan yang sebenarnya bisa dipenuhi dari produksi petani.
Kebijakan revitalisasi pertanian memang sudah
digulirkan pemerintahan Susilo Bambang p Yudhoyono sejak 2005. Namun,
kebijakan politik itu tidak diimplementasikan dengan sungguh-sungguh.
Padahal, masyarakat membutuhkan kekuatan kebijakan pemerintah untuk
menyediakan subsidi untuk pupuk secara berkelanjutan dan bibit unggul.
Akibat dari tidak adanya perencanaan matang di
sektor pertanian, Indonesia kini mengimpor 30% kebutuhan gula nasional, 25%
kebutuhan daging sapi, 50% atau sekitar 1 juta ton garam, dan 60% kebutuhan
kedelai. Selain itu, Indonesia harus mengimpor jagung, bawang putih, kacang
tanah, dan sebagian besar kebutuhan susu harus diimpor. Sementara itu, impor
beras 2011 mencapai 2,75 juta ton dengan nilai US$1,5 miliar. Kebijakan
mengutamakan impor telah membuat petani semakin miskin. Insentif dari impor
dinikmati petani dari negara pengekspor.
Implikasi hobi pemerintah yang mengimpor beras
dan pangan lainnya telah menambah jumlah petani guram. Kepemilikan lahan
kurang dari 0,5 hektare per keluarga meningkat jumlahnya dari 10,9 juta KK
(berdasar sensus pertanian 1993) menjadi 13,7 juta (2003). Jumlah orang
miskin di Indonesia periode 2005-2012 juga relatif tinggi, yaitu 34 juta-50
juta jiwa. Sebagian besar rakyat miskin itu berada di perdesaan, yang
notabene mereka ialah petani dengan sumber pendapatan utama keluarga dari
pertanian.
Krisis pangan akan semakin masif menyusul
dampak buruk dari pemanasan global dan perubahan iklim global yang
menimbulkan bencana banjir dan kemarau panjang yang melanda Thailand, Amerika
Serikat, dan China, negara pemasok beras dan pangan lainnya ke In donesia.
Ketersediaan pangan utama seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging
yang selama ini sebagian besar dipasok dari ketiga negara itu akan semakin
menipis. Pemerintah patut memanfaatkan peluang ini dengan menyusun grand
design gerakan membangun agroindustri untuk kemandirian pangan.
Sebagai gambaran swasembada beras yang
dilaporkan tercapai pada 2008 belum menjamin seluruh rakyat Indonesia dapat
mengonsumsi nasi tiga kali sehari karena harga yang terus membubung,
mengikuti hukum pasar. Semakin kurang pendapatan, kian berat beban akibat
kenaikan harga makanan. Rumah tangga yang berpengeluaran di bawah garis
kemiskinan sebesar Rp212.210 per orang per bulan berbelanja sebagian besar
untuk kebutuhan pangan.
Pemerintah harus becermin pada indeks
pembangunan manusia--ukuran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa
dengan melihat tiga pilar utama, yakni pembangunan ekonomi, kesehatan, dan
pendidikan--Indonesia pada 2011 yang merosot jauh ke posisi 124 dari 187
negara. Laporan PBB tentang indeks pembangunan manusia (IPM) pada 2010 masih
menempatkan Indonesia di peringkat 108 dari 169 negara. Untuk kawasan ASEAN,
IPM Indonesia hanya menempati posisi keenam, di bawah Singapura (26), Brunei
(33), Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112).
Salah satu faktor penyebab anjloknya IPM
Indonesia diduga ialah kita lalai membangun pertanian. Sektor yang mampu
menyerap 65% tenaga kerja belum digarap lebih serius sebagai pilar
pembangunan ekonomi. Peningkatan pendapatan per kapita Indonesia berjalan
lambat, masih US$3.813, kalah jika dibandingkan dengan Thailand yang mencapai
US$7.260, Malaysia US$12.724, dan Singapura yang jauh melejit US$45.978.
Teknologi Pertanian
Pemerintah harus mendorong bergulirnya gerakan
kembali ke pertanian pangan dalam upaya penguatan kemandirian pangan
berkelanjutan. Ketidakadilan proses produksi pertanian masih kuat menjepit
petani. Kini dibutuhkan penataan produksi pertanian dan pola distribusi baru
yang lebih menjamin keadilan dan kesejahteraan petani sebagai produsen
sekaligus konsumen.
Kemampuan petani mutlak ditingkatkan untuk menguasai
teknologi pertanian yang lebih maju di tengah semakin pudarnya daya tarik
pertanian. Penggunaan peralatan tradisional untuk mengolah tanah, misalnya,
selain mengakibatkan hasil yang diperoleh tidak efisien, dapat memicu
perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian. Implikasinya pembangunan
pertanian di Indonesia kian tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan
Malaysia yang sebenarnya kondisi awalnya tidak berbeda jauh.
Lambatnya pembangunan pertanian di Indonesia
tidak lepas dari pro dan kontra kehadiran alat-alat mesin pertanian di tengah
masyarakat petani. Sebagian besar masyarakat menganggap kerbau besi (baca:
traktor) akan menimbulkan pengangguran di perdesaan. Ketika diperkenalkan
pada 1967 jumlah tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih banyak. Bila
traktor digunakan untuk mengolah tanah, akan terjadi pengangguran sebanyak
selisih waktu masing-masing untuk setiap pengerjaan 1 hektare sawah.
Namun, dalam waktu 20 ta hun terakhir jumlah
tenaga kerja di sektor pertanian makin berkurang karena sektor industri dan
jasa lebih menarik bagi mereka. Menjadi petani bukan profesi yang
dicita-citakan meski ia seorang sarjana pertanian. Fenomena buruk itu harus
segera dijembatani pemerintah lewat pemberian insentif memadai bagi penyuluh
pertanian yang tinggal di desa mendampingi petani. Keterampilan penggunaan
alat produksi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan merupakan hal
penting yang harus ditransfer penyuluh pertanian ke petani.
Jika guru mendapat tunjangan profesi lewat
sertifikasi sebesar satu bulan gaji pokok, tenaga penyuluh pertanian lapangan
sudah layak dan sepantasnya mendapatkan tunjangan serupa guna mengawal
kemandirian pangan nasional.
Proses pemiskinan petani yang terjadi saat ini dipicu kebijakan pemerintah yang abai terhadap kebangkitan pertanian yang digagasi Mosher pada 1960an lewat bukunya yang amat terkenal, To Create a Modern Agriculture.
Kebangkitan pertanian patut
difasilitasi untuk membangun kemandirian pangan dengan menyediakan anggaran
yang cukup untuk pembangunan jalan desa, penyediaan benih unggul, pupuk dan
peralatan mekanisasi di bidang pengolahan tanah, pemberantasan hama-penyakit,
pascapanen, dan pengolahan hasil pertanian. Kemandirian pangan akan
memerdekakan perut anak bangsa ini dari sistem penjajahan pangan impor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar