Ketahanan
Pangan dalam Ancaman Global
Fadel Muhammad ; Ketua Umum Masyarakat Agribisnis &
Agroindustri Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 16 Oktober 2012
Semakin kuatnya peran dan
posisi industri pangan global dalam sistem tata kelola pangan dunia
berpotensi melemahkan kemampuan negara dalam menentukan kebijakan kemandirian
pangan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang.
Hari Pangan Dunia adalah
momen penting kebangkitan pangan nasional untuk mengawal Visi Indonesia 2025.
Telah lama kita abai terhadap gejala kecenderungan perusahaan pangan global
menguasai dan mempengaruhi kebijakan pertanian nasional. Melalui jejaring
yang dimiliki, mereka mencoba mempengaruhi proses legislasi yang menyangkut
kebijakan pangan. Lobi-lobi tingkat tinggi terus mereka lakukan agar
kepentingannya diakomodasi. Sebaliknya, kepentingan produsen dan konsumen
domestik kurang mendapat perhatian dari para politikus lokal.
Industri pengolahan
makanan berusaha menggunakan kekuatan politik untuk melawan kelompok-kelompok
tani yang akan mengganggu bisnis mereka. Kecenderungan meningkatnya impor
pangan dan produk hortikultura Indonesia, dan sudah mengarah ke kecanduan,
adalah suatu bukti keberhasilan lobi industri pangan global. Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menghitung, nilai impor sejumlah kebutuhan
pangan di Tanah Air mulai Januari hingga September 2012 sudah mencapai US$ 12
miliar.
Industri pangan telah dan
menjadi bisnis berskala raksasa. Rantai bisnis industri pangan, mulai
pemasokan input ke pasar retail pangan melalui pasar tradisional, restoran,
hingga toko-toko makanan, di negara maju menyumbang sekitar 25 persen
pendapatan sektor swasta, dan di negara sedang berkembang lebih besar lagi.
Struktur rantai industri pangan global sekarang tengah mengalami perubahan
yang sangat cepat. Industri pangan global terkonsentrasi dan teraglomerasi
pada perusahaan-perusahaan raksasa, terutama di sektor biji-bijian.
Perusahaan industri pangan global telah mengadopsi benih dan tanaman
transgenik yang sebagian besar dihasilkan oleh Monsanto dan Novartis,
terutama di Amerika Serikat dan Argentina.
Dampaknya, pasar pangan
dunia menjadi oligopolistik. Produksi biji-bijian dunia pada 2010 mencapai
2.182 juta metrik ton. Sebesar 227 juta metrik ton diperdagangkan di pasar
internasional. Sekitar 80 persen dari komoditas pangan tersebut dikuasai oleh
kartel pangan. Mereka adalah Cargill Inc, ADM, Bunge, dan Louis Dreyfus.
Mereka secara ekstrem mengontrol pangan dunia melalui paten bioteknologi.
Sekarang, petani di mana pun di dunia ini tidak bisa lepas dari cengkeraman
benih yang dihasilkan oleh Cargill, Monsanto, Bayer Crops Science, dan
Syngenta. Di Eropa, 10 besar perusahaan industri makanan memiliki omzet
sekitar US$ 248 miliar dan di Amerika US$ 140 miliar. Mereka mempunyai
pengaruh politik yang besar, terutama dalam mempengaruhi kebijakan pangan
dunia. Perusahaan industri pangan negara-negara maju akan terus-menerus
berusaha memasuki pasar dunia dan menjadi perusahaan global lintas negara.
Mengglobalnya perusahan
industri pangan menimbulkan dampak kecenderungan ikatan yang semakin longgar
antara industri pangan dan sektor pertanian. Salah satunya adalah kontrak pertanian,
yang mencakup pra-produksi, produksi, dan pra-penjualan. Secara sekilas
tampaknya kontrak pertanian akan memperkuat hubungan petani dengan industri
pengolahan, tapi yang terjadi adalah sebaliknya, hubungan itu bersifat
asimetris. Industri pengolahan makanan akan mendikte petani dan banyak
mengambil untung. Petani semakin tidak otonom dalam menentukan nasib dirinya.
Untuk Indonesia, dapat dilihat dalam industri unggas. Peternak kecil tidak
mempunyai ruang yang leluasa dalam mendapatkan input dan menjual hasil
produksinya. Mereka diikat sedemikian rupa oleh pelaku industri unggas, mulai
bibit, pakan, obat-obatan, hingga pemasaran hasil ayam mereka.
Adapun sektor tanaman
pangan tampaknya lebih mandiri dibanding sektor perunggasan. Namun sebenarnya
para petani juga sedang menghadapi perlakuan sistematis dari pelaku industri
pangan global agar mereka semakin tidak mandiri dalam hal penetrasi benih,
pupuk, dan pestisida-yang semuanya telah membuat petani semakin kurang
mandiri dalam berproduksi. Industri pangan global cenderung memperlakukan
petani sebagai salah satu sumber pasokan pangan, namun posisi petani secara
sistematis dilemahkan oleh perusahaan pangan global.
Semakin kuatnya peran dan
posisi industri pangan global dalam sistem tata kelola pangan dunia
berpotensi melemahkan kemampuan negara dalam menentukan kebijakan kemandirian
pangan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Sistem rantai
bisnis makanan dunia sekarang dipengaruhi oleh besaran volume produksi.
Karena keberhasilan efisiensi produksi dan tercapainya skala ekonomi, mereka
berhasil menjual produk pangan sangat murah di pasar dunia. Akibatnya, pelaku
bisnis di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tergiur. Mereka
merasa lebih baik mengimpor pangan daripada memproduksi sendiri, karena lebih
murah dan lebih bagus. Apalagi didukung oleh teori ekonomi klasik keunggulan
komparatif Adam Smith.
Industri pangan global
secara sistematis telah melakukan langkah-langkah menciptakan nilai tambah
produk pangan karena, ternyata, nilai produk pangan olahan itu hampir tiga
kali lipat dibanding nilai pangan mentah. Ini membawa konsekuensi petani
semakin kecil mendapatkan nilai tambah dibandingkan dengan yang didapat
industri pangan global. Akibatnya, petani semakin tidak tertarik menjalankan
usahanya dan, pada gilirannya, ketergantungan pangan negara-negara berkembang
pada pasar global semakin besar.
Untuk mendikte
negara-negara berkembang, perusahaan-perusahaan industri pangan global
menerapkan standar mutu pangan sebagai instrumen untuk mengganjal ekspor
pangan dari negara-negara berkembang. Langkah selanjutnya yang dilakukan
adalah memperjuangkan liberalisasi perdagangan pangan. Pemerintah, suka tidak
suka, akan berhadapan dengan rencana aksi perusahaan industri pangan global,
yaitu mendirikan bisnis modern pangan murah di negara-negara berkembang. Hal
ini akan menciptakan ketergantungan pangan negara-negara sedang berkembang
pada sistem pangan global semakin besar. Industri pangan global tidak sekadar
menginginkan pangan murah, tapi juga menuntut adanya regulasi tentang
kesehatan dan keamanan pangan yang aman bagi lingkungan. Instrumen inilah
yang akan semakin melemahkan posisi petani di negara-negara yang sedang
berkembang, termasuk Indonesia.
Untuk menuju swasembada dan ketahanan
pangan, pemerintah, masyarakat, dan swasta nasional harus bekerja sama
bahu-membahu memanfaatkan faktor keunggulan domestik untuk membangun tata
kelola pangan yang lebih baik agar petani memiliki pendapatan yang layak.
Ideologi kemandirian dan keberpihakan kepada petani diperlukan sebagai dasar
untuk menyusun roadmap pengembangan
agrobisnis dan agroindustri nasional agar menjadi pemain utama bisnis
agroproduk dunia dengan komoditas berkualitas dunia. Inilah tugas kita
bersama. Sepanjang ada kemauan, komitmen, dan pengorbanan, seharusnya kita
bisa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar