KPK dan
Kekuatan Rakyat di Twitter
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan dan Dosen Komunikasi
di Universitas
Paramadina
|
KOMPAS,
11 Oktober 2012
Media sosial kini makin diperhitungkan.
Ramainya perbincangan soal Komisi Pemberantasan Korupsi di media sosial,
seperti Facebook dan Twitter, berhasil menarik perhatian presiden, yang rupanya
cepat menyadari bahwa makin banyak orang geram pada upaya yang dianggap akan
melemahkan KPK.
Riuhnya kicau (tweet) di Twittersphere,
misalnya, menunjukkan adanya kekompakan rakyat untuk membangun kekuatan
bersama. Tak kalah seru dibandingkan aksi demo di jalan atau di depan Gedung
KPK, di media sosial itu rakyat ”memberontak” menjadi pembela KPK.
Kicau pengguna Twitter di Indonesia, yang
kini diperkirakan berjumlah 28 jutaan orang, saling bersambut. Ada kicau murni
dari akun yang jelas. Ada pula tweet dari akun palsu yang mengatasnamakan Ketua
KPK Abraham Samad. Dengan sekitar 28.000 pengikut (follower), akun
@SamadAbraham terang-terangan menuduh Presiden SBY korup. Ternyata itu bohong.
”Tidak benar Ketua KPK pernah menyatakan menyerang Presiden. Ketua KPK tak
punya Twitter,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.
Yang menarik, ada pula akun anonim yang
sangat getol memprovokasi dan mengkritik keras lembaga KPK dan Abraham Samad.
Akun itu milik TrioMacan2000, yang mengantongi sekitar 141.000 pengikut.
Popularitas TrioMacan2000 itu mungkin sekali
karena ia terus-menerus melancarkan ”kuliah Twitter” soal korupsi, KPK, dan
sebagainya sambil menuduh sederetan tokoh nasional terlibat mafia korupsi.
Selasa, 9 Oktober 2012, ia juga mengkritik pidato Presiden pada malam
sebelumnya.
Namun, banyak yang menganggap TrioMacan2000
pembohong. Sebuah akun dengan nama @kurawa menuding bahwa TrioMacan2000 dibayar
sponsor tertentu. Sementara akun dengan nama @Foke_kumis mengatakan bahwa
TrioMacan2000 adalah ”pemeras dan penyebar fitnah”.
Entah mana yang benar. Yang jelas, banyak
akun di media sosial dengan ribuan pengikut berhasil muncul sebagai sebuah
”media” sendiri. Sayangnya, tak semua media bisa dipercaya dan menjunjung etika
jurnalisme. Jumlah pengikut di media sosial memang sesuatu yang penting agar seseorang
diperhitungkan orang lain. Di Twitter, misalnya, Anda butuh sekitar 20.000
pengikut sebelum orang ”melihat” Anda.
Untunglah di Indonesia kita punya beberapa
tokoh antikorupsi dengan banyak pengikut. Contohnya adalah Anies Baswedan
(dengan 148.000 pengikut), Fadjroel Rachman (115.000 pengikut), dan Teten
Masduki (29.000 pengikut). Akun @KPK_RI sendiri pada Selasa lalu meraih sekitar
122.000 pengikut, melonjak dari dua hari sebelumnya yang 106.368 pengikut.
Namun, masalahnya tak semua follower di
Twitter merupakan pengikut murni (genuine).
Ada yang memperkirakan 80 juta (16 persen) dari 530 jutaan pengguna Twitter di
dunia tak punya pengikut, tanpa teman, dan tak pernah ngetweet. Demikian pula
halnya dengan keaslian akun. Sebagaimana ditulis The Observer (26/8), banyak
akun Twitter yang diikuti follower yang tak eksis atau palsu. Akun Lady Gaga,
misalnya, di Twitter memiliki 30 jutaan pengikut, padahal hanya 29 persen yang
merupakan akun murni (good followers).
”Pass-Along Effect”
Meski pengikut Anda seluruhnya murni, akun
Anda baru benar-benar efektif bila terjadi dialog antara Anda dan para pengikut
itu. Sebab, lewat komunikasi secara interaktif (dua arah) dengan mereka itulah
Anda bisa ”memanusiakan” sebuah akun di sharing media itu. Dialog juga penting
untuk saling menjelaskan dan membuktikan bahwa Anda adalah ”seseorang” yang
nyata, bertanggung jawab, dan bisa dipercaya.
Fungsi Twitter pun, sebagai salah satu jenis
media sosial yang kian populer, sangat beragam. Ketika ramai Musim Semi Arab
pada awal 2011, akun Twitter berhasil membantu para demonstran di Tunisia dan
Mesir untuk menggerakkan massa secara cepat dan luas di seluruh negeri.
Pengerahan massa antipenguasa itu jadi lebih mudah berhubung orang ”bisa tahu
secara cepat” bahwa ada sekian ribu ”teman” lain yang punya kebencian sama
terhadap sang diktator yang berkuasa—suatu hal yang sulit diperoleh beberapa
tahun lampau.
Landasan manfaat media sosial itu tak lain
adalah berkat adanya dampak pemberlanjutan (pass-along
effect) sebuah berita atau pesan ke sesama pengguna yang saling terhubung
satu sama lain (interconnected).
Sebagai ”pembuat” sekaligus ”pemakai”
berita—dan bukan lagi sekadar ”pembaca” berita—kita kini bisa sekaligus menjadi
bagian integral evolusi berita yang ada berkat cepat dan luasnya dampak
pemberlanjutan berita itu. Dampak itu kian terasa karena kebanyakan pengikut di
Twitter merupakan orang-orang yang antusias dan pembaca yang loyal.
Bila penggunanya adalah wartawan sebuah
media, misalnya, akun mereka di jejaring sosial itu otomatis membantu media
tempat mereka bekerja untuk melipatgandakan audiens di internet. Berkat
kemudahan baru dalam bidang ”distribusi” produk berita —yang dulu hanya
dikerjakan oleh tenaga pemasar—itu, sekarang ini media bisa meningkatkan
nilainya di mata pembaca dan pemasang iklan.
Sebenarnya, sebelum ramainya pemanfaatan
jejaring digital modern dalam revolusi Musim Semi Arab itu, model serupa telah
terjadi pada zaman Reformasi di Jerman, sekitar 500 tahun lalu, saat Martin
Luther dan kawan- kawannya menggunakan pamflet yang merupakan ”media baru” pada
zaman itu. Artinya, sejak itu, sharing media telah berperan dalam mendukung
benih-benih sebuah revolusi.
Namun, internet kini menawarkan sebuah
perspektif baru bahwa faktor yang penting bukanlah pembuatan ”cetakan” itu
sendiri (yang sudah digunakan sejak tahun 1450-an), melainkan luasnya sistem
berbagi (sharing) yang diraih melalui
jejaring sosial—yang kini kita namakan social media.
Lingkungan media yang ditunjukkan oleh
penyebaran pamflet Luther itu mirip ekosistem online yang ada di blog, jejaring
sosial dan topik diskusi (thread) zaman sekarang. Ia adalah sebuah sistem
desentralisasi, di mana partisipan mengurus sendiri distribusi, dan secara
kolektif memutuskan pesan mana yang akan disebarluaskan melalui sharing dan
rekomendasi (atau tweet dan re- tweet di Twitter). Partisipan dalam sistem ini
kita sebut sebagai networked public (jejaring publik) dan bukan lagi hanya
audiens—sebab mereka tak sekadar jadi konsumen informasi belaka.
Berkat arus informasi yang deras dan
mekanisme penyebaran sinyal secara kolektif itu, massa pengguna media sosial
dapat menciptakan momentum untuk aksi selanjutnya, seperti menumbangkan
diktator Tunisia dan Mesir atau memprotes upaya pelemahan KPK di Indonesia.
Namun, kita boleh yakin bahwa kekuatan
kolektif rakyat yang dihimpun berkat pass-along effect dan distribusi gratis di
media sosial itu hanya bisa efektif ketika pesan yang ada hanya disebarluaskan
ke akun-akun asli. Sebab, mustahil Anda membangun jaringan, menciptakan kepercayaan,
dan kekuatan bersama jika tidak dengan manusia yang nyata, yang punya ide dan
cita-cita yang sama dengan Anda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar