Demokratisasi
Penyiaran
Ade Armando ; Pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi
UI, Mantan Anggota KPI
|
KOMPAS,
11 Oktober 2012
Mahkamah Konstitusi, pekan lalu, menolak
gugatan kelompok masyarakat sipil terhadap pasal-pasal dalam UU Penyiaran yang
dianggap memungkinkan praktik- praktik pemusatan kepemilikan stasiun televisi,
yang pada prinsipnya bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Secara spesifik, Komite Independen untuk
Demokratisasi Penyiaran (KIDP)—terdiri atas AJI, LBH Pers, Yayasan 28,
PR2media, dan Media Link—sebagai penggugat menyebut Pasal 18 (1) dan Pasal 34
(4) sebagai pasal-pasal bermasalah. Pasal-pasal ini menyebabkan adanya
ketidakpastian hukum dan ketiadaan jaminan atas kebebasan menyatakan pendapat.
Untuk jelasnya, Pasal 18 (1) UU No 32/2002
tentang Penyiaran menyatakan, pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta
harus dibatasi. Sementara Pasal 34 (4) menyatakan, izin penyelenggaraan
penyiaran (IPP) dilarang dipindahtangankan dengan cara diberikan, dijual, atau
dialihkan kepada pihak lain.
Menurut KIDP, perumusan pasal-pasal tersebut
sangat tidak tegas sehingga memungkinkan para pelaku industri di Indonesia saat
ini melakukan praktik pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran. Kekhawatiran
KIDP bukan tak beralasan. Sepuluh stasiun terbesar yang bersiaran nasional kini
dikuasai oleh empat kelompok utama: Grup MNC (RCTI, MNCTV, Global); Bakrie
(AnTv dan TVOne); Emtek (SCTV dan Indosiar); TransCorp (TransTV dan Trans-7).
Pengelompokan ini belum memasukkan Metro TV, yang belakangan ini merapat dengan
kelompok MNC akibat keterkaitan politik.
Bagi penggugat, ini menjadi mengkhawatirkan
karena media televisi bukanlah sekadar bisnis media biasa. Stasiun televisi
beroperasi dengan menggunakan frekuensi siaran yang merupakan milik publik dan
jumlahnya terbatas. Pemusatan kepemilikan akan mengancam hak rakyat untuk
menyebarkan dan menerima informasi. Di pihak lain, televisi adalah sebuah media
sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi suatu masyarakat.
Bila industri penyiaran dikuasai hanya oleh segelintir kelompok, dikhawatirkan
itu akan berdampak negatif pada kualitas demokrasi dan kesejahteraan masyarakat
banyak.
Karena itu, penggugat meminta MK memberikan
tafsiran yang tegas yang tak akan mungkin disalahgunakan di lapangan. Pertama,
MK diminta menetapkan secara tegas apa yang dimaksud dengan ”pembatasan
kepemilikan harus dibatasi”. Selama ini, integrasi horizontal dalam industri
penyiaran berlangsung dengan mudah karena para pelaku berdalih tak pernah ada
larangan terhadap praktik itu.
Kedua MK diminta juga memberikan sikap tegas
terhadap isu akuisisi perusahaan. Sebab sebuah perusahaan bisa saja membeli
saham dominan di perusahaan lain dan mereka menyatakan tak melanggar UU karena
yang dilakukan bukanlah ”pemindahtanganan”.
Permintaan itu yang ditolak MK. Namun, jangan
salah tangkap. MK tidaklah merestui pemusatan kepemilikan. Yang MK katakan,
pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 45 dan tidak memerlukan tafsiran
lebih jauh dari MK.
Bagi MK, UU Penyiaran sudah sangat tegas
menolak pemusatan kepemilikan. Dan, kalau sekarang ternyata dalam kenyataannya
berlangsung kecenderungan ke arah monopoli kepemilikan dan monopoli informasi,
yang harus bertanggung jawab adalah pemerintah.
Bagi MK, ini bukan masalah
konstitusionalitas, melainkan masalah implementasi norma.
Kegagalan Pemerintah
Dengan mengikuti logika MK, bisa dikatakan
yang bermasalah bukanlah UU, melainkan lembaga yang seharusnya menerjemahkan
amanat UU itu dalam bentuk rangkaian kebijakan yang dapat diterapkan di
lapangan.
Di Indonesia sebenarnya ada dua lembaga
pengatur dunia penyiaran, yaitu pemerintah (diwakili Kementerian Komunikasi dan
Informasi) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun, keputusan MK pada 2004
sudah menyatakan bahwa yang berwenang mengeluarkan peraturan tentang penyiaran,
selain pengaturan isi, adalah Menteri Kominfo.
Keputusan MK 2004 itu berakibat fatal. Dalam
10 tahun terakhir bisa dibilang pemerintah dengan enteng mengabaikan saja
kewajiban untuk menata kehidupan industri penyiaran yang memiliki makna sangat
strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangankan soal monopoli yang
rumit, urusan izin penyelenggara penyiaran (IPP) saja tak beres-beres.
Bayangkan, mayoritas lembaga penyiaran di Indonesia ini sebenarnya beroperasi
tanpa izin final yang seharusnya dikeluarkan pemerintah bersama KPI. Ada
ratusan stasiun yang hanya memiliki izin prinsip walau sudah mengurus izin
sejak 8-9 tahun.
Pemerintah bukannya tak mengeluarkan
peraturan pemerintah atau keputusan menteri tentang penyiaran. Menkominfo
Sofyan Jalil, misalnya, pernah mengeluarkan paket empat PP penyiaran pada 2005.
Tapi isinya demikian buruk sehingga sampai kini tak pernah bisa dijalankan.
Pengaturan soal kepemilikan adalah contoh
baik. PP No 50/2005 menyatakan, sebuah lembaga penyiaran televisi hanya boleh
menguasai 100 persen saham di satu badan hukum. Lembaga itu boleh memiliki
saham di badan hukum kedua, tetapi dengan batas saham 49 persen. Lantas di
badan hukum ketiga, maksimalnya 20 persen. Di badan hukum keempat, tinggal 5
persen.
Kominfo agaknya menetapkan peraturan ini
dengan asumsi yang beroperasi di Indonesia adalah lembaga penyiaran raksasa
yang bisa bersiaran nasional. Padahal, UU Penyiaran menyatakan bahwa tak ada
lagi lembaga penyiaran nasional seperti yang dikenal di Indonesia sekarang ini.
Yang ada adalah jaringan stasiun televisi nasional, di mana setiap jaringan
diwajibkan memiliki stasiun-stasiun lokal di setiap daerah.
Ambil contoh RCTI. Menurut UU Penyiaran, RCTI
nantinya harus berubah menjadi jaringan dengan rangkaian stasiun televisi lokal
yang akan membawa siaran RCTI ke seluruh Indonesia. Dengan demikian, akan ada
RCTI Jawa Barat, RCTI Jawa tengah, dan seterusnya.
Kalau ketetapan PP itu diberlakukan, RCTI
Jakarta hanya boleh menguasai 49 saham di RCTI Jawa Tengah, dan hanya 20 persen
saham di RCTI Jawa Timur, serta hanya 5 persen saham di RCTI-RCTI provinsi
lain. Bila ini diberlakukan, industri pertelevisian Indonesia runtuh seketika.
Perlu UU Penyiaran Baru
Oleh karena itulah dan karena berbagai pasal
lain yang tak masuk di akal dan mengada-ada, rangkaian PP dan keputusan menteri
itu tak pernah dijalankan di Indonesia. Ironisnya, ketika ternyata para pelaku
industri begitu saja mengabaikan rangkaian ketetapan itu, pemerintah pun tampak
adem ayem.
Kalau begitu, pasca-keputusan MK, apakah
masyarakat bisa berharap akan terbangunnya sebuah sistem penyiaran yang lebih
demokratis dan pro pada kepentingan masyarakat luas? Mungkin bisa, tetapi ini semua
akan sangat bergantung pada proses kelahiran UU Penyiaran baru yang sedang
digodok di DPR untuk menggantikan UU Penyiaran 2002, yang selama 10 tahun
berjalan di tempat akibat—terutama—ulah pemerintah.
Keputusan MK tersebut penting karena MK sudah
melemparkan pesan secara terbuka bahwa pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran
adalah salah. Karena itu, yang diperlukan sekarang, masyarakat sipil mengawal
perumusan UU Penyiaran baru yang isinya seharusnya memberikan kepastian hukum
kepada semua pemangku kepentingan dan pada saat yang sama menjunjung tinggi
kepentingan masyarakat luas sebagai prioritas utama. Kalau masih mau berjuang,
medan perjuangan saat ini adalah UU Penyiaran baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar