Gerakan
Nonblok dan Indonesia
Muhammad Taufiqurrohman ; Dosen Jurusan Ilmu Budaya
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
|
REPUBIKA,
04 Oktober 2012
Dalam pidato resminya pada 2012 di Iran yang lalu, pemimpin
tertinggi Iran Ali Khamenei secara khusus menyebut `Ahmad Soekarno' dan KTT
Asia-Afrika Bandung 1955. Soekarno sebagai salah satu pendiri Gerakan Nonblok
(GNB), dikutip Khamenei, pernah mengucapkan pidato yang sangat mengesankan. Bunyinya,
“Bahwa negara-negara yang tergabung dalam
GNB tidak disatukan oleh persamaan agama, geografi, ras, ideologi, ataupun
sejarah, tetapi persamaan kebutuhan.”
Dunia mencatat, saat itu Indonesia dipimpin Soekarno merupakan
kekuatan dunia yang tak bisa disepelekan. KTT Asia-Afrika Bandung 1955 sebagai
cikal bakal GNB, juga disebut Khamenei, sebagai peristiwa yang sangat
bersejarah.
Saat itu, beberapa negara yang tergabung di dalamnya merasa punya kebutuhan
sama untuk bersatu malawan jaringan kekuatan dunia yang otoriter dan arogan.
Dalam kumpulan esainya, “Colonialism
and Neocolonialism“, sastrawan filsuf terkemuka Prancis Jean-Paul Sartre
banyak menyebut Kuba (Amerika Latin), Aljazair (Afrika), dan Cina serta Vietnam
(Asia) sebagai contoh perlawanan `tricontinentalism“
(A3) atas kedigdayaan imperialisme Barat. Namun sayang, tak satu pun kata
Indonesia dan Soekarno disebutkan olehnya. Padahal, jauh hari sebelum
terbentuknya GNB, juga jauh hari sebelum the
first Conference of the Organisation of Solidarity of the Peoples of Asia,
Africa, and Latin America di Havana Kuba, pada 1966, juga jauh hari sebelum
Havana Declaration of 1979 oleh Fidel Castro, Soekarnolah untuk pertama kalinya
yang telah dapat mengumpulkan kepala negara-negara `dunia ketiga' dalam KTT
Asia-Afrika Bandung 1955 sebagai cikal bakal GNB.
Kritikus terkemuka Amerika, Profesor Edward W Said, dalam bukunya
yang termasyhur `'Orientalism''
(cetakan 2003, halaman 104, 304), secara khusus mencatat KTT Asia-Afrika
Bandung 1955 sebagai titik balik perjuangan bangsa-bangsa Timur atas
imperialisme Barat. KTT Asia-Afrika Bandung 1955 merupakan tonggak peristiwa
politik internasional yang sangat bersejarah karena menjadi yang pertama dalam
abad ke-20, sebagai gerakan perlawanan ideologis bangsa-bangsa Timur atas
hegemoni Barat. Peristiwa ini menjadi penanda utama kebangkitan bangsa-bangsa
Timur dari keterpurukan.
Dengan adanya KTT Asia-Afrika Bandung 1955, Barat dengan
orientalismenya harus menghadapi tantangan baru dalam memperlakukan bangsa-bangsa
Timur. Bangsa-bangsa Timur yang selalu diandaikan sebagai `objek' yang tak
berdaya dan penurut telah bangkit menjadi `subjek' yang mampu mencipta nasibnya
sendiri secara merdeka.
Bangsa-bangsa Timur (paling tidak pemimpin-pemimpinnya saat itu)
tidak lagi bermental budak. Dalam kaitannya dengan Amerika, Soekarno dalam
otobiografinya mengatakan, “Aku
berulang-ulang meminta kepada Amerika pengertian, bukan dolarnya, tetapi aku
tidak akan, aku tidak bisa, aku tidak mau mengemis-ngemis untuk itu.“
Tutup Mata Barat
Menghadapi perkembangan baru tersebut, tulis Said, Barat harus
memutuskan beberapa langkah alternatif. Pertama, Barat melanggengkan
kolonialisme dan neokolonialisme serta orientalisme yang mengikutinya.
Berpura-pura seolah tak terjadi perkembangan apa-apa pada bangsa Timur dan
terus menganggap Timur sebagai bangsa manusia yang bisa diperbudak.
Kedua, Barat beradaptasi dengan mengubah cara-cara lama mereka dalam
memperlakukan bangsa-bangsa Timur dengan cara-cara baru yang lebih martabat.
Hal ini mengandaikan bahwa mereka menyadari dan menerima kenyataan bahwa
bangsa-bangsa Timur telah berubah menjadi anak kandung ‘pencerahan’. Artinya,
tawaran Said yang kedua ini senada dengan yang diserukan Soekarno kepada Barat
(Amerika), agar saling memberi pengertian.
Namun sayang, pilihan pertama yang diambil Barat. Mereka memilih
untuk tetap menutup mata dan meneruskan kolonialisme atau neokolonialisme
mereka. Sejak berakhirnya Perang Dunia II dan berlanjut pada berakhirnya Perang
Dingin saat Amerika dan sekutunya menjadi pemenang, catatan-catatan merah
sejarah arogansi Barat (Amerika) dalam memperlakukan bangsa-bangsa Timur terus
berlangsung.
Bahkan, sampai saat ini ketika sedang terpuruk ditimpa krisis,
Barat tetap menganggap GNB dan bangsa-bangsa Timur sebagai ‘budak’ dan mereka
sebagai ‘majikan’. Mereka belum membuka mata dan menerima kenyataan bahwa GNB
merupakan rekan kerja bangsa yang sederajat.
Sementara itu, di dalam negeri orang Indonesia terkagum-kagum
takjub bergemuruh dengan pidato Obama dua tahun lalu hanya karena Obama
mengucapkan, “Terima kasih untuk bakso,
nasi goreng, emping, krupuk. Semuanya enak!” Padahal, Obama sama sekali
tidak menyebutkan kehebatan Soekarno dan apalagi kiprah Indonesia di panggung
politik internasional.
Dan, seluruh dunia tahu
Presiden Indonesia tidak ikut menghadiri GNB Iran 2012, namun hanya
mendelegasikan wakil presiden. Orang-orang Indonesia dan terutama presidennya
memang harus belajar banyak soal GNB. Terutama agar orang Indonesia tidak
bermental krupuk, apalagi jika dia seorang presiden. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar