Jumat, 05 Oktober 2012

Gerakan Nonblok dan Indonesia


Gerakan Nonblok dan Indonesia
Muhammad Taufiqurrohman ;  Dosen Jurusan Ilmu Budaya
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
REPUBIKA, 04 Oktober 2012


Dalam pidato resminya pada 2012 di Iran yang lalu, pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei secara khusus menyebut `Ahmad Soekarno' dan KTT Asia-Afrika Bandung 1955. Soekarno sebagai salah satu pendiri Gerakan Nonblok (GNB), dikutip Khamenei, pernah mengucapkan pidato yang sangat mengesankan. Bunyinya, “Bahwa negara-negara yang tergabung dalam GNB tidak disatukan oleh persamaan agama, geografi, ras, ideologi, ataupun sejarah, tetapi persamaan kebutuhan.”

Dunia mencatat, saat itu Indonesia dipimpin Soekarno merupakan kekuatan dunia yang tak bisa disepelekan. KTT Asia-Afrika Bandung 1955 sebagai cikal bakal GNB, juga disebut Khamenei, sebagai peristiwa yang sangat bersejarah.
 
Saat itu, beberapa negara yang tergabung di dalamnya merasa punya kebutuhan sama untuk bersatu malawan jaringan kekuatan dunia yang otoriter dan arogan.

Dalam kumpulan esainya, “Colonialism and Neocolonialism“, sastrawan filsuf terkemuka Prancis Jean-Paul Sartre banyak menyebut Kuba (Amerika Latin), Aljazair (Afrika), dan Cina serta Vietnam (Asia) sebagai contoh perlawanan `tricontinentalism“ (A3) atas kedigdayaan imperialisme Barat. Namun sayang, tak satu pun kata Indonesia dan Soekarno disebutkan olehnya. Padahal, jauh hari sebelum terbentuknya GNB, juga jauh hari sebelum the first Conference of the Organisation of Solidarity of the Peoples of Asia, Africa, and Latin America di Havana Kuba, pada 1966, juga jauh hari sebelum Havana Declaration of 1979 oleh Fidel Castro, Soekarnolah untuk pertama kalinya yang telah dapat mengumpulkan kepala negara-negara `dunia ketiga' dalam KTT Asia-Afrika Bandung 1955 sebagai cikal bakal GNB.

Kritikus terkemuka Amerika, Profesor Edward W Said, dalam bukunya yang termasyhur `'Orientalism'' (cetakan 2003, halaman 104, 304), secara khusus mencatat KTT Asia-Afrika Bandung 1955 sebagai titik balik perjuangan bangsa-bangsa Timur atas imperialisme Barat. KTT Asia-Afrika Bandung 1955 merupakan tonggak peristiwa politik internasional yang sangat bersejarah karena menjadi yang pertama dalam abad ke-20, sebagai gerakan perlawanan ideologis bangsa-bangsa Timur atas hegemoni Barat. Peristiwa ini menjadi penanda utama kebangkitan bangsa-bangsa Timur dari keterpurukan.

Dengan adanya KTT Asia-Afrika Bandung 1955, Barat dengan orientalismenya harus menghadapi tantangan baru dalam memperlakukan bangsa-bangsa Timur. Bangsa-bangsa Timur yang selalu diandaikan sebagai `objek' yang tak berdaya dan penurut telah bangkit menjadi `subjek' yang mampu mencipta nasibnya sendiri secara merdeka.

Bangsa-bangsa Timur (paling tidak pemimpin-pemimpinnya saat itu) tidak lagi bermental budak. Dalam kaitannya dengan Amerika, Soekarno dalam otobiografinya mengatakan, “Aku berulang-ulang meminta kepada Amerika pengertian, bukan dolarnya, tetapi aku tidak akan, aku tidak bisa, aku tidak mau mengemis-ngemis untuk itu.“

Tutup Mata Barat

Menghadapi perkembangan baru tersebut, tulis Said, Barat harus memutuskan beberapa langkah alternatif. Pertama, Barat melanggengkan kolonialisme dan neokolonialisme serta orientalisme yang mengikutinya. Berpura-pura seolah tak terjadi perkembangan apa-apa pada bangsa Timur dan terus menganggap Timur sebagai bangsa manusia yang bisa diperbudak.

Kedua, Barat beradaptasi dengan mengubah cara-cara lama mereka dalam memperlakukan bangsa-bangsa Timur dengan cara-cara baru yang lebih martabat. Hal ini mengandaikan bahwa mereka menyadari dan menerima kenyataan bahwa bangsa-bangsa Timur telah berubah menjadi anak kandung ‘pencerahan’. Artinya, tawaran Said yang kedua ini senada dengan yang diserukan Soekarno kepada Barat (Amerika), agar saling memberi pengertian.

Namun sayang, pilihan pertama yang diambil Barat. Mereka memilih untuk tetap menutup mata dan meneruskan kolonialisme atau neokolonialisme mereka. Sejak berakhirnya Perang Dunia II dan berlanjut pada berakhirnya Perang Dingin saat Amerika dan sekutunya menjadi pemenang, catatan-catatan merah sejarah arogansi Barat (Amerika) dalam memperlakukan bangsa-bangsa Timur terus berlangsung.

Bahkan, sampai saat ini ketika sedang terpuruk ditimpa krisis, Barat tetap menganggap GNB dan bangsa-bangsa Timur sebagai ‘budak’ dan mereka sebagai ‘majikan’. Mereka belum membuka mata dan menerima kenyataan bahwa GNB merupakan rekan kerja bangsa yang sederajat.

Sementara itu, di dalam negeri orang Indonesia terkagum-kagum takjub bergemuruh dengan pidato Obama dua tahun lalu hanya karena Obama mengucapkan, “Terima kasih untuk bakso, nasi goreng, emping, krupuk. Semuanya enak!” Padahal, Obama sama sekali tidak menyebutkan kehebatan Soekarno dan apalagi kiprah Indonesia di panggung politik internasional.

Dan, seluruh dunia tahu Presiden Indonesia tidak ikut menghadiri GNB Iran 2012, namun hanya mendelegasikan wakil presiden. Orang-orang Indonesia dan terutama presidennya memang harus belajar banyak soal GNB. Terutama agar orang Indonesia tidak bermental krupuk, apalagi jika dia seorang presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar