Jalan Lempang
ke PTN
Sudharto P Hadi ; Rektor
Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 16 Oktober 2012
MEMPERINGATI usia ke-55, Universitas
Diponegoro (Undip) tidak bisa melepaskan diri dari isu krusial tentang
pengintegrasian pendidikan menengah dengan pendidikan tinggi dan kemahalan
biaya pendidikan tinggi. Seperti apakah dua isu itu, dan bagaimana isu itu memengaruhi
tekad perguruan tinggi negeri (PTN) terbesar di Jateng menjadi
universitas unggul dan berkarakter?
Dalam berbagai kesempatan, pejabat
Kemendikbud dan wakil rakyat sering mengemukakan bahwa hanya pendidikan SLTA
dengan perguruan tinggi yang belum terlihat keterkaitannya. Untuk masuk SMP
dan SMA, anak-anak lulusan SD dan SMP cukup menggunakan nilai rapor.
Sekalipun ada tes seperti persyaratan masuk RSBI, nilai rata-rata rapor tetap
dipakai sebagai ''tiket''.
Tapi tidak demikian halnya dengan lulusan
SMA yang akan masuk perguruan tinggi, mereka harus menempuh tes dengan
beragam jalur, dan semuanya dengan biaya pendaftaran tidak murah. Mulai 2011
dengan Permendiknas (kini Permendikbud) Nomor 32 Tahun 2010 jalur penelusuran
prestasi dilembagakan sebagai bagian dari SNMPTN, yang disebut sebagai jalur
undangan dengan persentase minimal 20%.
Tahun 2013, pemerintah menetapkan besaran
jalur undangan yang kelak disebut jalur penjaringan prestasi akademik (PPA)
minimal 50%. Pemerintah juga berkomitmen menanggung biaya
pendaftaran.
Sesungguhnya penerimaan mahasiswa melalui
jalur prestasi akademik (tanpa tes) merupakan bentuk pengakuan hasil belajar
di SLTA. Jalur ini memikat siswa, orang tua, ataupun sekolah karena
persaingannya tidak seketat jalur ujian tulis. Tidak mengherankan jika orang
tua dan sekolah sangat menginginkan agar banyak anak didiknya bisa diterima
lewat jalur terhormat ini. Tak pelak beberapa kasus manipulasi dan mark
up nilai rapor terjadi.
Uang
Kuliah Tunggal
Memasuki tahun ajaran baru 2012, Dirjen
Dikti Kemendikbud mengamanatkan seluruh PTN untuk memberlakukan uang kuliah
tunggal (UKT). Selama ini, biaya pendidikan di PTN terdiri atas berbagai
komponen dan dengan istilah beragam, seperti sumbangan pengembangan
pendidikan (SPP), praktikum responsi dan kegiatan perkuliahan (PRKP),
sumbangan pengembangan institusi (SPI), sumbangan pengembangan mutu
pendidikan (SPMP), biaya operasional pendidikan (BOP), dan sebagainya.
Berbagai komponen itu kini dintegrasikan
kemudian dibagi delapan, dengan asumsi bahwa mahasiswa program S-1
menyelesaikan studi dalam waktu 8 semester. Kebijakan ini mendasarkan pada
kenyataan bahwa tiap tahun ajaran baru selalu muncul isu tentang mahalnya
pendidikan tinggi.
Tahun 2003 misalnya, muncul isu tentang
jalur khusus yang ditengarai merupakan jalur bagi orang berduit, yang
menimbulkan diskriminasi dan mengingkari fitrah pendidikan untuk semua
(education for all).
Kemudian, pungutan dari prodi gemuk (yang
banyak peminat) sampai mencapai ratusan juta rupiah. Kondisi ini tak terlepas
dari beberapa PTN yang menyandang status otonomi atau badan hukum milik
negara (BHMN). Otonomi dimaknai sebagai kebebasan menghimpun dana dan yang
paling gampang adalah mengeruk dari calon mahasiswa.
Jalur penerimaaan mahasiswa secara mandiri
dengan biaya mahal, dilakukan jauh sebelum pengumuman UN. Jumlah mahasiswa
yang diterima melalui jalur mandiri jauh lebih besar dibanding penerimaan
bersama secara nasional. Langkah PTN berotonomi ini diikuti oleh perguruan
tinggi lain.
Titik baliknya terjadi tahun 2011 ketika
Kemendikbud menetapkan bahwa 60% penerimaan mahasiswa baru harus dilakukan
secara bersama di tingkat nasional, yang disebut seleksi nasional masuk
perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Selanjutnya juga diatur bahwa penerimaan mahasiswa
baru harus dilakukan setelah pengumuman UN SLTA dan PTN wajib membantu 20%
mahasiswa tidak mampu dari seluruh jumlah mahasiswa yang diterima.
''Pembinaan'' Kemendikbud melalui Ditjen
Dikti terus berlanjut dengan pemberlakuan tarif tunggal (uang kuliah tunggal/
UKT) mulai 2013. Namun UKT menimbulkan beberapa implikasi. Pertama; biaya
yang dibayar per semester akan terlihat tinggi. Hal ini karena komponen SPI
dan SPMP yang biasanya dibayar di depan atau dicicil dua kali kini harus
dibagi delapan.
UKT juga meniadakan prinsip subsidi silang,
karena biaya pendidikan di tiap prodi untuk tiap mahasiswa diratakan sama,
tidak membedakan yang sangat kaya, kaya, atau menengah. Penegcualian hanya
diberikan kepada mahasiswa yang termasuk kategori dari keluarga miskin.
Perbedaan jalur masuk di PTN dengan variasi
biaya pendidikan sebagaimana selama ini diterapkan oleh banyak PTN memiliki
sisi positif, yaitu mereka yang kaya membantu yang miskin.
Untuk mengurangi beban PTN, pemerintah
memberikan bantuan operasional (BOPTN). Rasa ''risi'' pemerintah terkait
tuduhan masuk PTN sulit dan berbiaya mahal direspons dengan kebijakan
meningkatkan persentase jalur undangan dan pemberlakuan UKT. Terasa bahwa
jalan masuk ke PTN lebih lempang ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Akankah
kebijakan ini bisa meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) dan kualitas
lulusan? Mari kita cermati bersama dalam 2-3 tahun mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar