Kerahasiaan
Pesawat Tempur
A Zaini Bisri ; Wartawan Suara
Merdeka,
Komisioner Komisi
Informasi Provinsi Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 18 Oktober 2012
DALAM kecelakaan pesawat tempur jenis Hawk
200 di Kabupaten Kampar, Riau, Kepala Staf TNI AU Marsekal Imam Sufaat telah
meminta maaf atas tindakan kekerasan anak buahnya di lapangan terhadap
sejumlah wartawan. Memang, apa pun alasannya, kekerasan atas wartawan
merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Undang-undang tersebut menjamin kemerdekaan
pers dan memberikan jaminan hukum kepada wartawan dalam melaksanakan tugas.
Tidak boleh ada pihak yang menghalangi atau menghambat tugas wartawan. Bila
ada pihak yang sengaja melawan hukum berbuat demikian, diancam pidana penjara
2 tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18).
Hal yang menarik adalah penjelasan dari
Kepala Staf TNI AU bahwa kecelakaan pesawat tempur bersifat rahasia. Publik
tidak diperbolehkan mendekat atau mengambil gambar karena terkait kerahasiaan
atau persenjataan yang dibawa pesawat.
Seperti diketahui, pesawat produksi tahun
1996 yang diimpor dari Inggris itu membawa dua peluru kendali. Bila peluru
kendali itu ikut meledak karena efek panas, bisa jatuh korban di sekitar
lokasi kecelakaan. Untungnya, peluru kendali tersebut tidak meledak.
Bagaimanakah ikhwal kerahasiaan kecelakaan
pesawat tempur yang menjadi alasan atau latar belakang kemunculan tindakan
kekerasan oleh aparat TNI terhadap wartawan itu?
Batasan tentang kerahasiaan informasi
terkait pertahanan dan keamanan (hankam) negara yang mencakup sistem
intelijen, persandian, dan operasi militer sudah diatur dalam Pasal 17 UU
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Pasal 17
huruf c memuat 7 item jenis-jenis informasi hankam yang dikecualikan.
Namun pasal tersebut tidak spesifik
menyebut area latihan militer yang terlarang bagi akses publik atau informasi
rahasia terkait kecelakaan pesawat tempur. Sesuai dengan Pasal 16 Peraturan
Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik,
kerahasiaan informasi strategis militer harus ditetapkan berdasarkan uji
konsekuensi tentang akibat yang timbul bila informasi itu dibuka untuk
publik.
Daftar informasi yang dikecualikan
berdasarkan hasil uji konsekuensi itu harus diumumkan sehingga masyarakat
mengetahui. Kerahasiaan suatu informasi tidak bisa hanya didasarkan pada
klaim pejabat atau pemimpin suatu badan publik. Jika demikian, akan terjadi
pelanggaran terhadap hak publik atas informasi, termasuk juga hak wartawan
untuk menyiarkan informasi.
Peraturan Komisi Informasi Nomor 1/2010
juga menekankan jika pengecualian informasi berdasarkan Pasal 17 huruf j maka
uji konsekuensi harus mencantumkan secara jelas dan tegas undang-undang yang
diacu sebagai dasar bahwa suatu informasi wajib dirahasiakan.
Karena itu, klaim kerahasiaan kecelakaan
pesawat tempur harus didasarkan uji konsekuensi tentang pengecualian
informasi tersebut. Lagi pula, kerahasiaan informasi tidak ada yang berlaku
mutlak. Ada tingkatan kerahasiaan dan masa retensi yang membatasinya.
Masalahnya, hingga kini belum ada peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pengecualian informasi hankam selain UU
KIP. RUU Rahasia Negara sudah ditarik kembali oleh pemerintah dan RUU
Keamanan Nasional masih dalam tahapan uji publik.
Kerahasiaan informasi hankam mencakup
istilah informasi strategis dan informasi infrastruktur strategis. Istilah
rahasia negara (state secrecy) tidak sesuai lagi dengan perkembangan karena
berkonotasi negatif.
Prinsip
Johannesburg
Pembatasan informasi yang dirahasiakan
penting sesuai Prinsip-Prinsip Johannesburg soal kebebasan informasi dan
keamanan nasional yang diakui secara internasional (Newsletter, November
2009). Prinsip itu menyebutkan, pembatasan hak atas informasi karena alasan
keamanan nasional tidak sah, kecuali ''untuk melindungi keberadaan suatu
negara atau integritas teritorialnya atau kapasitasnya untuk bereaksi
terhadap ancaman kekerasan, baik yang berasal dari sumber eksternal seperti
ancaman militer maupun dari sumber internal, seperti provokasi penggulingan
pemerintah dengan cara kekerasan''.
Menurut pengamat militer Andi Widjajanto
(IDSPS, 2009), masyarakat dunia sekarang justru menghendaki transparansi di
bidang pertahanan karena tiga alasan. Pertama; rezim perlucutan senjata
(disarmament) dan pengendalian senjata (arms control) internasional
mengharuskan transparansi seluas-luasnya di bidang pertahanan.
Kedua; pertahanan yang tidak memancing
musuh (non-provocative defense) menuntut transparansi dalam publikasi buku
putih pertahanan, gelar pasukan dalam rangka operasi militer selain perang,
anggaran pertahanan, dan proliferasi vertikal senjata konvensional suatu
negara.
Ketiga; transparansi pertahanan justru akan
memperkuat efek penangkalan dari gelar pertahanan suatu negara. Efek
penangkalan tidak akan muncul jika suatu negara menutup rapat seluruh
informasi terkait dengan kebijakan, organisasi, postur, dan gelar pertahanan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar