Rabu, 10 Oktober 2012

Kenaikan Tarif Listrik


Kenaikan Tarif Listrik
Pri Agung Rakhmanto ;  Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
KOMPAS, 10 Oktober 2012


Pemerintah berencana menaikkan tarif listrik rata-rata 15 persen pada 2013. Rencana ini tecermin dan sudah dapat dibaca sejak Presiden SBY menyampaikan pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2013 di DPR, Agustus lalu. Dalam RAPBN 2013 ditetapkan alokasi anggaran subsidi listrik Rp 80,9 triliun.

Secara hitungan, alokasi anggaran subsidi listrik yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik 182,8 terrawatt-hour (TWh) —demi menopang pencapaian target pertumbuhan ekonomi 6,8 persen—ada di kisaran Rp 92 triliun-Rp 94 triliun, bukan Rp 80,9 triliun. Jadi, sejak awal anggaran subsidi listrik 2013 yang dialokasikan memang (dibuat) tak cukup sehingga menuntut skenario kenaikan tarif listrik rata-rata 15 persen itu.

Masalah Anggaran

Dari sini terbaca, kenaikan tarif listrik sebenarnya lebih (hanya) demi kesesuaian dengan alokasi anggaran yang ada. Kenaikan tarif tak berkorelasi langsung dengan perbaikan kinerja kelistrikan nasional. Termasuk di dalamnya perbaikan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Jika tarif naik, pemerintah tak perlu repot karena antara program dan alokasi anggaran jadi sesuai. Sumber dana dari masyarakat. Jika tarif batal naik, pemerintah harus mencari uang lagi dari sumber yang berbeda untuk menutup kekurangan alokasi anggaran yang diperlukan.

Masalahnya, apakah uang dari masyarakat ataukah dari sumber lain tersebut akan berguna bagi peningkatan pelayanan kelistrikan, masih akan sangat bergantung pada bagaimana selanjutnya PLN mengelola dan menggunakannya. Dengan kata lain, kenaikan tarif listrik sebenarnya lebih hanya untuk mengatasi masalah fiskal ketimbang masalah kelistrikan itu sendiri.

Kita memahami betapa besaran subsidi energi sudah terlampau banyak menyerap alokasi anggaran belanja pemerintah. Dalam RAPBN 2013, total alokasi anggaran untuk subsidi energi Rp 274,7 triliun, terdiri atas subsidi bahan bakar minyak (BBM) Rp 193,8 triliun dan subsidi listrik Rp 80,9 triliun. Jumlah ini menyerap sekitar 16,6 persen porsi anggaran belanja pemerintah. Rencana kenaikan tarif listrik tahun depan adalah bagian dari upaya untuk menjaga agar porsi belanja subsidi energi tidak melebihi apa yang sudah ditetapkan.

Dari sini kita bisa membaca, kebijakan pemerintah untuk lebih memilih menaikkan tarif listrik—dibanding menaikkan harga BBM, misalnya—adalah kebijakan yang moderat. Artinya, tidak cukup progresif dalam konteks mengurangi besaran subsidi energi.

Dari angka yang ada, porsi terbesar yang membuat subsidi energi begitu tinggi adalah subsidi BBM, mencapai 71,6 persen dari total subsidi energi. Porsi subsidi listrik kurang dari separuh porsi subsidi BBM. Artinya, jika pemerintah progresif, pilihan kebijakan yang diambil mestinya kenaikan harga BBM dan bukan kenaikan tarif listrik. Keharusan memilih antara kenaikan harga BBM dan tarif listrik, dalam konteks ini, menjadi relevan karena menjalankan keduanya secara bersamaan dapat dikatakan tidak dapat diterima secara ekonomi ataupun politik.

Rencana kenaikan tarif listrik lebih dipilih karena secara politik risiko dan resistensinya relatif lebih bisa ditangani. Sementara secara ekonomi pemerintah memandang kebijakan ini cukup efektif mengurangi anggaran subsidi energi, meskipun sebenarnya tidak cukup signifikan jika dibandingkan kenaikan harga BBM. Jadi, pertimbangan yang dikedepankan adalah politik dan bukan rasionalitas ekonomi.

Bukan Prioritas

Ditinjau dari urgensi terhadap pembenahan permasalahan di sektor energi, kenaikan tarif listrik sebenarnya juga bukan prioritas. Kenaikan harga BBM jauh lebih prioritas karena disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi sudah sedemikian lebar sehingga subsidi yang sudah salah sasaran menjadi semakin parah.

Kenaikan tarif listrik juga relatif tidak semendesak kenaikan harga BBM karena subsidi listrik yang diberikan berdasarkan golongan konsumen relatif sudah jauh lebih tepat sasaran. Kenaikan tarif listrik lebih tak jadi prioritas lagi dalam konteks pembenahan sektor kelistrikan. Sebab yang lebih diperlukan adalah pembenahan dalam pengelolaan energi primer pembangkit PLN.

Hasil audit BPK pada September 2011 menemukan, akibat tak terpenuhinya kebutuhan bahan bakar gas untuk pembangkit, terjadi inefisiensi Rp 17,9 triliun pada 2009 dan Rp 19,69 triliun pada 2010. Jika inefisiensi dalam pemenuhan bahan bakar pembangkit PLN ini dibenahi, dapat dikatakan kenaikan tarif listrik sebenarnya tidak atau setidaknya belum diperlukan.

Jadi, pilihan kebijakan yang diambil memang bukan karena kebijakan itu paling mendesak. Namun, dengan persetujuan dari Komisi VII DPR yang sudah di tangan pemerintah, masyarakat relatif tak punya pilihan lain selain menerimanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar