Kenaikan Tarif
Listrik
Pri Agung Rakhmanto ; Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan
Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
|
KOMPAS,
10 Oktober 2012
Pemerintah berencana menaikkan tarif listrik
rata-rata 15 persen pada 2013. Rencana ini tecermin dan sudah dapat dibaca
sejak Presiden SBY menyampaikan pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2013 di DPR,
Agustus lalu. Dalam RAPBN 2013 ditetapkan alokasi anggaran subsidi listrik Rp 80,9
triliun.
Secara hitungan, alokasi anggaran subsidi
listrik yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik 182,8 terrawatt-hour (TWh)
—demi menopang pencapaian target pertumbuhan ekonomi 6,8 persen—ada di kisaran
Rp 92 triliun-Rp 94 triliun, bukan Rp 80,9 triliun. Jadi, sejak awal anggaran
subsidi listrik 2013 yang dialokasikan memang (dibuat) tak cukup sehingga
menuntut skenario kenaikan tarif listrik rata-rata 15 persen itu.
Masalah Anggaran
Dari sini terbaca, kenaikan tarif listrik
sebenarnya lebih (hanya) demi kesesuaian dengan alokasi anggaran yang ada.
Kenaikan tarif tak berkorelasi langsung dengan perbaikan kinerja kelistrikan
nasional. Termasuk di dalamnya perbaikan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Jika tarif naik, pemerintah tak perlu repot
karena antara program dan alokasi anggaran jadi sesuai. Sumber dana dari
masyarakat. Jika tarif batal naik, pemerintah harus mencari uang lagi dari
sumber yang berbeda untuk menutup kekurangan alokasi anggaran yang diperlukan.
Masalahnya, apakah uang dari masyarakat
ataukah dari sumber lain tersebut akan berguna bagi peningkatan pelayanan
kelistrikan, masih akan sangat bergantung pada bagaimana selanjutnya PLN
mengelola dan menggunakannya. Dengan kata lain, kenaikan tarif listrik
sebenarnya lebih hanya untuk mengatasi masalah fiskal ketimbang masalah
kelistrikan itu sendiri.
Kita memahami betapa besaran subsidi energi
sudah terlampau banyak menyerap alokasi anggaran belanja pemerintah. Dalam
RAPBN 2013, total alokasi anggaran untuk subsidi energi Rp 274,7 triliun,
terdiri atas subsidi bahan bakar minyak (BBM) Rp 193,8 triliun dan subsidi
listrik Rp 80,9 triliun. Jumlah ini menyerap sekitar 16,6 persen porsi anggaran
belanja pemerintah. Rencana kenaikan tarif listrik tahun depan adalah bagian
dari upaya untuk menjaga agar porsi belanja subsidi energi tidak melebihi apa
yang sudah ditetapkan.
Dari sini kita bisa membaca, kebijakan
pemerintah untuk lebih memilih menaikkan tarif listrik—dibanding menaikkan
harga BBM, misalnya—adalah kebijakan yang moderat. Artinya, tidak cukup
progresif dalam konteks mengurangi besaran subsidi energi.
Dari angka yang ada, porsi terbesar yang
membuat subsidi energi begitu tinggi adalah subsidi BBM, mencapai 71,6 persen
dari total subsidi energi. Porsi subsidi listrik kurang dari separuh porsi
subsidi BBM. Artinya, jika pemerintah progresif, pilihan kebijakan yang diambil
mestinya kenaikan harga BBM dan bukan kenaikan tarif listrik. Keharusan memilih
antara kenaikan harga BBM dan tarif listrik, dalam konteks ini, menjadi relevan
karena menjalankan keduanya secara bersamaan dapat dikatakan tidak dapat
diterima secara ekonomi ataupun politik.
Rencana kenaikan tarif listrik lebih dipilih
karena secara politik risiko dan resistensinya relatif lebih bisa ditangani.
Sementara secara ekonomi pemerintah memandang kebijakan ini cukup efektif
mengurangi anggaran subsidi energi, meskipun sebenarnya tidak cukup signifikan
jika dibandingkan kenaikan harga BBM. Jadi, pertimbangan yang dikedepankan
adalah politik dan bukan rasionalitas ekonomi.
Bukan Prioritas
Ditinjau dari urgensi terhadap pembenahan
permasalahan di sektor energi, kenaikan tarif listrik sebenarnya juga bukan
prioritas. Kenaikan harga BBM jauh lebih prioritas karena disparitas harga BBM
subsidi dan nonsubsidi sudah sedemikian lebar sehingga subsidi yang sudah salah
sasaran menjadi semakin parah.
Kenaikan tarif listrik juga relatif tidak
semendesak kenaikan harga BBM karena subsidi listrik yang diberikan berdasarkan
golongan konsumen relatif sudah jauh lebih tepat sasaran. Kenaikan tarif listrik
lebih tak jadi prioritas lagi dalam konteks pembenahan sektor kelistrikan.
Sebab yang lebih diperlukan adalah pembenahan dalam pengelolaan energi primer
pembangkit PLN.
Hasil audit BPK pada September 2011
menemukan, akibat tak terpenuhinya kebutuhan bahan bakar gas untuk pembangkit,
terjadi inefisiensi Rp 17,9 triliun pada 2009 dan Rp 19,69 triliun pada 2010.
Jika inefisiensi dalam pemenuhan bahan bakar pembangkit PLN ini dibenahi, dapat
dikatakan kenaikan tarif listrik sebenarnya tidak atau setidaknya belum
diperlukan.
Jadi, pilihan kebijakan yang diambil memang
bukan karena kebijakan itu paling mendesak. Namun, dengan persetujuan dari
Komisi VII DPR yang sudah di tangan pemerintah, masyarakat relatif tak punya
pilihan lain selain menerimanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar