Depresi dan
Mental Kesegeraan
Nalini Muhdi ; Psikiater di RSU Dr Sutomo FK Unair;
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
|
KOMPAS, 10 Oktober 2012
Peristiwa bergulir cepat di negeri ini. Belum
selesai satu masalah sudah muncul masalah lain. Maka, berbagai masalah
psikososial pun merebak: kejadian bunuh diri yang erat dengan depresi,
kekerasan.
Ada begitu banyak hal yang menandakan
ketidakberesan pada mental bangsa ini. Kriminalitas yang kian sadis, tawuran
remaja, terorisme, ambang toleransi rendah terhadap perbedaan, memudarnya rasa
malu, perilaku serakah lewat korupsi, dan seterusnya.
Dunia memang tengah memprihatinkan depresi
yang menjadi masalah global. Beban kesakitan dunia bakal menjadi ledakan hebat
pada 2020. Saat ini saja, lebih dari 350 juta penduduk dunia menderita depresi
dalam berbagai gradasi. Angka tersebut selaras dengan meningkatnya kejadian
bunuh diri serta kekerasan dan merosotnya kualitas hidup umat manusia.
Lebih memprihatinkan, ternyata gagasan Tujuan
Pembangunan Milenium (Millennium
Development Goal/MDG) tidak konkret menyentuh masalah kesehatan mental. MDG
tidak secara eksplisit menganggap kesehatan mental sebagai hal yang perlu
segera diatasi. Bisa jadi karena kesehatan mental memang agak sulit diukur.
Depresi
Saat ini perubahan yang cepat dalam berbagai
bidang, kemunduran sosial-ekonomi dari efek globalisasi, kompetisi superketat,
dan ketidakpastian masa depan, membuat sebagian masyarakat tidak mampu
menghayati kebahagiaan lagi. Semua ini menjadi faktor pencetus depresi.
Salah satu dampak depresi yang berat adalah
bunuh diri. Angka bunuh diri agak sulit diukur melalui kejadian yang tercatat
di pusat layanan kesehatan semata karena kematian bunuh diri justru sering
tercatat dengan penyebab lain, misalnya kecelakaan lalu lintas atau tidak
dilaporkan keluarga. Kesadaran terhadap depresi dan akibatnya memang tidak
selayaknya mengandalkan angka epidemiologik.
Apakah maraknya berbagai masalah kesehatan
jiwa, termasuk depresi, selalu berkaitan dengan kemajuan tingkat kehidupan,
termasuk kondisi ekonomi? Ada benarnya, tetapi ternyata tidak selalu begitu,
bergantung pada tingkat resiliensi atau kekenyalan individu dan sistem di
masyarakat tersebut.
Berbagai perubahan kehidupan yang cepat,
ketidakpastian masa depan, termasuk melubernya pengangguran, dituding sebagai
akar dari ketidakseimbangan dan kondisi ini amat relevan saat ini. Banyak
anggota masyarakat kehilangan pijakan akar budaya dan nilai-nilai kehidupan
sosial yang dulunya bisa menjadi benteng pertahanan.
Mental Kesegeraan
Mental kesegeraan (immediacy) dan pola pikir yang terdistorsi, menjadi semacam gaya
hidup serta cara pandang yang justru kian diterima, seakan menciptakan norma
baru dan diserap menjadi semacam kebenaran semu. Tak heran, kesenjangan yang
kian meruncing dalam masyarakat akan cepat menimbulkan perilaku mal-adaptif,
lantas menciptakan ketidakseimbangan dalam banyak sektor kehidupan. Kita
kehilangan sistem masyarakat yang tenang dan semakin jauh dari budaya
introspeksi sebagai landasan untuk maju menghadapi tantangan.
Mental kesegeraan bisa kita lihat saat orang
ingin serba cepat, cepat kaya, cepat berkuasa, cepat sembuh, cepat populer, dan
sebagainya, sering bukan lewat cara yang berorientasi pada proses dan daya
juang. Krisis multidimensi yang memuncak tahun 1998 di Indonesia merupakan
tonggak sejarah penting yang seharusnya diantisipasi, karena jangka panjangnya
akan meluluhlantakkan kualitas hidup masyarakat, termasuk di dalamnya kesehatan
mental.
Saat ini kita sudah mulai menuai dampak
reformasi itu yang ternyata memang pahit. Apalagi, pemangku kekuasaan sebagai
regulator perikehidupan masyarakat mengecewakan, mengempaskan harapan yang
kadung dipasang tinggi. Di situlah kumpulan individu bernama masyarakat
kehilangan harapan yang amat berharga bahwa kehidupan layak diteruskan. Depresi
marak karena kita kehilangan ”sesuatu”: harapan dan kepastian hidup.
Individu atau masyarakat perlu mencapai
aktualisasi, seperti formulasi Abraham Maslow, sehingga kelak mampu memenuhi
dasar-dasar kebutuhan sendiri dan umat manusia. Namun, kualitas hidup yang
semestinya menciptakan masyarakat yang berorientasi pada pencapaian nilai-nilai
kemanusiaan dan peradaban ini kian merosot.
Patut disimak pendapat Karen Horney tentang
depresi bahwa kita tidak akan mengerti masalah depresi tanpa kita memahami
seberapa besar harapan, nilai kehidupan, dan standar yang dipatok oleh individu
dan masyarakat. Harapan yang begitu tinggi agar terjadi perubahan yang lebih
baik—saat retorika reformasi diteriakkan—terempas oleh kenyataan, menyisakan
ketidakberdayaan yang membuncah (overwhelming
hopelessness).
Maka, kita perlu menurunkan ekspektasi agar
mendekati kenyataan, betapapun pahitnya, sambil merestorasi kenyataan yang
sedang tidak legit itu. Belajar merasa bahagia dan mempunyai harapan yang
proporsional akan mengurangi angka perilaku mal-adaptif sebagai dampak dari
depresi.
Mari kita mengembalikan nilai-nilai baik dari
kearifan lokal serta menguatkan akar sosial budaya yang bisa meningkatkan
kohesi sosial dan resiliensi mental di masyarakat sebagai sumber kebahagiaan
otentik yang boleh jadi kita abaikan selama ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar