Keberanian
Pemimpin Tegakkan Hukum
Sholehudin A Aziz ; Dosen Fakultas Syariah dan
Hukum serta
Peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta |
SUARA
KARYA, 17 Oktober 2012
Dalam sebuah obrolan
santai perihal berita terkini terkait penegakan hukum, bersama tukang ojek di
kompleks perumahan tempat tinggal saya, terdapat kesimpulan yang amat
merisaukan hati. Yakni, munculnya apatisme masyarakat terhadap penegakan
hukum.
Kesan apatisme itu
sangat mendalam saya rasakan karena hampir tak ada nada optimisme yang muncul
dalam diskusi itu. Salah seorang kawan berkomentar, "Hukum itu ada,
tetapi hanya untuk rakyat kecil. Sementara bagi orang berduit, pejabat, hukum
itu tidak ada, karena semuanya bisa dibeli dan dimainkan."
Intinya, saat ini
masyarakat benar-benar sudah apatis dan putus asa terhadap upaya penegakan
hukum yang hanya sebatas jargon semata. Kata 'penegakan hukum dan supremasi
hukum' dari para pejabat pemerintahan dan aparat penegak hukum hanya sebatas
lips service semata.
Tafsir supremasi hukum
sejatinya adalah keadilan hukum bagi siapa pun tanpa terkecuali. Tidak ada
perbedaan antara rakyat biasa, pejabat, orang kaya, orang miskin, pengusaha,
politisi, dan lain sebagainya. Hukum akhirnya dijadikan panglima tertinggi,
di mana setiap orang sama kedudukannya di hadapan hukum (equality before the law). Supremasi hukum bukanlah sekedar puisi
yang diciptakan oleh ahli hukum guna menyenangkan hati orang yang membacanya.
Tetapi, telah menjadi salah satu asas hukum terpenting dari sekian banyak
asas hukum universal yang berlaku, dikukuhkan di dalam konstitusi, UUD maupun
di pelbagai peraturan perundang-undangan di negara ini.
Namun, bagaimana
implementasinya? Sungguh, jauh panggang dari api. Hukum ternyata hanya milik
orang-orang tak berdaya, miskin dan rakyat biasa. Sementara bagi kaum kaya,
pejabat dan politisi, hukum masih bisa dipermainkan dengan beragam dalih dan
alasan.
Buktinya? Tak sulit
untuk membuktikannya karena terlalu banyak kasus yang terjadi. Salah satunya
adalah cerita pilu yang menimpa nenek Minah asal Banyumas, Jateng, beberapa
waktu lalu, yang dihukum karena dituduh mencuri tiga biji kakau. Sementara
dalam kasus yang lain, seperti kasus Century Gate, Wisma Atlet, Hambalang dan
kasus-kasus hukum lainnya yang melibatkan kaum elite sepertinya hukum sulit
ditegakkan.
Realitas lainnya
adalah masih banyaknya proses penegakan hukum yang tidak memberikan ruang
pada rakyat untuk mendapatkan keadilan substantif dan cenderung mengedepankan
penyelesaian prosedural yang hakikinya tidak berpihak kepada keadilan.
Apabila hal demikian
dibiarkan terus terjadi maka pelan tapi pasti (slow but sure) akan bisa
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada para pemimpin negeri ini.
Selanjutnya akan menyebabkan tiadanya penghargaan dan penghormatan publik
atas semua upaya penegakan hukum yang ada.
Kegagalan upaya
penegakan hukum yang mengedepankan supremasi hukum ini salah satunya
disebabkan oleh faktor kuatnya tekanan kekuasaaan dan uang. Dua sejoli yang
dipastikan mampu mengobrak-abrik hukum secara semena-mena.
Dengan kekuasaan, di
mana terdapat kekuatan intervensi maka hukum pun bisa diatur sedemikian rupa
sesuai dengan keinginan sang penguasa. Begitu juga dengan kekuatan uang. Uang
bukan segala-galanya, tapi yang pasti, dengan uang hukum bisa dibeli sesuai
dengan kepentingan sang pemiliknya. Akhirnya uang tidak saja menjadi alat
tukar barang, tetapi juga telah mampu mengontrol ruang-ruang hukum dalam
berbagai aspek kehidupan.
Fakta pembedaan perlakuan
di hadapan hukum membuktikan teori para sosiolog bahwa terdapat faktor-faktor
lain di luar hukum, yang ikut mempengaruhi penegakan hukum seperti kekuasaan,
kekayaan, jabatan, relasi (hubungan keluarga), derajat pendidikan, dan
ketokohan seseorang. Dan tentu saja perlakuan istimewa yang diperoleh itu
tidak mungkin bisa diperoleh secara gratis. Pasti, terdapat kompensasi yang
ditawarkan kepada aparat penegak hukum baik berupa uang, tawaran jabatan,
pangkat dan lain sebagainya.
Maka dari itu, jangan kaget
apabila banyak pelanggaran hukum di depan mata kita, namun sangat sedikit
yang mampu dimajukan ke muka pengadilan. Betapa banyak kasus-kasus hukum yang
masuk ke pengadilan namun lolos dari jeratan hukum. Betapa banyak orang yang
dihukum namun hukumannya sangat minimalis. Betapa banyak orang yang menjalani
hukuman namun tak pernah merasakan sengsaranya hidup di penjara.
Itulah realitas atau
potret penegakan hukum di negeri ini. Hukum sebagai norma (das sollen) dengan hukum sebagai
kenyataan (das sein) tampak begitu
kontras. Maka dari itu, melihat realitas di atas, maka dibutuhkan upaya luar
biasa agar penegakan hukum benar-benar dilaksanakan dengan baik, yakni dengan
mengedepankan supremasi hukum.
Upaya luar biasa itu
terletak pada faktor keberanian para pemimpin dan aparat penegak hukum kita.
Harus diakui bahwa saat ini mereka boleh dibilang kurang berani alias takut
dengan senantiasa menerima pertimbangan-pertimbangan politis, tekanan
kekuasaan, dan upaya suap dalam menegakkan supremasi hukum. Akhirnya hukum
pun bisa dibeli dan dipermainkan seenaknya.
Oleh karena itu,
sangat dibutuhkan keberanian dan ketegasan ekstra dalam menegakkan hukum.
Ketakutan untuk dicaci maki dan dimusuhi dengan menciptakan
kebijakan-kebijakan non populis harus dihilangkan. Karena, seluruh rakyat
akan ada di belakang kita.
Maka dari itu, kita
sangat berharap hadirnya pemimpin dan aparat penegak hukum yang berani
berkata, "Yes!" untuk supremasi hukum dan "No" untuk
rekayasa hukum. Karena, hanya demikianlah supremasi hukum bisa ditegakkan
setinggi-tingginya.
Masih ada pemimpin dan
aparat penegak hukum kita yang memiliki keberanian dalam membawa bangsa ini
lebih baik lagi. Inilah waktu terbaik dan tepat bagi para pemimpin dan aparat
penegak hukum kita untuk membuktikan bahwa penegakan hukum menjunjung tinggi
supremasi hukum. Semoga supremasi hukum benar-benar bisa ditegakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar