Kandidat Muda
dan Kekuasaan Patron
Arya Budi ; Peneliti
dan Analis Politik Pol-Tracking Institute
|
KOMPAS,
18 Oktober 2012
Seperti biasa, isu kandidat presiden jadi
lebih awal dan menarik diperbincangkan publik daripada isu pemilu presiden
itu sendiri.
Hasil survei assessment yang dilakukan
Pol-Tracking Institute sepanjang September sampai 3 Oktober 2012 menunjukkan
beberapa figur muda punya kapasitas dan kepantasan sebagai kandidat. Dari 35
figur yang terseleksi melalui meta-analisis dan focus group discussion (FGD),
hasil penilaian oleh 100 pakar dan pembuat opini publik menunjukkan empat
figur dari partai—Joko Widodo (78,6), Pramono Anung (68,0), Budiman
Sudjatmiko (64,0), dan Anis Matta (61,9)— masuk dalam 10 urutan teratas.
Sementara itu, Anies Baswedan (73,2) dan Sri Mulyani Indrawati (70,2) adalah figur
di luar partai yang punya bobot nilai di atas standar ketercukupan 60,0.
Namun, sebagai satu-satunya lembaga politik
yang diberi otoritas dalam kandidasi presiden, partai berada di tengah
ketidakpercayaan publik. Secara internal, partai adalah lembaga politik yang
cenderung tertutup, sentralistik, dan oligarkis.
Terkait hal ini, Richard Gunther dan Larry
Diamond (2003) dalam Species in Political Parties: A New Typology membagi
partai berdasarkan pengalaman partai- partai di dunia selama beberapa dekade ke
dalam 15 spesies (jenis) dari 5 genus (kelompok besar): partai elite; partai
massa; partai etnis; partai elektoral; dan partai pergerakan.
Partai-partai di Indonesia yang tampil
sebagai kekuatan politik hanya masuk dalam dua genus: partai elite dan partai
elektoral. Dari dua genus itu, beberapa partai besar di Indonesia (Demokrat,
Golkar, PDI-P) sebagai refleksi kekuatan politik kepartaian yang mapan punya
karakter atau tipologi saling beririsan di antara tiga jenis partai:
catch-all party, personalistic party, dan clientelistic party.
Irisan dari tiga spesies partai itu
menghasilkan empat karakter khusus partai di Indonesia. Pertama, secara
ideologi, semua partai merapat ke tengah untuk mendapatkan basis massa dari
semua pemilahan sosial yang ada, baik agama, suku, dan tingkat ekonomi.
Kedua, partai dikelola secara personal sehingga struktur organisasi tidak
berpengaruh signifikan karena keanggotaan, pendanaan, dan kaderisasi masuk
melalui jejaring dan selera individual.
Ketiga, loyalitas kader dan anggota tidak
didasarkan pada preferensi ideologi, apalagi platform, karena mereka mendekat
akibat tarikan dari tiga modal yang dimiliki patron. Keempat, partai
dioperasionalisasikan untuk mengakomodasi ambisi pemimpin elite sehingga
keputusan dan kebijakan partai berayun secara oportunis dan bertumpu pada
fluktuasi popularitas figur.
Masih
Buram
Singkat cerita, dalam isu kandidasi
presiden menuju Pilpres 2014, maksimal hanya akan terjadi tetra-polar
kekuatan peta politik secara nasional. Hal ini didasarkan pada banyak kajian
survei dan stabilitas angka elektabilitas di dalamnya.
Golkar sekalipun, di tengah turbulensi
internal, jelas tampil sebagai kekuatan tersendiri. Demokrat dengan
elektabilitas di atas 10 persen juga berpotensi memimpin kekuatan lain. Di
sisi lain, PDI-P digadang jadi anti- tesa penting setelah kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono. Sementara beberapa partai menengah yang cenderung berada
di pusaran 5 persen suara berpotensi pada dua pilihan: bersatu menjadi
kekuatan tersendiri atau berpencar dan merapat ke tiga kutub politik yang
ada.
Sementara itu, dalam wacana publik yang
berkembang, figur yang bakal mampu memenangi panggung pemilu atau bahkan
mengungguli presiden masih sangat buram, berserakan, dan memunculkan banyak
kemungkinan. Di tengah banyak kemungkinan ini, PDI-P punya cadangan kader
muda yang cukup seperti Jokowi (78,6), Pramono Anung (68,0), dan Budiman
Sudjatmiko (64,0) masuk dalam 10 urutan teratas. Kader PKS, Anis Matta
(61,9), kader PPP, Lukman Hakim Saifuddin (61,5), kader Golkar, Priyo Budi
Santoso (61,2), dan kader Demokrat, Anas Urbaningrum (59,9)—masuk pada urutan
ke-9, 11, 12, dan 14—juga mampu merepresentasikan potensi partai di luar
otoritas politik patron partai dan tangan-tangan oligarki di dalamnya.
Namun, partai justru berada di tengah
kegalauan politik. Kegalauan ini terjadi karena partai merefleksikan stagnasi
pengelolaan partai yang hampir sama: pengelolaan partai dalam logika
patron-klien. Artinya, eksistensi patron partai dan kultur politik
clientelistic mengamputasi mekanisme politik dalam kandidasi presiden.
Katakanlah, Megawati bertangan besi karena otoritas penuh yang dimilikinya,
sementara Aburizal Bakrie mempunyai otoritas struktural untuk mencipta
struktur peluang politik bagi siapa pun, termasuk dirinya.
Fenomena
Patron
Menurut Susan Stokes dan Luis Fernando
Media (2002) dalam Clientelism as Political Monopoly, prasyarat jadi seorang
patron di dalam partai sebenarnya sederhana. Tiga hal yang harus dia miliki:
skill, link, dan resource. Namun, pengalaman politik kepartaian di Indonesia
menunjukkan ada dua sumber lain: (1) genetika politik atau keturunan dan (2)
tingkat penerimaan publik atau elektabilitas yang tinggi. Namun, uji
kelayakan figur melalui survei assessment oleh pakar dan pembuat opini publik
menunjukkan Puan Maharani yang punya kemewahan genetika politik di dalam
PDI-P justru hanya menempati peringkat ke-31 dari 35 figur terseleksi dan 13
aspek yang dinilai.
James C Scott (2009) dalam Patron-Client
Politics and Political Change in Southeast Asia menuturkan, sistem pemilu dan
politik elektoral di Asia Tenggara dalam dekade terakhir ini berimplikasi
pada perubahan struktur dan pengaruh relasi patron-klien di tubuh parpol.
Salah satu pengaruh yang tampak adalah munculnya piramida relasi
patron-klien.
Artinya, terjadi tingkatan-tingkatan patron
dari pucuk pimpinan pemegang hak veto keputusan partai sampai tingkatan
patron di level lokal dalam satu alur hierarki. Akhirnya, meski tingkat
kapasitas dan kapabilitas figur muda di atas standar ketercukupan 60,0,
mereka harus dengan susah payah menembus struktur piramida patron-klien,
apalagi figur muda di luar kelembagaan partai.
Namun, di sisi lain, sekalipun struktur
kekuasaan patron mampu mengelola efek destruktif dari faksionalisasi dalam
partai, struktur kekuasaan ini akan jadi bom waktu bagi partai. Karena relasi
patron-klien menciptakan mekanisme kekuasaan sentripetal di dalam partai.
Artinya, patron sebagai ruling elite jadi poros berputarnya klien-elite atau
ruled elite di sekeliling elite. Ketika modal patron terputus/lenyap atau
kedirian patron yang secara insidental hilang, maka elite yang mengitarinya
akan lepas terlempar secara sporadik.
Hal inilah yang menjelaskan turbulensi
internal di dalam Partai Golkar terkait proses kandidasi Aburizal sebagai calon
presiden. Hal ini juga yang menjelaskan stabilitas internal di dalam tubuh
PDI-P karena kuatnya struktur kekuasaan sentripetal yang diputar Megawati
sebagai patron.
Artinya, memperbincangkan kandidasi
presiden hari-hari ini memang penting karena terjadinya proses deliberasi
kandidasi terhadap nama-nama figur baru. Namun, pentingnya perbincangan ini
menjadi sama sekali tidak berguna ketika mekanisme politik yang terjadi di
dalam organisasi partai mengamputasi begitu saja proses deliberasi kandidasi
yang terjadi di dalam diskursus masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar