Petani, UU,
dan Transgenik
Dwi Andreas Santosa ; Ketua
PS S2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB; Salah Satu Penggagas Asosiasi
Bank Benih Tani Indonesia
|
KOMPAS,
18 Oktober 2012
Belakangan ini terdapat 3 peristiwa penting
terkait petani dan pertanian. Pertama, demonstrasi ribuan petani di banyak
kota di Indonesia dalam peringatan Hari Tani Nasional ke-52 pada 24 September
2012. Kedua, pendaftaran uji materi UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman ke Mahkamah Konstitusi pada 27 September 2012 dan ketiga,
kontroversi transgenik.
Hari Tani Nasional selalu diwarnai dengan
demonstrasi, yang melibatkan ribuan petani, tahun ini serentak di 18
provinsi. Tanggal 24 September dipilih bertepatan dengan pengesahan UU No
5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) oleh Presiden
Soekarno. UU ini mengatur pembatasan kepemilikan tanah maksimum bagi
individu/korporasi serta menjamin batas minimum luas tanah bagi petani. UUPA
juga menganut asas nasionalisme sehingga kepemilikan ataupun hak guna usaha
oleh asing dilarang.
Kenyataan yang terjadi berkebalikan dengan
napas UU itu. Pemodal saat ini bisa menguasai puluhan ribu hingga ratusan
ribu hektar. Aset nasional sejumlah 56 persen sebagian besar berupa tanah,
dikuasai hanya oleh 440.000 orang atau 0,2 persen penduduk.
Di sisi lain, penguasaan tanah oleh petani
semakin lama semakin sempit. Saat ini rata-rata keluarga tani di Indonesia
hanya menguasai 0,36 hektar tanah. Bahkan, 49,5 persen petani di Jawa dan
18,7 persen petani di luar Jawa tunatanah.
Gerakan penguasaan lahan oleh pemodal saat
ini tidak hanya fenomena nasional, tetapi sudah mendunia sejak krisis pangan
2007-2008. Hanya dalam waktu tiga tahun (2006-2009) terjadi akuisisi tanah
pertanian 15 juta-20 juta hektar di seluruh dunia dengan nilai 20 miliar-30
miliar dollar AS (The Economist, 21/5/2009). Menurut Direktur Organisasi
Pangan Dunia (FAO) Jacques Diouf, fenomena land grabbing itu adalah bentuk
”kolonialisme baru”, negara miskin memproduksi pangan untuk negara kaya,
sementara rakyatnya kelaparan.
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab 2008-2010
merencanakan akuisisi lahan untuk pangan di Indonesia seluas 600.000 hektar
dengan rencana investasi 5,3 miliar dollar AS (Hangzo and Kuntjoro, 2012).
Demikian pula beberapa perusahaan Korea yang berencana mengakuisisi belasan
ribu hektar lahan di Indonesia ataupun Malaysia yang juga sangat agresif.
Saat ini tercatat sekitar 2 juta hektar (25 persen) luas lahan kelapa sawit
di Indonesia telah dikuasai investor Malaysia.
Revisi
Undang-Undang
Gerakan perjuangan petani yang menuntut
keadilan karena ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya produktif
mengarah juga ke wilayah lain. Tergerusnya kedaulatan petani atas benih
menjadi alasan mengapa gerakan itu terus menguat. Perjuangan kedaulatan
petani atas benih dimulai ketika belasan petani pemulia benih ditangkap pada
tahun 2005. Upaya kriminalisasi itu terjadi hingga kini. Petani pemulia
sangat rentan terkena berbagai pasal yang ironisnya merupakan produk sistem
legislasi kita sendiri.
Salah satu produk hukum yang banyak
digunakan untuk menjerat petani adalah UU No 12/1992 tentang Sistem Budi Daya
Tanaman. Maka, gerakan petani dan masyarakat sipil dalam Farmer Initiatives
for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Indonesian Human Right
Committee for Social Justice (IHCS), Aliansi Petani Indonesia (API), Ikatan
Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), Serikat Petani Indonesia
(SPI), Bina Desa, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Serikat
Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria
(AGRA) yang mewakili lebih dari 10 juta petani menuntut penghapusan beberapa
pasal dalam UU Sistem Budi Daya Tanaman.
Gerakan petani juga menuntut pemerintah
merevisi semua undang-undang dan peraturan di bawahnya yang berpotensi
melarang petani membuat, menyimpan, mengedarkan, dan memasarkan benih,
mengubahnya menjadi melindungi petani kecil dalam memuliakan tanaman serta
menghapus ketergantungan petani terhadap benih impor. Ribuan petani juga
bergabung untuk mengatasi kondisi yang mematikan kreativitas dan hak petani
atas benih melalui Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI).
Pada saat yang sama, media memunculkan
kontroversi transgenik yang memuat dua isu besar, yaitu tentang keamanan
pangan dan penguasaan benih oleh korporasi. Introduksi transgenik terkait
”kecemasan” pemerintah menghadapi situasi pangan Indonesia yang terus impor
sehingga muncul program ambisius untuk swasembada beras, jagung, kedelai,
gula dan daging sapi pada tahun 2014.
Sebagian kalangan meyakini tanaman
transgenik mampu meningkatkan produksi dan membebaskan Indonesia dari
impor jagung dan kedelai. Mereka tidak mengerti bahwa tanaman transgenik
komersial yang ada saat ini tidak dikemas untuk meningkatkan potensi produksi
tanaman. Pada tanaman transgenik, potensi produksi
sama atau bahkan sedikit lebih rendah dari induknya yang bukan
transgenik. Keunggulannya adalah tahan hama tertentu dan atau tahan
herbisida.
Potensi
Besar
Potensi pasar benih tanaman transgenik di
Indonesia sangat menggiurkan bagi korporasi multinasional, yakni Rp 14,6
triliun untuk jagung transgenik dan Rp 7,6 triliun untuk kedelai transgenik.
Karena itu, tanaman transgenik perlu ditempatkan dalam ranah yang
sesungguhnya, yaitu upaya korporasi asing mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Sekali lagi, bukan misi untuk peningkatan produksi pangan
Indonesia. Bila berdasarkan pertimbangan ekonomi kurang menguntungkan,
perusahaan bersangkutan akan menarik diri dari Indonesia, seperti kasus kapas
transgenik pada 2001-2003.
Upaya peningkatan produksi pangan harus
masuk ranah produsen pangan. Dukungan terhadap gerakan untuk meningkatkan hak
dan kedaulatan petani akan menjadi lokomotif yang membawa gerbong
produksi pangan melaju ke depan.
Beberapa contoh gerakan petani kecil dan
pengembangan kapasitas lokal bisa dilihat di India, beberapa negara Amerika
Latin dan bahkan di Kamboja. Di Indonesia, dukungan terhadap kedaulatan dan
kreativitas petani atas benih juga akan memberikan dampak signifikan terhadap
produksi pangan nasional.
Sebagai contoh, benih jagung karya petani
anggota AB2TI berpotensi produksi sama atau lebih baik dibanding jagung
transgenik NK603 dan MON89034. Demikian juga beberapa petani berhasil
mengembangkan kedelai dengan potensi produksi mendekati 3 ton per hektar,
lebih tinggi dibanding kedelai transgenik komersial. Upaya sebaliknya, yang
membuat petani harus berjuang sendiri karena terdegradasi kedaulatannya—lewat
benturan kepentingan petani dengan korporasi— terbukti telah mengubah kita
menjadi importir besar pangan saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar