Rabu, 10 Oktober 2012

Jerat Skizofrenia Politikus Senayan


Jerat Skizofrenia Politikus Senayan
Toto Suparto ;  Pengkaji Masalah Etika
SUARA MERDEKA, 10 Oktober 2012



TERKAIT dengan peringatan Hari Kesehatan Jiwa tiap tanggal 10 Oktober, perhatian publik tercurah pada gejala gangguan jiwa yang melanda sebagian masyarakat di negeri ini. Tidak pandang bulu, dari kelas jelata hingga elite penguasa, masing-masing punya potensi gangguan jiwa, dan salah satunya adalah skizofrenia.

Disiplin ilmu kejiwaan mengelaskan skizofrenia dalam jenis gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang bisa memengaruhi fungsi otak manusia, memengaruhi fungsi normal kognitif, emosional, dan tingkah laku. Cirinya antara lain hilangnya perasaan afektif atau respons emosional, dan ada kecenderungan menarik diri dari hubungan antarpribadi secara normal.

Dalam beberapa kasus, gejala kejiwaan itu sering diikuti keyakinan yang salah (delusi) dan punya persepsi tanpa ada rangsangan pancaindera (halusinasi). Tokoh ilmu kedokteran Emil Kraepelin (1919) malah menegaskan pada kasus skizofrenia ada kecenderungan kemenumpulan alam perasaan (emotional dullness).

Target KPK

Melihat ciri-ciri tersebut, layak bila kita menelisik perilaku sebagian besar politikus di negeri ini. Rasa-rasanya beberapa ciri itu melekat pada mereka. Jika mengerucutkan pada tipe, kian terlihat skizofrenia mendera mereka. Skizofrenia paranoid misalnya, membuat seseorang gampang curiga, cenderung ingin bermusuhan, dan garang.

Secara mudah kita bisa melihat bukti politikus kita gampang curiga, yang antara lain tercermin dari keinginan mereka merevisi UU tentang KPK. Mereka didera rasa curiga jangan-jangan menjadi target komisi antikorupsi itu, karena itu lahirlah kor untuk melemahkan lembaga antikorupsi itu. Bahkan berbuntut kesan ada rasa permusuhan.     

Derivat yang lain adalah skizofrenia hebefrenik, yakni berperilaku seperti anak kecil, senang merengek-rengek, dan terus-menerus meminta. Bukankah sebagian politikus Senayan berkarakter seperti itu? Mereka gemar meminta-minta, dari studi banding yang tidak penting sampai fee atas pembahasan anggaran tertentu.

Lantas, bagaimana dengan kemenumpulan alam perasaan ala Kraepelin? Mudah saja melihatnya, politikus kita tidak lagi peka terhadap aspirasi rakyat. Mereka lebih peka pada kepentingan diri atau kelompok. Mereka memosisikan rakyat "habis manis sepah dibuang". Rakyat menjadi tak lagi penting. Baru menjelang Pemilu 2014 rakyat kembali penting untuk dirangkul.

Skizofrenia juga bisa dilihat dari kajian postmodernism. Fredric Jameson menulis esai "Postmodernism an Consume Society" yang menyoroti gejala itu. Menurut dia, skizofrenik menjadi sosok tanpa identitas dan enggan berbuat apa-apa. Gejala ini timbul dari ciri kekacauan bahasanya. Jelas, politikus skizofrenik tak akan berbuat apa-apa. Apa jadinya bila politikus kita tidak berbuat apa-apa? Ini sejalan dengan "tumpulnya alam perasaan" ala Kraepelin: pengabaian rakyat.
Wakil rakyat skizofrenik bukan lagi mengabadikan diri, apalagi mengabdikan diri, melainkan lebih memanjakan diri. Mereka sungguh mengabaikan peringatan Aristoteles bahwa aktif dalam berpolitik menjadi baik sejauh tidak diperbudak proses biologis. Justru yang terjadi adalah "perbudakan biologis".

Perbudakan biologis itu menempatkan kesenangan tubuh lebih baik ketimbang kesenangan jiwa. Mereka memanjakan tubuh dengan materi sehingga menimbulkan kesan bahwa urusan perut adalah segalanya. Ketika politikus diperbudak proses biologis, aktivitas politik menjadi mata pencaharian. Untung rugi dan kepentingan pribadi menjadi tolok ukur. Mereka berpendapat, adalah politikus tolol jika tak mendapat keuntungan duniawi.

Sejalan dengan pemikiran itu maka celaka jika legislatif dianggap melulu sebagai pekerjaan dan urusan banyak orang menjadi terabaikan. Sejatinya politik bukan kendaraan untuk meningkatkan kesejahteraan melainkan guna mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam politik, yaitu kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas.

Bolehlah mereka beranggapan bukan zamannya politikus tak memikirkan urusan perut. Tapi alangkah bagusnya jika anggapan itu ditempatkan secara proporsional. Artinya, urusan rakyat juga diperhatikan. Ada perimbangan saat menikmati fasilitas negara dan seberapa besar kontribusi yang mereka berikan bagi kesejahteraan rakyat. Asas proporsional inilah yang belum ditunjukkan oleh anggota DPR sehingga terus-menerus dihujat rakyat.

Alami Alienasi

Derivatif skizofrenia adalah sinyalemen seorang guru besar psikologi bahwa DPR periode 2009-2014 mengalami alienasi dengan rakyat yang mereka wakili.
Ini sungguh sindrom yang sangat mengkhawatirkan. Guru besar itu tentu tidak gegabah memilih kata alienasi. Barangkali ia menggunakan pengertian alienasi sebagai "bersikap tidak peduli atau tidak bersahabat".
Rasanya pengertian yang pas, bukankah sudah banyak bukti bahwa anggota DPR bersikap tidak peduli kepada rakyat? Bukti itu adalah hasrat rumah aspirasi, rencana renovasi rumah dinas, studi banding, kasus Banggar, dan gedung baru DPR.

Namun alienasi itu bisa digali lebih dalam dari sekadar "bersikap tidak peduli". Dari penggalian itu muncullah perasaan sangat mengkhawatirkan. Mengapa? Ternyata kalau dilacak latar belakang linguistik (lihat misalnya Alienation, Richard Schacht: 1970), alienasi itu merupakan gangguan mental.

Jadi, semakin banyak makhluk alien, kian tinggi gangguan mental di sana. Lalu, apa jadinya jika wakil rakyat terhormat tengah dibekap gangguan mental secara kolektif? Apa jadinya jika negeri ini dipadati politikus skizofrenik? Wajar jika negeri ini pun dilanda karut-marut, dan hal ini tak boleh didiamkan. 

Kita yang menentukan, jangan lagi memilih politikus skizofrenik. Jangan lagi kita tergoda ragam rayuan karena kita pula yang menanggung akibatnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar