Melempangkan
Jalan ke RI-1
Tjipto Subadi ; Dosen
Prodi Pendidikan Geografi FKIP dan Pascasarjana
Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS)
|
SUARA
MERDEKA, 10 Oktober 2012
KEMUNCULAN Jokowi menjadi
pemenang putaran pertama Pilgub DKI Jakarta lebih disebabkan oleh ''ambisi''
para cagub lainnya, terutama Hidayat Nurwahid dan Fauzi Bowo (Foke). Sejak awal
PKS ingin menjadi pendamping Foke, dengan menyodorkan nama Bang Sani. Namun
tiba-tiba karena tekanan politik yang sangat kuat dari DPP Partai Demokrat
(PD), Foke akhirnya menerima Nachrowi Ramli (Ketua DPD PD DKI) sebagai cawagub,
padahal Foke salah satu anggota dewan pembina partai itu.
Inilah kesalahan strategi paling fatal karena dua tokoh Partai Demokrat menjadi cagub- cawagub dalam satu paket. Padahal citra partai itu lagi terpuruk akibat pemberitaan yang gencar terkait kasus dugaan korupsi pada proyek Hambalang dan wisma atlet SEA Games XXVI yang melibatkan elite partai.
Kesalahan berikutnya ada pada elite politik PKS. Karena merasa ''dikhianati'' Foke dengan tokohnya tak menjadi pendamping maka partai itu menunjuk seniornya, mantan Ketua MPR Hidayat Nurwahid, untuk mengalahkan Foke. Tidaklah mengherankan jika pada putaran pertama keduanya saling serang dan membeberkan kelemahan. Di tengah perang tersebut, Jokowi menghimpun kekuatan hingga bisa memenangi putaran pertama.
Seandainya PKS sedikit mengalah dengan tak memiliki cagub, lalu all out mendukung Foke-Nara, dapat dipastikan duet itu memenangi putaran pertama, bahkan bisa jadi pilkada itu hanya satu putaran. Terbukti suara Hidayat-Didik bisa mencapai 11 persen. Padahal biasanya pemenang putaran pertama diprediksi memenangi putaran kedua.
Capres Alternatif
Namun kemenangan Jokowi tidak membawa berkah bagi koalisi PDIP-Gerindra yang mengusung Jokowi-Ahok tapi justru musibah. Sebagai partai besar, PDIP merasa ditunggangi Gerindra yang kecil sehingga para eilte PDIP bertekad kembali meninjau koalisi tersebut, dan menyatakan tidak akan membangun koalisi permanen.
Inilah kesalahan strategi paling fatal karena dua tokoh Partai Demokrat menjadi cagub- cawagub dalam satu paket. Padahal citra partai itu lagi terpuruk akibat pemberitaan yang gencar terkait kasus dugaan korupsi pada proyek Hambalang dan wisma atlet SEA Games XXVI yang melibatkan elite partai.
Kesalahan berikutnya ada pada elite politik PKS. Karena merasa ''dikhianati'' Foke dengan tokohnya tak menjadi pendamping maka partai itu menunjuk seniornya, mantan Ketua MPR Hidayat Nurwahid, untuk mengalahkan Foke. Tidaklah mengherankan jika pada putaran pertama keduanya saling serang dan membeberkan kelemahan. Di tengah perang tersebut, Jokowi menghimpun kekuatan hingga bisa memenangi putaran pertama.
Seandainya PKS sedikit mengalah dengan tak memiliki cagub, lalu all out mendukung Foke-Nara, dapat dipastikan duet itu memenangi putaran pertama, bahkan bisa jadi pilkada itu hanya satu putaran. Terbukti suara Hidayat-Didik bisa mencapai 11 persen. Padahal biasanya pemenang putaran pertama diprediksi memenangi putaran kedua.
Capres Alternatif
Namun kemenangan Jokowi tidak membawa berkah bagi koalisi PDIP-Gerindra yang mengusung Jokowi-Ahok tapi justru musibah. Sebagai partai besar, PDIP merasa ditunggangi Gerindra yang kecil sehingga para eilte PDIP bertekad kembali meninjau koalisi tersebut, dan menyatakan tidak akan membangun koalisi permanen.
Keterpilihan Jokowi di Ibu
Kota menguatkan peluang Gerindra, bahkan melambungkan nama Prabowo Subianto,
ketua dewan pembina partai tersebut, sebagai capres 2014. Nama Prabowo makin
berkibar karena masyarakat, tak hanya di DKI, berpandangan konstribusi Prabowo
sangat besar demi kemenangan Jokowi. Terutama lewat iklan di televisi yang
didanai adiknya, Hasjim Djojohadikusumo.
Padahal peran Megawati untuk kemenangan Jokowi, tidaklah kecil. Inilah yang menyebabkan elite PDIP, seperti Taufiq Kiemas dan Megawati menyatakan akan me-ninjau kembali koalisinya dengan Gerindra. Bahkan Mega menyatakan partainya akan mengusung capres alternatif setelah melihat keberhasilan Jokowi.
Bagi Megawati tidaklah masalah mengusung capres dari golongan tua atau muda, yang penting memiliki karakter dan kepemimpinan baik. Sudah jelas, capres alternatif itu bukanlah Prabowo. Mustahil dalam Pilpres 2014 PDIP mengusung Prabowo sebagai capres, dan jago dari PDIP sebagai cawapres.
Memang ada pengecualiannya, yaitu bila perolehan suara Gerinda dalam Pileg 2014 mengungguli PDIP, walaupun itu tampaknya sebuah keajaiban. Terlebih pimpinan partai banteng aktif turun ke konstituen akar rumput guna mengonsolidasikan kader dan simpatisan demi menjaring sebanyak-banyaknya suara pada Pemilu 2014.
Menuju Istana
Sebenarnya juga tidak 100 persen tepat pendapat yang mengatakan Prabowo telah menunggangi PDIP lewat kemenangan Jokowi, sehingga kansnya menjadi capres menguat. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu Jokowi menunggangi popularitas Prabowo sehingga kans menuju Istana makin terbuka lebar. Dengan tingkat popularitas, kepemimpinan, elektabilitas, akseptabilitas, dan integritas tinggi plus dukungan cukup dana, seandainya pilpres dilaksanakan sekarang dan Jokowi maju, saya berani memprediksi dia bisa membuat kejutan spektakuler dengan memenangi kursi RI-1.
Sebagaimana SBY tahun 2004, dengan Partai Demokrat yang baru sekali ikut pemilu dan pilpres, SBY bisa memenangi pilpres. Padahal waktu itu Demokrat masih partai kecil dan berusia seumur jagung, sementara saat sekarang PDIP adalah partai besar, pernah memerintah, pemenang Pemilu 1999, dan para elitenya sangat berpengalaman dalam percaturan politik nasional.
Prabowo khawatir kepopuleran Jokowi bisa merugikan dirinya pada Pilpres 2014 jika PDIP mengusung Jokowi sebagai capres. Namun Prabowo baru menyadarinya setelah Jokowi memenangi putaran pertama Pilgub DKI. Semua sudah terlambat, dan kita hanya bisa mengingat ketika pada kampanye putaran pertama, Prabowo habis-habisan mengampanyekan Jokowi, baik lewat media cetak maupun elektronik, bahkan langsung menyapa konstituen dan menyanjung Jokowi sebagai calon wali kota terbaik di dunia.
Namun setelah kampanye putaran kedua, dengan dalih melawat ke luar negeri atau berkunjung ke berbagai daerah untuk konsolidasi, Prabowo sama sekali tidak mengampanyekan Jokowi. Materi kampanye Prabowo di televisi pada putaran kedua jauh hari sebelumnya sudah dibuat sehingga tinggal menayangkan dengan biaya mayoritas dari Hasjim. Saat itu sesungguhnya Prabowo mulai khawatir terhadap Jokowi, sebab bisa menjadi saingan berat menuju Istana.
Padahal peran Megawati untuk kemenangan Jokowi, tidaklah kecil. Inilah yang menyebabkan elite PDIP, seperti Taufiq Kiemas dan Megawati menyatakan akan me-ninjau kembali koalisinya dengan Gerindra. Bahkan Mega menyatakan partainya akan mengusung capres alternatif setelah melihat keberhasilan Jokowi.
Bagi Megawati tidaklah masalah mengusung capres dari golongan tua atau muda, yang penting memiliki karakter dan kepemimpinan baik. Sudah jelas, capres alternatif itu bukanlah Prabowo. Mustahil dalam Pilpres 2014 PDIP mengusung Prabowo sebagai capres, dan jago dari PDIP sebagai cawapres.
Memang ada pengecualiannya, yaitu bila perolehan suara Gerinda dalam Pileg 2014 mengungguli PDIP, walaupun itu tampaknya sebuah keajaiban. Terlebih pimpinan partai banteng aktif turun ke konstituen akar rumput guna mengonsolidasikan kader dan simpatisan demi menjaring sebanyak-banyaknya suara pada Pemilu 2014.
Menuju Istana
Sebenarnya juga tidak 100 persen tepat pendapat yang mengatakan Prabowo telah menunggangi PDIP lewat kemenangan Jokowi, sehingga kansnya menjadi capres menguat. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu Jokowi menunggangi popularitas Prabowo sehingga kans menuju Istana makin terbuka lebar. Dengan tingkat popularitas, kepemimpinan, elektabilitas, akseptabilitas, dan integritas tinggi plus dukungan cukup dana, seandainya pilpres dilaksanakan sekarang dan Jokowi maju, saya berani memprediksi dia bisa membuat kejutan spektakuler dengan memenangi kursi RI-1.
Sebagaimana SBY tahun 2004, dengan Partai Demokrat yang baru sekali ikut pemilu dan pilpres, SBY bisa memenangi pilpres. Padahal waktu itu Demokrat masih partai kecil dan berusia seumur jagung, sementara saat sekarang PDIP adalah partai besar, pernah memerintah, pemenang Pemilu 1999, dan para elitenya sangat berpengalaman dalam percaturan politik nasional.
Prabowo khawatir kepopuleran Jokowi bisa merugikan dirinya pada Pilpres 2014 jika PDIP mengusung Jokowi sebagai capres. Namun Prabowo baru menyadarinya setelah Jokowi memenangi putaran pertama Pilgub DKI. Semua sudah terlambat, dan kita hanya bisa mengingat ketika pada kampanye putaran pertama, Prabowo habis-habisan mengampanyekan Jokowi, baik lewat media cetak maupun elektronik, bahkan langsung menyapa konstituen dan menyanjung Jokowi sebagai calon wali kota terbaik di dunia.
Namun setelah kampanye putaran kedua, dengan dalih melawat ke luar negeri atau berkunjung ke berbagai daerah untuk konsolidasi, Prabowo sama sekali tidak mengampanyekan Jokowi. Materi kampanye Prabowo di televisi pada putaran kedua jauh hari sebelumnya sudah dibuat sehingga tinggal menayangkan dengan biaya mayoritas dari Hasjim. Saat itu sesungguhnya Prabowo mulai khawatir terhadap Jokowi, sebab bisa menjadi saingan berat menuju Istana.
Karena itulah tidaklah
mengherankan pascakemenangan Jokowi, PDIP langsung melakukan serangan mematikan
terhadap Gerindra, sebaliknya, Gerinda tak mau kalah, melakukan hal sama. Hal
ini menunjukkan kedua kubu memiliki agenda tersembunyi karena sama-sama ingin
menuju ke Istana. Peluang Jokowi lebih besar ketimbang Prabowo mengingat
salah satu persyaratan untuk menjadi capres nantinya diprediksi minimal
didukung 20 persen, bahkan bisa jadi 25 persen jumlah kursi di parlemen.
Bagi PDIP yang saat ini merupakan partai besar tidaklah sulit sebab bisa berkoalisi dengan partai lain yang memiliki visi dan misi sama. Adapun untuk Gerinda rasanya sangatlah berat kalau tidak dikatakan mustahil, sebab saat ini termasuk partai kecil, belum menjadi partai menegah, apalagi besar. Rasionalitasnya, mustahil menampilkan Prabowo sebagai kandidat presiden pada Pilpres 2014 kecuali untuk kursi RI-2.
Pertanyaannya, apakah nanti Jokowi tergiur dicalonkan menjadi capres sehingga kursi di DKI dilimpahkan kepada Ahok ? Apakah Jokowi tak khawatir dituduh tidak amanah, bahkan tinggal glanggang colong playu demi ambisi menggapai RI-1? ●
Bagi PDIP yang saat ini merupakan partai besar tidaklah sulit sebab bisa berkoalisi dengan partai lain yang memiliki visi dan misi sama. Adapun untuk Gerinda rasanya sangatlah berat kalau tidak dikatakan mustahil, sebab saat ini termasuk partai kecil, belum menjadi partai menegah, apalagi besar. Rasionalitasnya, mustahil menampilkan Prabowo sebagai kandidat presiden pada Pilpres 2014 kecuali untuk kursi RI-2.
Pertanyaannya, apakah nanti Jokowi tergiur dicalonkan menjadi capres sehingga kursi di DKI dilimpahkan kepada Ahok ? Apakah Jokowi tak khawatir dituduh tidak amanah, bahkan tinggal glanggang colong playu demi ambisi menggapai RI-1? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar