Hendak ke Mana
Sistem Pertahanan Kita?
Connie Rakahundini Bakrie ; Pengajar
di Universitas Indonesia dan Universitas Nasional; Institute of Defense and
Security Studies
|
SINDO,
05 Oktober 2012
Kebijakan pertahanan bertujuan untuk menjaga keutuhan keselamatan
segenap bangsa dari ancaman adalah dasar utama untuk menyusun perencanaan
perumusan konsepsi, strategi, postur kekuatan dan program pembangunan kekuatan
pertahanan, serta lahirnya landasan hukum untuk mewujudkan program yang
ditetapkan.
Ancaman terhadap negara harus dicermati melalui perubahan regional
dan internasional yang memengaruhi terjadi perubahan sifat dan bentuk ancaman.
Maka itu, intensitas dan sifat dari ancaman yang dipersepsikan harus mampu
memengaruhi strategi pembangunan pertahanan negara yang ujungnya terkait
kualitas dan kuantitas postur TNI. Kondisi geopolitik dan geostrategi sedang
mengalami perubahan besar.
Nilai relatif strategi geopolitik yang mencakup rute udara, darat, dan laut sedang berubah secara substansial dan blok kekuatan heartland power sedang bergeser pada maritime power. Maritime power menjadi semakin berperan mengingat kandungan segenap sumber daya alam (SDA) yang dimiliki laut dan isinya.Ini menjadikan kawasan yang mencakup sisi Samudra Pasifik dan Hindia kembali dilirik.
Di sisi “heartland”, kekuatan Rusia dan China merupakan kekuatan GDP yang mencakup nilai USD159 triliun dan penduduk yang mencapai angka 15 miliar. “The arc of instability” kawasan jelas menjadi berbeda dengan lahirnya kekuatan militer China yang disambut dengan ketegasan AS untuk kembali berporos ke Asia Pasifik dengan menekankan pada penggelaran kekuatan maritim dan dirgantara AS ke kawasan dalam delapan tahun mendatang (2020).
Strategi AS ini erat kaitannya dengan pengembangan militer China dalam ‘’Strategi Dua Samudra’’ yang akan tergelar pada 2020 dan 2050 serta ancaman sengketa maritim Laut Cina Selatan dan Timur yang diproyeksikan AS ke depan, selain sebagai strategi AS akan pencapaian “freedom of navigation, active engagement policy,” dan memperluas zona kedalaman pertahanannya.
Kekuatan militer China yang diarahkan pada “core interest” mencakup kesejahteraan zona litoral, ekonomi, dan nilai kebanggaan hegemonik sangatlah terkait erat dengan keamanan SLOC (sea lanes of communications) dan chokepoints yang selama ini keberadaannya menjadi sebuah link yang hilang dari isu stabilitas regional. Karena itu, China meningkatkan terus anggaran pertahanannya.
Pada 2000– 2010 China telah membangun kekuatan off shore defence dengan berkonsentrasi pada off shore combatant dan brown water navy. Pada 2010–2020 China mencanangkan off shore operation sepanjang 1st Island Chain dan pembangunan green water navy dengan pengembangan kapal besar permukaan, kapal selam nuklir, dan pesawat tempur untuk kapal induknya.
Pada 2020–2050 China akan melakukan finalisasi program pesawat tempur dan pembangunan kekuatan blue water navy yang mampu beroperasi di dua high seas. Posisi geografis berikut nilai SLOCs serta chokepoints seharusnya mampu menetapkan peta jalan Indonesia menuju keamanan samudra dan dirgantara yang jauh lebih utuh dan komprehensif.
Perkembangan situasi keamanan kawasan ini menuntut Indonesia untuk mampu berpikir cepat, kreatif, dan mengetahui dengan jelas akan arah tujuan dalam merumuskan strategi pertahanan maritim dan udaranya. Artinya, mampu mengukur dengan jernih kemampuan yang sudah dan akan dimiliki berbanding apa yang harus dicapai dengan jujur.
Sesungguhnya,dengan cara kita yang salah dalam memetakan ancaman pada konstelasi politik keamanan kawasan, kekuatan pertahanan Indonesia saat ini tidak mencapai minimum essential forces (MEF-), jangankan lagi mencapai maximum essential forces (MEF+) sesuai dengan tuntutan SSR 1998 (reformasi sektor keamanan) yang bertujuan memprofesionalkan TNI.
Jika benar-benar mau jujur,kekuatan pertahanan yang ada bagi terwujudnya kedaulatan dan kepentingan nasional akan samudra, dirgantara, dan belantara NKRI,jika berbanding kekuatan kawasan, sesungguhnya baru mencapai kekuatan SHY- ness (Oxford Dictionary ; the quality or state of being shy).
Mengapa? Ditinjau dari aspek output kebijakan,kebijakan pertahanan yang ada hari ini tidak dibuat melalui proses panjang dan dibahas oleh ratusan pakar dari berbagai lintas disiplin ilmu dan militer terpilih dan tidak dilakukan secara komprehensif serta terintegrasi seperti pada perumusan kebijakan pertahanan di periode Orde Baru.
Karena itu, kebijakan pertahanan yang ada belum juga mampu melahirkan doktrin pembinaan pertahanan keamanan nasional yang dilampiri dengan doktrin pembinaan pertahanan darat,maritim,dan udara nasional, serta konsep operasi pertahanan keamanan nasional. Itu juga sebabnya wilayah maritim kita hari ini “dikuasai” oleh 13 departemen dan badan negara yang saling tumpang tindih dalam tugasnya dan melahirkan jurang besar dalam konsistensi dan sistem koordinasi tugas serta faktor hukum yang melandasinya.
Jakarta, tidak seperti Beijing dan Washington, belum terlihat mengangkat isu penting keamanan regional terkait keseluruhan keamanan SLOCs dan chokepoints serta wilayah maritim Asia Tenggara, Samudra Hindia dan Pasifik, dan ancaman yang akan datang dari “far beyond Indonesia’’.
Arah kebijakan pertahanan Indonesia belum melihat akan percikan ancaman dari berseterunya Strategi Dua Samudra China terhadap tumbuhnya basis strategis pangkalan AS di Darwin dan khususnya Guam yang pada 2014 akan menjadi pusat perpindahan USMC dari Okinawa.
Dengan USD10,3 miliar, pangkalan AU dan AL Guam menjadi terbesar di kawasan Pasifik Barat sebagaimana pernyataan Robert Gates (2008) bahwa Guam ditargetkan menjadi investasi militer AS paling signifikan dalam sistem kontrol dan pertahanan masa depan peperangan laut dan udara AS (JAOCs), dengan bungker bawah tanah (JDAM storage) dan kemampuan BMD (Ballistic Missile Defense).
Jakarta juga lalai memperhatikan busur ancaman kerja sama maritim regional yang akan melampaui selatselat strategis Indonesia selain selat Tsushima, Tsugaru, Osumi, dan Soya (La Perouse) di perairan Asia Timur dengan dua poros ‘mini cooperation literal” antara JAUS (Japan–Australia–US) dan JIUS (Japan–India–US) bagi terwujudnya kerja sama maritim multilateral untuk terwujudnya keamanan SLOCs, di mana SLOCs tidak dilihat berakhir di wilayah tunggal, tetapi sebagai Broad SLOCs yang mencakup Samudra Hindia, Asia Pasifik, Pasifik Selatan (Oceania), dan usulan akan “Expanded Asia” yang mengintegrasikan Asia Timur dan Selatan di antara dua samudra tersebut sebagai penghubungnya.
JAUS dan JIUS segera akan meninggalkan Indonesia dalam kebingungan menempatkan dirinya dalam pembangunan kekuatan maritim dan dirgantara jika tidak segera meningkatkan kesepadanan kemampuan kekuatan yang diperlukannya kelak dalam kolaborasi maritim dan keamanan Broad SLOCs yang akan diwujudkan.
Perumusan tujuan kebijakan pertahanan sesungguhnya dipengaruhi oleh empat faktor yaitu; pertama, Presiden, sebagai kepala negara, panglima tertinggi angkatan perang, dan aktor utama pembuat kebijakan luar negeri. Kedua, badan legislatif. Ketiga, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (NSC) sebagai penasihat Presiden, dan terakhir adalah kondisi lingkungan regional dan internasional.
Kebijakan pertahanan negara mempunyai tujuan menjaga keutuhan wilayah, menjamin kedaulatan serta keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman, tetapi kebijakan tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan Presiden atau penguasa dan kepentingan politik yang berkembang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Panglima Tertinggi TNI terlihat jelas mengalami kesulitan dalam menentukan kebijakan dalam upaya terwujudnya pertahanan keamanan negara karena selain telah terjadi inkonsistensi kebijakan yang telah ditetapkan dalam UU, arah pembangunan kekuatan pertahanan negara juga jelas tidak mampu disinkronisasikan dengan arah kebijakan politik luar negeri yang sesuai dengan perkembangan politik dan keamanan kawasan.
Selamat Ulang Tahun TNI, semoga Presiden dan elite politik dapat segera memetakan arah pembangunan dan kedigdayaanmu dalam sistem pertahanan ke depan! ●
Nilai relatif strategi geopolitik yang mencakup rute udara, darat, dan laut sedang berubah secara substansial dan blok kekuatan heartland power sedang bergeser pada maritime power. Maritime power menjadi semakin berperan mengingat kandungan segenap sumber daya alam (SDA) yang dimiliki laut dan isinya.Ini menjadikan kawasan yang mencakup sisi Samudra Pasifik dan Hindia kembali dilirik.
Di sisi “heartland”, kekuatan Rusia dan China merupakan kekuatan GDP yang mencakup nilai USD159 triliun dan penduduk yang mencapai angka 15 miliar. “The arc of instability” kawasan jelas menjadi berbeda dengan lahirnya kekuatan militer China yang disambut dengan ketegasan AS untuk kembali berporos ke Asia Pasifik dengan menekankan pada penggelaran kekuatan maritim dan dirgantara AS ke kawasan dalam delapan tahun mendatang (2020).
Strategi AS ini erat kaitannya dengan pengembangan militer China dalam ‘’Strategi Dua Samudra’’ yang akan tergelar pada 2020 dan 2050 serta ancaman sengketa maritim Laut Cina Selatan dan Timur yang diproyeksikan AS ke depan, selain sebagai strategi AS akan pencapaian “freedom of navigation, active engagement policy,” dan memperluas zona kedalaman pertahanannya.
Kekuatan militer China yang diarahkan pada “core interest” mencakup kesejahteraan zona litoral, ekonomi, dan nilai kebanggaan hegemonik sangatlah terkait erat dengan keamanan SLOC (sea lanes of communications) dan chokepoints yang selama ini keberadaannya menjadi sebuah link yang hilang dari isu stabilitas regional. Karena itu, China meningkatkan terus anggaran pertahanannya.
Pada 2000– 2010 China telah membangun kekuatan off shore defence dengan berkonsentrasi pada off shore combatant dan brown water navy. Pada 2010–2020 China mencanangkan off shore operation sepanjang 1st Island Chain dan pembangunan green water navy dengan pengembangan kapal besar permukaan, kapal selam nuklir, dan pesawat tempur untuk kapal induknya.
Pada 2020–2050 China akan melakukan finalisasi program pesawat tempur dan pembangunan kekuatan blue water navy yang mampu beroperasi di dua high seas. Posisi geografis berikut nilai SLOCs serta chokepoints seharusnya mampu menetapkan peta jalan Indonesia menuju keamanan samudra dan dirgantara yang jauh lebih utuh dan komprehensif.
Perkembangan situasi keamanan kawasan ini menuntut Indonesia untuk mampu berpikir cepat, kreatif, dan mengetahui dengan jelas akan arah tujuan dalam merumuskan strategi pertahanan maritim dan udaranya. Artinya, mampu mengukur dengan jernih kemampuan yang sudah dan akan dimiliki berbanding apa yang harus dicapai dengan jujur.
Sesungguhnya,dengan cara kita yang salah dalam memetakan ancaman pada konstelasi politik keamanan kawasan, kekuatan pertahanan Indonesia saat ini tidak mencapai minimum essential forces (MEF-), jangankan lagi mencapai maximum essential forces (MEF+) sesuai dengan tuntutan SSR 1998 (reformasi sektor keamanan) yang bertujuan memprofesionalkan TNI.
Jika benar-benar mau jujur,kekuatan pertahanan yang ada bagi terwujudnya kedaulatan dan kepentingan nasional akan samudra, dirgantara, dan belantara NKRI,jika berbanding kekuatan kawasan, sesungguhnya baru mencapai kekuatan SHY- ness (Oxford Dictionary ; the quality or state of being shy).
Mengapa? Ditinjau dari aspek output kebijakan,kebijakan pertahanan yang ada hari ini tidak dibuat melalui proses panjang dan dibahas oleh ratusan pakar dari berbagai lintas disiplin ilmu dan militer terpilih dan tidak dilakukan secara komprehensif serta terintegrasi seperti pada perumusan kebijakan pertahanan di periode Orde Baru.
Karena itu, kebijakan pertahanan yang ada belum juga mampu melahirkan doktrin pembinaan pertahanan keamanan nasional yang dilampiri dengan doktrin pembinaan pertahanan darat,maritim,dan udara nasional, serta konsep operasi pertahanan keamanan nasional. Itu juga sebabnya wilayah maritim kita hari ini “dikuasai” oleh 13 departemen dan badan negara yang saling tumpang tindih dalam tugasnya dan melahirkan jurang besar dalam konsistensi dan sistem koordinasi tugas serta faktor hukum yang melandasinya.
Jakarta, tidak seperti Beijing dan Washington, belum terlihat mengangkat isu penting keamanan regional terkait keseluruhan keamanan SLOCs dan chokepoints serta wilayah maritim Asia Tenggara, Samudra Hindia dan Pasifik, dan ancaman yang akan datang dari “far beyond Indonesia’’.
Arah kebijakan pertahanan Indonesia belum melihat akan percikan ancaman dari berseterunya Strategi Dua Samudra China terhadap tumbuhnya basis strategis pangkalan AS di Darwin dan khususnya Guam yang pada 2014 akan menjadi pusat perpindahan USMC dari Okinawa.
Dengan USD10,3 miliar, pangkalan AU dan AL Guam menjadi terbesar di kawasan Pasifik Barat sebagaimana pernyataan Robert Gates (2008) bahwa Guam ditargetkan menjadi investasi militer AS paling signifikan dalam sistem kontrol dan pertahanan masa depan peperangan laut dan udara AS (JAOCs), dengan bungker bawah tanah (JDAM storage) dan kemampuan BMD (Ballistic Missile Defense).
Jakarta juga lalai memperhatikan busur ancaman kerja sama maritim regional yang akan melampaui selatselat strategis Indonesia selain selat Tsushima, Tsugaru, Osumi, dan Soya (La Perouse) di perairan Asia Timur dengan dua poros ‘mini cooperation literal” antara JAUS (Japan–Australia–US) dan JIUS (Japan–India–US) bagi terwujudnya kerja sama maritim multilateral untuk terwujudnya keamanan SLOCs, di mana SLOCs tidak dilihat berakhir di wilayah tunggal, tetapi sebagai Broad SLOCs yang mencakup Samudra Hindia, Asia Pasifik, Pasifik Selatan (Oceania), dan usulan akan “Expanded Asia” yang mengintegrasikan Asia Timur dan Selatan di antara dua samudra tersebut sebagai penghubungnya.
JAUS dan JIUS segera akan meninggalkan Indonesia dalam kebingungan menempatkan dirinya dalam pembangunan kekuatan maritim dan dirgantara jika tidak segera meningkatkan kesepadanan kemampuan kekuatan yang diperlukannya kelak dalam kolaborasi maritim dan keamanan Broad SLOCs yang akan diwujudkan.
Perumusan tujuan kebijakan pertahanan sesungguhnya dipengaruhi oleh empat faktor yaitu; pertama, Presiden, sebagai kepala negara, panglima tertinggi angkatan perang, dan aktor utama pembuat kebijakan luar negeri. Kedua, badan legislatif. Ketiga, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (NSC) sebagai penasihat Presiden, dan terakhir adalah kondisi lingkungan regional dan internasional.
Kebijakan pertahanan negara mempunyai tujuan menjaga keutuhan wilayah, menjamin kedaulatan serta keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman, tetapi kebijakan tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan Presiden atau penguasa dan kepentingan politik yang berkembang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Panglima Tertinggi TNI terlihat jelas mengalami kesulitan dalam menentukan kebijakan dalam upaya terwujudnya pertahanan keamanan negara karena selain telah terjadi inkonsistensi kebijakan yang telah ditetapkan dalam UU, arah pembangunan kekuatan pertahanan negara juga jelas tidak mampu disinkronisasikan dengan arah kebijakan politik luar negeri yang sesuai dengan perkembangan politik dan keamanan kawasan.
Selamat Ulang Tahun TNI, semoga Presiden dan elite politik dapat segera memetakan arah pembangunan dan kedigdayaanmu dalam sistem pertahanan ke depan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar