Leopard dan
Revolusi TNI
Sunardi ; Pengampu Program Studi Perbandingan Politik, Departemen
Ilmu Politik, FISIP Universitas Indonesia
|
SINDO,
05 Oktober 2012
Lebih dari sekedar Mesin Bogem
Tamat, Leopard sebagai sebuah kampf
panzer adikarya Krauss Maffel, Jerman tampaknya secara tak terelakkan akan
mendongkrak orientasi dan doktrin pertahanan serta organisasi keamanan Tentara
Nasional Indonesia (TNI).
Tank yang akan mengernyitkan rantainya di Indonesia Oktober ini
secara tak tercegahkan juga akan menggeser postur dan peran politik TNI di masa
depan. Si Hunter Killer itu tak
disangsikan akan mengerek TNI ke lapak modernitas teknologi dan manajemen yang
bermatriks profesional penuh. Itulah tantangan ke depan yang dihampar Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan KSAD Jenderal Pramono Edhi Wibowo yang berteguh
mengandangkan Macan Tutul Jerman di
Indonesia.
Menurut keduanya, penggelandangan Leopard 2 A6 di bumi Nusantara tidaklah terkerangka dalam peramaian lomba senjata dengan tetangga. Sebaliknya, itu malah untuk lebih bisa bercengkerama dengan mereka. Soalnya, kalau “supremasi militer negara” bukan motif utama buat penjogrogan MBT Jerman itu di negeri ini, target strategi apa sesungguhnya yang hendak dibidik?
Akan sangat ngawur untuk membayangkan formasi Leopard di Indonesia akan lebih tangguh dari formasi Abrams di Australia, formasi K 1 atau 2 di Korea, atau bahkan dengan formasi Leopard 2 SG Singapura. Pasalnya, kendati semua jenis MBT merupakan suatu jenis sistem persenjataan, tank sebagai suatu formasi kesenjataan belum lagi tersiapkan di Indonesia.
Singapura sudah merancang dan merintisnya sejak tiga decade lalu. Entah apa yang dibayangkan TNI ketika menyaksikan Singapura bisa memproduksi sendiri tank rantai Bionix pada 1996. Sampai tutup abad lalu, sebagai akibat tidak berpihaknya politik dalam dan luar negeri terhadapnya, kegemeresingan TNI nyaris tak terekspresikan.
Padahal, belum lagi Bionix diproduksi, Pemerintah Malaysia sudah melayangkan pesanan 100 lebih ranpur infanteri K200 A1 kepada Doosan, selain telah menjatuhkan pilihan untuk memesan 48 MBT PT91 Twardy. Barulah setelah nasionalisme rakyat yang berhubungan dengan isu perbatasan dengan Malaysia tereksploitasikan, pemerintah secara bertahap dan sistematik menunjukkan perhatiannya.
Sampai pemerintah merogoh koceknya untuk membeli K21 NIFV dari Korea pada tahun ini, pembelanjaan alutsista TNI hingga awal dekade abad ini—termasuk mendatangkan BTR50 dan BREM2 eks Ukrania, RM70 dan BTR80 eks Ceko, BVP2 eks Slovakia, dan BMP3 dari Rusia yang kesemuanya untuk marinir—tampaknya masih lebih terproyeksi sebagai respons terhadap dinamika perkembangan kawasan.
Pemerintah belum fokus pada desain sistematik untuk melakukan penyesuaian organisasi untuk menjawab tantangan perkembangan sistem pertahanan keamanan ke depan. Keterbelengguan pada kebijakan klasik yang memangkas anggaran belanja pertahanan tampaknya adalah kendala pokoknya.
Kebijakan yang lahir dari kehendak untuk memacu pembangunan ekonomi di masa lalu yang dikombinasikan dengan kebiasaan sederhana atau seadanya dari pemimpinnya yang merefleksikan romantisme masa perjuangannya tak disangsikan telah menggiring TNI berpostur seperti Tentara Rakyat. Kebutuhan logistik dan materialnya tidak lebih dipenuhi dengan doktrin politik.
Prajurit pun senang karena ia diposisikan lebih utama dari senjata yang disandang. Tidak heran ketika rencana pembelian MBT menguak, terhiruklah pengunjukan kemampuan Pindad untuk meretrofit tank ringan AMX13 sebagai tank berkemampuan medium. Bahkan prototipe tank medium yang dihasilkan Pindad atas pesanan Presiden juga dikedepankan.
Suatu indikasi bahwa doktrin “the man behind the gun” yang berlaku umum pada dunia militer telah terdistorsi sebagai akibat telah terlalu “biasanya” kelangkaan atau keminiman logistik dan material yang dimiliki. Akibatnya, standar profesionalisme dan manajerialisme pun nyaris tak berkembang.
Pimpinannya tampak mencoba mengompensasi kondisi itu dengan mengintrodusir mitos dan psikologi “the grandeur” plus “langgam gaya bijak” baik ke dalam maupun ke luar lingkungannya. Kalau ke dalam, ia memproduksi kecenderungan karakter yang diidentifikasi seorang pengamat Amerika sebagai “semi revolutionary soldiers”, keluar ia memperagakan gaya politik “diplomasi sambung rasa”.
Keduanya sama dan sebangun: menekan anggaran belanja militer dan menghindari pembangunan kekuatan militer yang akan memunculkan kecurigaan tetangga. Dengan politik itu TNI jadi tampak cenderung mengabaikan realisme hukum besi adu kekuatan antarbangsa dalam pergaulan dunia.
Kekuatannya dimoderasikan atau tepatnya distandardisasi berdasar rasio keseimbangan kekuatan dengan negara tetangga yang dari segi kebutuhan riil minimal untuk keselamatan negara bangsa dan tumpah darah Indonesia kerap terlolong sangat tidak memadai. Politik pemulihan citra dari sebagai “ekspansionis” ke sebagai “cinta damai” telah menyebabkan negeri ini terpenjara, termasuk dari pengekspresian kepentingan nasionalnya.
Perjanjian damai, kerja sama pertahanan dan keamanan wilayah perbatasan memang tak kurang menghiasi hubungan dengan tetangga. Tetapi, “remangnya” suar pusat kekuasaan tak diragukan telah menggoyang wilayah perbatasan. Palapa memang membias di atas kepulauan, tapi daya jangkaunya masih perlu ditembuskan.
Di situ, jaringan birokrasi umumnya,dan tentara khususnya, punya peran sentral sebagai frontline dalam dan untuk ikatan kesatuan wilayah negara-bangsa, yang pembentukan dan keterbentukannya tidak sama sekali terisolasi dari lingkungan sekitar. Kondisi itu mengisyaratkan bahwa kedaulatan bukanlah hanya sebuah klaim,melainkan sebuah bentuk penguasaan yang diwujudkan dalam bentuk kehadiran dan beroperasinya sebuah kekuatan.
Nyaris tak terpenuhinya prasyarat itu adalah kondisi dasar yang telah memungkinkan Singapura dapat menenggelamkan pulau dalam yuridiksi Indonesia untuk membangun gedung-gedung tingginya, Malaysia bisa mengantongi Sipadan dan Ligitan, dan Australia dapat mewujudkan impian Timor-Timur John Curtin sebagai sebuah resort buat orang-orang Australia.
Dari situ dapat ditarik pelajaran bahwa TNI sebagai kekuatan utama hankam negara tidak dapat menstandardisasi kekuatannya hanya berdasar pada kekuatan relatif yang dimiliki negara tetangga.Tapi, sudah harus diarahkan pada keperluan dan persiapan untuk menjaga dan memelihara keutuhan dan kesatuan wilayah negara-bangsa Indonesia.
Kekuatan senjata dan logistiknya sudah harus ada dalam posisi siap siaga sebab memang kata orang: “the enemy always attacks on two occasions: when he’s ready, and when you’re not ready”. Itulah esensi survivability. Karena itulah, sesungguhnya ketersediaan logistik dan material perang tak patut diabaikan.
Pilihannya bukan di antara “gun” atau “butter” seperti yang dilolohkan homo economicus dekade 60-an abad lalu, tapi meminjam ekspresi Menteri Pertahanan yang merangkap Deputi Perdana Menteri Singapura Teo Chee Hean dalam menyambut kehadiran Leopard 2 SG dalam jajaran pertahanan negerinya: “(That) force will provide our nation another 40 years of peace”. Indah bukan?
Ya, damai itu indah, kata slogan banner TNI AD yang terpampang di mana-mana. Begitulah. Lebih dari sekadar pertimbangan ekonomi, politik, atau lainnya, perang juga bukanlah melulu soal hidup dan mati, tapi lebih soal pertaruhan kehormatan dan harga diri buat sebuah bangsa dan negara. Karena itu, setiap perang terhadap pengingkaran keberadaan, kesatuan, dan keutuhan wilayah bangsa dan negara pada esensinya adalah “the just war”, atau bahkan “the holy war”.
Soekarno mengatakan: “Kalau bangsa dan negara Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke, itu terjadi karena memang Allah SWT menghendakinya.” Sementara tanggung jawab pertahanan keamanan negeri ini sesungguhnya lebih terletak pada penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang pemenuhannya terpasang pada daya dan ruang yang disediakannya buat pengembangan kapasitas dan kapabilitas sistem teknologi dan manajemen buat keoperasionalan dan keefektifan kekuatan angkatan bersenjatanya.
Kondisi itu bukan saja diperlukan untuk mewujudkan cita politik negara, melainkan juga amat penting buat bisa menentukan posisi tawar negara dalam bercengkerama dengan tetangga. DirgahayuTNI. ●
Menurut keduanya, penggelandangan Leopard 2 A6 di bumi Nusantara tidaklah terkerangka dalam peramaian lomba senjata dengan tetangga. Sebaliknya, itu malah untuk lebih bisa bercengkerama dengan mereka. Soalnya, kalau “supremasi militer negara” bukan motif utama buat penjogrogan MBT Jerman itu di negeri ini, target strategi apa sesungguhnya yang hendak dibidik?
Akan sangat ngawur untuk membayangkan formasi Leopard di Indonesia akan lebih tangguh dari formasi Abrams di Australia, formasi K 1 atau 2 di Korea, atau bahkan dengan formasi Leopard 2 SG Singapura. Pasalnya, kendati semua jenis MBT merupakan suatu jenis sistem persenjataan, tank sebagai suatu formasi kesenjataan belum lagi tersiapkan di Indonesia.
Singapura sudah merancang dan merintisnya sejak tiga decade lalu. Entah apa yang dibayangkan TNI ketika menyaksikan Singapura bisa memproduksi sendiri tank rantai Bionix pada 1996. Sampai tutup abad lalu, sebagai akibat tidak berpihaknya politik dalam dan luar negeri terhadapnya, kegemeresingan TNI nyaris tak terekspresikan.
Padahal, belum lagi Bionix diproduksi, Pemerintah Malaysia sudah melayangkan pesanan 100 lebih ranpur infanteri K200 A1 kepada Doosan, selain telah menjatuhkan pilihan untuk memesan 48 MBT PT91 Twardy. Barulah setelah nasionalisme rakyat yang berhubungan dengan isu perbatasan dengan Malaysia tereksploitasikan, pemerintah secara bertahap dan sistematik menunjukkan perhatiannya.
Sampai pemerintah merogoh koceknya untuk membeli K21 NIFV dari Korea pada tahun ini, pembelanjaan alutsista TNI hingga awal dekade abad ini—termasuk mendatangkan BTR50 dan BREM2 eks Ukrania, RM70 dan BTR80 eks Ceko, BVP2 eks Slovakia, dan BMP3 dari Rusia yang kesemuanya untuk marinir—tampaknya masih lebih terproyeksi sebagai respons terhadap dinamika perkembangan kawasan.
Pemerintah belum fokus pada desain sistematik untuk melakukan penyesuaian organisasi untuk menjawab tantangan perkembangan sistem pertahanan keamanan ke depan. Keterbelengguan pada kebijakan klasik yang memangkas anggaran belanja pertahanan tampaknya adalah kendala pokoknya.
Kebijakan yang lahir dari kehendak untuk memacu pembangunan ekonomi di masa lalu yang dikombinasikan dengan kebiasaan sederhana atau seadanya dari pemimpinnya yang merefleksikan romantisme masa perjuangannya tak disangsikan telah menggiring TNI berpostur seperti Tentara Rakyat. Kebutuhan logistik dan materialnya tidak lebih dipenuhi dengan doktrin politik.
Prajurit pun senang karena ia diposisikan lebih utama dari senjata yang disandang. Tidak heran ketika rencana pembelian MBT menguak, terhiruklah pengunjukan kemampuan Pindad untuk meretrofit tank ringan AMX13 sebagai tank berkemampuan medium. Bahkan prototipe tank medium yang dihasilkan Pindad atas pesanan Presiden juga dikedepankan.
Suatu indikasi bahwa doktrin “the man behind the gun” yang berlaku umum pada dunia militer telah terdistorsi sebagai akibat telah terlalu “biasanya” kelangkaan atau keminiman logistik dan material yang dimiliki. Akibatnya, standar profesionalisme dan manajerialisme pun nyaris tak berkembang.
Pimpinannya tampak mencoba mengompensasi kondisi itu dengan mengintrodusir mitos dan psikologi “the grandeur” plus “langgam gaya bijak” baik ke dalam maupun ke luar lingkungannya. Kalau ke dalam, ia memproduksi kecenderungan karakter yang diidentifikasi seorang pengamat Amerika sebagai “semi revolutionary soldiers”, keluar ia memperagakan gaya politik “diplomasi sambung rasa”.
Keduanya sama dan sebangun: menekan anggaran belanja militer dan menghindari pembangunan kekuatan militer yang akan memunculkan kecurigaan tetangga. Dengan politik itu TNI jadi tampak cenderung mengabaikan realisme hukum besi adu kekuatan antarbangsa dalam pergaulan dunia.
Kekuatannya dimoderasikan atau tepatnya distandardisasi berdasar rasio keseimbangan kekuatan dengan negara tetangga yang dari segi kebutuhan riil minimal untuk keselamatan negara bangsa dan tumpah darah Indonesia kerap terlolong sangat tidak memadai. Politik pemulihan citra dari sebagai “ekspansionis” ke sebagai “cinta damai” telah menyebabkan negeri ini terpenjara, termasuk dari pengekspresian kepentingan nasionalnya.
Perjanjian damai, kerja sama pertahanan dan keamanan wilayah perbatasan memang tak kurang menghiasi hubungan dengan tetangga. Tetapi, “remangnya” suar pusat kekuasaan tak diragukan telah menggoyang wilayah perbatasan. Palapa memang membias di atas kepulauan, tapi daya jangkaunya masih perlu ditembuskan.
Di situ, jaringan birokrasi umumnya,dan tentara khususnya, punya peran sentral sebagai frontline dalam dan untuk ikatan kesatuan wilayah negara-bangsa, yang pembentukan dan keterbentukannya tidak sama sekali terisolasi dari lingkungan sekitar. Kondisi itu mengisyaratkan bahwa kedaulatan bukanlah hanya sebuah klaim,melainkan sebuah bentuk penguasaan yang diwujudkan dalam bentuk kehadiran dan beroperasinya sebuah kekuatan.
Nyaris tak terpenuhinya prasyarat itu adalah kondisi dasar yang telah memungkinkan Singapura dapat menenggelamkan pulau dalam yuridiksi Indonesia untuk membangun gedung-gedung tingginya, Malaysia bisa mengantongi Sipadan dan Ligitan, dan Australia dapat mewujudkan impian Timor-Timur John Curtin sebagai sebuah resort buat orang-orang Australia.
Dari situ dapat ditarik pelajaran bahwa TNI sebagai kekuatan utama hankam negara tidak dapat menstandardisasi kekuatannya hanya berdasar pada kekuatan relatif yang dimiliki negara tetangga.Tapi, sudah harus diarahkan pada keperluan dan persiapan untuk menjaga dan memelihara keutuhan dan kesatuan wilayah negara-bangsa Indonesia.
Kekuatan senjata dan logistiknya sudah harus ada dalam posisi siap siaga sebab memang kata orang: “the enemy always attacks on two occasions: when he’s ready, and when you’re not ready”. Itulah esensi survivability. Karena itulah, sesungguhnya ketersediaan logistik dan material perang tak patut diabaikan.
Pilihannya bukan di antara “gun” atau “butter” seperti yang dilolohkan homo economicus dekade 60-an abad lalu, tapi meminjam ekspresi Menteri Pertahanan yang merangkap Deputi Perdana Menteri Singapura Teo Chee Hean dalam menyambut kehadiran Leopard 2 SG dalam jajaran pertahanan negerinya: “(That) force will provide our nation another 40 years of peace”. Indah bukan?
Ya, damai itu indah, kata slogan banner TNI AD yang terpampang di mana-mana. Begitulah. Lebih dari sekadar pertimbangan ekonomi, politik, atau lainnya, perang juga bukanlah melulu soal hidup dan mati, tapi lebih soal pertaruhan kehormatan dan harga diri buat sebuah bangsa dan negara. Karena itu, setiap perang terhadap pengingkaran keberadaan, kesatuan, dan keutuhan wilayah bangsa dan negara pada esensinya adalah “the just war”, atau bahkan “the holy war”.
Soekarno mengatakan: “Kalau bangsa dan negara Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke, itu terjadi karena memang Allah SWT menghendakinya.” Sementara tanggung jawab pertahanan keamanan negeri ini sesungguhnya lebih terletak pada penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang pemenuhannya terpasang pada daya dan ruang yang disediakannya buat pengembangan kapasitas dan kapabilitas sistem teknologi dan manajemen buat keoperasionalan dan keefektifan kekuatan angkatan bersenjatanya.
Kondisi itu bukan saja diperlukan untuk mewujudkan cita politik negara, melainkan juga amat penting buat bisa menentukan posisi tawar negara dalam bercengkerama dengan tetangga. DirgahayuTNI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar