Kamis, 11 Oktober 2012

Defisit Perdagangan dan Liberalisasi

Defisit Perdagangan dan Liberalisasi
Ahmad Erani Yustika ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
MEDIA INDONESIA, 10 Oktober 2012


KRISIS ekonomi global telah menjadi mimpi buruk ekonomi banyak negara karena penjalarannya begitu cepat. Itulah efek yang tidak bisa dihindari akibat integrasi sektor perdagangan dan keuangan yang telah sedemikian pekat.
 
Jadi, instabilitas ekonomi bisa dikatakan salah satu sisi mata uang, sedangkan sisi lainnya tak lain ialah integrasi ekonomi via globalisasi. Indonesia juga bukan merupakan perkecualian. Krisis ekonomi membuat pertumbuhan ekonomi menurun meskipun tidak separah yang dialami China atau India.

Bagi Indonesia, jalur krisis ekonomi global itu paling terasa dari sisi perdagangan internasional (ekspor-impor). Pertumbuhan ekspor yang melambat (dan impor tumbuh jauh lebih tinggi) menyebabkan neraca perdagangan tertekan (defisit). Di luar itu, defisit neraca transaksi dan neraca pembayaran juga mengintai akibat sektor jasa dan modal yang tekor. Sampai akhir tahun, rasanya defisit perdagangan, transaksi neraca berjalan, dan pembayaran akan menjadi duri perekonomian.

Kinerja Ekspor dan Impor

Krisis ekonomi global rasanya masih akan terus berlangsung cukup lama meskipun tahun depan ada tanda-tanda yang lumayan menggembirakan. Tahun ini diperkirakan, pertumbuhan negara-negara maju di Eropa rata-rata -0,1%. Negara seperti Jerman, Prancis, Swedia, Swiss, dan Inggris memang tumbuh positif. Namun, negara-negara lain tumbuh suram, misalnya Spanyol, Belanda, Yunani, Italia, dan Portugal.

Tahun 2013 suasana sudah agak berbeda karena menurut estimasi IMF (2012), pertumbuhan di negara-negara Eropa rata-rata 1,1%. Hampir seluruh negara maju di Eropa akan tumbuh positif, kecuali Italia (-0,3%). Tiga negara besar di Eropa, yakni Jerman, Inggris, dan Prancis, masingmasing diproyeksikan tumbuh 1,5%, 1,0%, dan 2,0%. Dengan gambaran seperti itu, tekanan ekspor pada tahun depan diharapkan akan mereda sehingga terdapat peluang bagi negara berkembang, seperti Indonesia, untuk memacu perekonomian.

Jika dirinci menurut kawasan, problem penurunan eks por Indonesia di pasar global sebetulnya bukan hanya penurunan di AS dan Eropa. Berdas sarkan data sampai triwulan II 2 2012, penurunan pertumbuhan ekonomi yang paling besar memang ke pasar Eropa sebesar 19,07%, sedangkan ke AS tumbuh -7,57%. Di luar itu, ekspor ke Asia Timur dan Tengah -6,02%, ASEAN -1,07%, Australia -2,22%, dan Afrika -7,29% (BPS, 2012). Itu berarti penurunan ekspor tersebut tidak hanya terjadi ke negara tujuan Eropa dan AS.

Sungguhpun begitu, penurunan ekspor ke kawasan lainnya berkaitan dengan krisis di Eropa dan AS. Intinya, pertumbuhan ekonomi kawasan lain turun akibat krisis Eropa dan AS, yang selanjutnya mengakibatkan permintaan barang/jasa negara kawasan lain itu juga menurun. Jadi, penurunan ekspor Indonesia ke negara selain Eropa dan AS merupakan efek berantai dari krisis global (second round effect). Fakta tersebut mesti dipahami secara detail agar tidak keliru dalam perumusan kebijakan.

Sebaliknya, dari sisi impor, terdapat kinerja yang justru sangat berbeda. Pada saat kinerja ekspor tumbuh negatif ke seluruh kawasan, impor Indonesia justru tumbuh positif. Sampai triwulan II 2012, impor dari AS tumbuh 0,68% (yoy). Impor dari kawasan Eropa malah lebih spektakuler, yaitu mencapai (11,65%). Di samping itu, pertumbuhan ke Asia dan Timur Tengah 8,10%, China 10,2%, dan Afrika tumbuh fantastis sebesar 48,6%. 

Tercatat cuma impor dari Australia saja yang tumbuh negatif sebesar 3,3% (BPS, 2012).
Data itulah yang memperjelas mengapa neraca perdagangan nasional mengalami defisit. Pada saat ekspor mengalami perlambatan yang cukup besar, impor justru mengalami pertumbuhan pesat. Beberapa pihak meramalkan situasi tersebut akan terus terjadi sampai akhir tahun. Namun, berita agak baik datang baru saja ketika BPS mengumumkan neraca perdagangan Agustus 2012 mengalami surplus tipis (US$248,7 juta) meskipun belum tentu ada jaminan kondisi itu akan berlangsung sampai akhir tahun.

Mengerem Liberalisasi

Jika dikuliti lebih dalam, struktur impor Indonesia berdasarkan golongan penggunaan barang sampai semester I 2012 terbagi dalam tiga jenis: bahan baku/penolong 72,63%, barang modal 20,34%, dan barang konsumsi 7,03% (BPS, 2012). Komposisi seperti itu menerbitkan dua menerbitkan dua hal sekaligus. Pertama, hal itu merupakan berita baik karena dengan proporsi barang konsumsi hanya sekitar 7%, berarti ketergantungan barang jadi dari negara lain tidak terlalu besar. Dengan kata lain, kebutuhan barang jadi sebagian besar bisa dicukupi produksi domestik meskipun sebagian bahan bakunya harus diimpor. Kedua, hal itu merupakan warta buruk, sebab porsi impor bahan baku yang mencapai 72% menunjukkan sektor industri/jasa dikembangkan tanpa pijakan sumber daya ekonomi domestik.

Dengan struktur seperti itu, Indonesia kehilangan kesempatan untuk meningkatkan daya saing komoditas dan penciptaan lapangan kerja di sektor hulu. Indonesia seharusnya lebih memprioritaskan industri/jasa berbasis bahan baku domestik sehingga mengurangi ketergantungan impor bahan baku.

Sementara itu, struktur ekspor Indonesia sampai semester I 2012 juga bisa dikelompokkan dalam tiga sektor: sektor pertanian 2,74%, sektor industri 60,34%, dan sektor migas 20,40% (BPS, 2012). Catatan yang perlu disam paikan terha dap struktur ekspor itu sebagai beri kut. Pertama, proporsi eks por sektor pertanian yang kecil sebetulnya menggembi rakan apabila dibaca sebagai tren penurunan ekspor bahan mentah.

Namun yang terjadi di Indonesia sebaliknya, keterbatasan ekspor pertanian bukan disebabkan pengolahan menjadi bahan jadi (yang kemudian dihitung sebagai komoditas sektor industri), melainkan kemerosotan produksi sehingga ekspor tak lagi dimungkinkan dalam jumlah besar, bahkan sebagian malah impor. Kedua, proporsi sektor industri yang cukup besar sebetulnya juga harus disyukuri. Namun, lagi-lagi itu patut disesali karena sebagian (besar) komoditas ekspor tidak berbasis bahan baku domestik, tapi impor.

Dengan deskripsi tersebut, bisa dikatakan ada problem struktural menyangkut defi sit perdagangan Indonesia. Krisis global itu hanya faktor pemicu dan penambah tingkat keparahan sehingga menganggapnya sebagai penyebab utama merupakan sebuah kesalahan. Di luar itu, faktor lain yang perlu dicermati ialah ketergesaan Indonesia untuk meliberalisasi perekonomian secara masif sehingga mematikan insentif produksi domestik, termasuk di sektor pertanian.

Impor komoditas bak air bah tanpa bisa dibendung sehingga makin menyulitkan upaya mencetak surplus perdagangan. Matinya sektor pertanian tidak dapat sekadar dilihat sebagai angka-angka dampak ekonomi yang ditimbulkannya, tetapi juga pudarnya nilai-nilai sosial dan pelampung solidaritas ketika perekonomian diguncang krisis. Oleh karena itu, perubahan kebijakan industrialisasi dan sikap terhadap liberalisasi merupakan agenda pemerintah yang paling mendesak untuk memperbaiki neraca perdagangan internasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar