Defisit
Perdagangan dan Liberalisasi
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur
Eksekutif Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Oktober 2012
KRISIS
ekonomi global telah menjadi mimpi buruk ekonomi banyak negara karena
penjalarannya begitu cepat. Itulah efek yang tidak bisa dihindari akibat
integrasi sektor perdagangan dan keuangan yang telah sedemikian pekat.
Jadi, instabilitas ekonomi bisa dikatakan salah satu sisi mata uang, sedangkan
sisi lainnya tak lain ialah integrasi ekonomi via globalisasi. Indonesia juga
bukan merupakan perkecualian. Krisis ekonomi membuat pertumbuhan ekonomi
menurun meskipun tidak separah yang dialami China atau India.
Bagi
Indonesia, jalur krisis ekonomi global itu paling terasa dari sisi perdagangan
internasional (ekspor-impor). Pertumbuhan ekspor yang melambat (dan impor
tumbuh jauh lebih tinggi) menyebabkan neraca perdagangan tertekan (defisit). Di
luar itu, defisit neraca transaksi dan neraca pembayaran juga mengintai akibat
sektor jasa dan modal yang tekor. Sampai akhir tahun, rasanya defisit
perdagangan, transaksi neraca berjalan, dan pembayaran akan menjadi duri
perekonomian.
Kinerja Ekspor dan Impor
Krisis
ekonomi global rasanya masih akan terus berlangsung cukup lama meskipun tahun
depan ada tanda-tanda yang lumayan menggembirakan. Tahun ini diperkirakan,
pertumbuhan negara-negara maju di Eropa rata-rata -0,1%. Negara seperti Jerman,
Prancis, Swedia, Swiss, dan Inggris memang tumbuh positif. Namun, negara-negara
lain tumbuh suram, misalnya Spanyol, Belanda, Yunani, Italia, dan Portugal.
Tahun
2013 suasana sudah agak berbeda karena menurut estimasi IMF (2012), pertumbuhan
di negara-negara Eropa rata-rata 1,1%. Hampir seluruh negara maju di Eropa akan
tumbuh positif, kecuali Italia (-0,3%). Tiga negara besar di Eropa, yakni
Jerman, Inggris, dan Prancis, masingmasing diproyeksikan tumbuh 1,5%, 1,0%, dan
2,0%. Dengan gambaran seperti itu, tekanan ekspor pada tahun depan diharapkan
akan mereda sehingga terdapat peluang bagi negara berkembang, seperti
Indonesia, untuk memacu perekonomian.
Jika
dirinci menurut kawasan, problem penurunan eks por Indonesia di pasar global
sebetulnya bukan hanya penurunan di AS dan Eropa. Berdas sarkan data sampai
triwulan II 2 2012, penurunan pertumbuhan ekonomi yang paling besar memang ke
pasar Eropa sebesar 19,07%, sedangkan ke AS tumbuh -7,57%. Di luar itu, ekspor
ke Asia Timur dan Tengah -6,02%, ASEAN -1,07%, Australia -2,22%, dan Afrika
-7,29% (BPS, 2012). Itu berarti penurunan ekspor tersebut tidak hanya terjadi
ke negara tujuan Eropa dan AS.
Sungguhpun
begitu, penurunan ekspor ke kawasan lainnya berkaitan dengan krisis di Eropa dan
AS. Intinya, pertumbuhan ekonomi kawasan lain turun akibat krisis Eropa dan AS,
yang selanjutnya mengakibatkan permintaan barang/jasa negara kawasan lain itu
juga menurun. Jadi, penurunan ekspor Indonesia ke negara selain Eropa dan AS
merupakan efek berantai dari krisis global (second
round effect). Fakta tersebut mesti dipahami secara detail agar tidak
keliru dalam perumusan kebijakan.
Sebaliknya,
dari sisi impor, terdapat kinerja yang justru sangat berbeda. Pada saat kinerja
ekspor tumbuh negatif ke seluruh kawasan, impor Indonesia justru tumbuh positif.
Sampai triwulan II 2012, impor dari AS tumbuh 0,68% (yoy). Impor dari kawasan
Eropa malah lebih spektakuler, yaitu mencapai (11,65%). Di samping itu,
pertumbuhan ke Asia dan Timur Tengah 8,10%, China 10,2%, dan Afrika tumbuh
fantastis sebesar 48,6%.
Tercatat cuma impor dari Australia saja yang tumbuh
negatif sebesar 3,3% (BPS, 2012).
Data
itulah yang memperjelas mengapa neraca perdagangan nasional mengalami defisit.
Pada saat ekspor mengalami perlambatan yang cukup besar, impor justru mengalami
pertumbuhan pesat. Beberapa pihak meramalkan situasi tersebut akan terus
terjadi sampai akhir tahun. Namun, berita agak baik datang baru saja ketika BPS
mengumumkan neraca perdagangan Agustus 2012 mengalami surplus tipis (US$248,7
juta) meskipun belum tentu ada jaminan kondisi itu akan berlangsung sampai
akhir tahun.
Mengerem Liberalisasi
Jika
dikuliti lebih dalam, struktur impor Indonesia berdasarkan golongan penggunaan
barang sampai semester I 2012 terbagi dalam tiga jenis: bahan baku/penolong
72,63%, barang modal 20,34%, dan barang konsumsi 7,03% (BPS, 2012). Komposisi
seperti itu menerbitkan dua menerbitkan dua hal sekaligus. Pertama, hal itu
merupakan berita baik karena dengan proporsi barang konsumsi hanya sekitar 7%,
berarti ketergantungan barang jadi dari negara lain tidak terlalu besar. Dengan
kata lain, kebutuhan barang jadi sebagian besar bisa dicukupi produksi domestik
meskipun sebagian bahan bakunya harus diimpor. Kedua, hal itu merupakan warta
buruk, sebab porsi impor bahan baku yang mencapai 72% menunjukkan sektor
industri/jasa dikembangkan tanpa pijakan sumber daya ekonomi domestik.
Dengan
struktur seperti itu, Indonesia kehilangan kesempatan untuk meningkatkan daya
saing komoditas dan penciptaan lapangan kerja di sektor hulu. Indonesia
seharusnya lebih memprioritaskan industri/jasa berbasis bahan baku domestik
sehingga mengurangi ketergantungan impor bahan baku.
Sementara
itu, struktur ekspor Indonesia sampai semester I 2012 juga bisa dikelompokkan
dalam tiga sektor: sektor pertanian 2,74%, sektor industri 60,34%, dan sektor
migas 20,40% (BPS, 2012). Catatan yang perlu disam paikan terha dap struktur
ekspor itu sebagai beri kut. Pertama, proporsi eks por sektor pertanian yang
kecil sebetulnya menggembi rakan apabila dibaca sebagai tren penurunan ekspor
bahan mentah.
Namun
yang terjadi di Indonesia sebaliknya, keterbatasan ekspor pertanian bukan
disebabkan pengolahan menjadi bahan jadi (yang kemudian dihitung sebagai
komoditas sektor industri), melainkan kemerosotan produksi sehingga ekspor tak
lagi dimungkinkan dalam jumlah besar, bahkan sebagian malah impor. Kedua,
proporsi sektor industri yang cukup besar sebetulnya juga harus disyukuri.
Namun, lagi-lagi itu patut disesali karena sebagian (besar) komoditas ekspor
tidak berbasis bahan baku domestik, tapi impor.
Dengan
deskripsi tersebut, bisa dikatakan ada problem struktural menyangkut defi sit
perdagangan Indonesia. Krisis global itu hanya faktor pemicu dan penambah
tingkat keparahan sehingga menganggapnya sebagai penyebab utama merupakan
sebuah kesalahan. Di luar itu, faktor lain yang perlu dicermati ialah
ketergesaan Indonesia untuk meliberalisasi perekonomian secara masif sehingga
mematikan insentif produksi domestik, termasuk di sektor pertanian.
Impor
komoditas bak air bah tanpa bisa dibendung sehingga makin menyulitkan upaya
mencetak surplus perdagangan. Matinya sektor pertanian tidak dapat sekadar
dilihat sebagai angka-angka dampak ekonomi yang ditimbulkannya, tetapi juga
pudarnya nilai-nilai sosial dan pelampung solidaritas ketika perekonomian
diguncang krisis. Oleh karena itu, perubahan
kebijakan industrialisasi dan sikap terhadap liberalisasi merupakan agenda
pemerintah yang paling mendesak untuk memperbaiki neraca perdagangan
internasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar