Rakyat Menabuh
Genderang Melawan Koruptor
Dominikus Dalu S ; Senior Asisten Ombudsman
pada Ombudsman Republik
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Oktober 2012
“Siapa pun
yang dianggap sebagai pemimpin di negeri ini kiranya selalu hadir tanpa diminta
atau dipaksa karena tugas pemimpin ialah menuntaskan semua permasalahan,
termasuk masalah korupsi, sehingga berujung kepada kesejahteraan rakyat."
VOX
populi vox dei atau `suara rakyat adalah suara Tuhan' sesungguhnya berlaku di
belahan dunia mana pun. Genderang perang melawan koruptor oleh masyarakat luas
yang ditunjukkan dengan dukungan kepada KPK, yang masih dipercaya dalam
pemberantasan korupsi, pasca'penyerangan' ke Gedung KPK oleh sekelompok anggota
kepolisian (5/10) sungguh patut diapresiasi.
Aksi
warga dalam jumlah banyak atau people
power untuk tujuan apa pun merupakan kekuatan yang luar biasa dan dapat
menumbangkan arogansi kekuasaan oleh siapa pun. Neil Smelser, dalam Movement
Social and Revolutions, mengatakan ada enam tahap yang menyatukan gerakan
masyarakat yang dimotori kaum muda secara menyeluruh, yaitu struktur birokrasi
yang korup, munculnya ketertindasan global, transformasi konsep yang jelas
antarelemen yang melahirkan kesepahaman, adanya unsur pemicu, mobilisasi, dan
adanya pihak-pihak yang menghambat gerakan tersebut secara represif.
Pendapat
Neil Smelser sungguh tepat. Alasan masyarakat mendukung KPK ialah mereka
memiliki satu tujuan, yakni melawan siapa pun rezim yang korup atau menjadi
kroni koruptor. Atas desakan masyarakat pula karena meruncingnya hubungan
antara KPK dan Polri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara
mengambil sikap, Senin (8/10). Itu tindakan yang sudah ditunggu masyarakat
sejak kisruh rebutan perkara pengadaan simulator SIM antara KPK dan Polri pada
awal Agustus 2012. Paling tidak ada lima kesimpulan solusi yang disampaikan
SBY.
Pertama,
kasus simulator yang melibatkan Irjen Djoko Susilo agar ditangani KPK dan tidak
dipecah. Polri menangani kasus lain yang tidak terkait langsung. Kedua,
keinginan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Komisaris Novel Baswedan
dipandang tidak tepat dari segi timing maupun caranya. Ketiga, perselisihan
menyangkut waktu penugasan penyidik Polri yang bertugas di KPK diatur kembali
dan akan dituangkan dalam peraturan pemerintah. Presiden berharap teknik
pelaksanaannya juga diatur dalam MoU KPK-Polri.
Keempat,
pemikiran dan rencana revisi UU KPK, sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk
memperlemah KPK, s sebenarnya dimungkinkan. Namun, Presiden berpandangan revisi
itu kurang tepat untuk dilakukan saat ini, lebih baik untuk meningkatkan
sinergi dan intensitas semua upaya pemberantasan korupsi.
Kelima, KPK dan Polri dapat memperbarui MoU, kemudian dipatuhi dan dijalankan.
Selain itu, keduanya harus terus meningkatkan sinergi dan koordinasi dalam
pemberantasan korupsi sehingga peristiwa seperti ini tidak terulang di masa
depan.
Kiranya
sudah tegas dan jelas pernyataan Presiden. Kita berharap semua pihak, baik
Polri maupun KPK, agar melakukan evaluasi menyeluruh atas permasalahan selama
ini dan segera menjalankan harapan Presiden, mengingat harapan tersebut juga
merupakan bagian dari substansi hasil koordinasi antara KPK dan Polri yang
difasilitasi Presiden melalui Mensesneg pada hari yang sama. Terlebih lagi, hal
tersebut merupakan harapan seluruh warga masyarakat.
Perang Melawan Koruptor
Siapa
pun, baik pribadi maupun lembaga, yang menabuh genderang perang untuk
memberantas korupsi di negeri ini pasti akan mendapat perlawanan dari para
koruptor atau pihak mana pun yang selama ini diuntungkan ulah para pencoleng
uang rakyat. Hal itu terbukti dari perjalanan KPK selama ini yang tidak pernah
mulus dan terus dirongrong berbagai pihak, paling tidak sejak periode
kepemimpinan kedua KPK, tahun 2007-2011.
Belum
lekang dari ingatan kita tentang kasus cecak vs buaya yang dibaca publik sebagai
upaya kriminalisasi dan menggembosi sepak terjang KPK dalam memberantas
korupsi. Ketua KPK saat itu, Antasari Azhar, bahkan dipenjara atas tuduhan
mendalangi pembunuhan walaupun tuduhan tersebut banyak dipertanyakan. Upaya
melemahkan KPK memang tidak akan pernah berakhir karena berhadapan dengan pihak
yang memiliki kekuasaan berupa uang, koneksi, atau jaringan bahkan dalam tubuh
birokrasi, politisi, dan penegak hukum itu sendiri.
Pernyataan
dan usulan untuk membubarkan serta menyerang kinerja KPK bahkan dimunculkan
lewat politik legislasi di DPR untuk membonsai beberapa kewenangan KPK, seperti
menghilangkan kewenangan penyadapan dan penuntutan melalui revisi UU KPK yang
jelas-jelas sudah dilakukan; walaupun itu akhirnya dibantah beberapa anggota
parlemen dan mereka berbalik memberikan dukungan kepada KPK dengan menyampaikan
tidak perlu merevisi UU No 30/2002 tentang KPK.
Hal
itu terjadi setelah disorot publik melalui dukungan langsung rakyat kepada KPK
melalui beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para cendekiawan.
Sebaliknya, dalam risalah rapat pleno Komisi III DPR RI tanggal 3 Juli 2012,
tujuh fraksi mendukung dilakukan revisi. Hanya fraksi PDIP yang menolak dan
fraksi PKS menyatakan perlu dilakukan pendalaman lagi atas materi usulan revisi
UU KPK. Draf revisi sudah pula disampaikan kepada Baleg DPR pada akhir Agustus
2012. Padahal untuk saat ini, UU KPK oleh banyak kalangan, termasuk oleh KPK
sendiri, masih dianggap memadai dan tidak perlu direvisi.
Oleh
karena itu, dengan dukungan publik dan pernyataan Presiden, kiranya sudah jelas
agar pembahasan revisi tersebut ditangguhkan. Sumber daya dan energi yang ada
sebaiknya dipergunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat dan semua kiranya
bersatu melawan koruptor.
Mendongkrak IPK
Dukungan
masyarakat dan pernyataan presiden Yudhoyono merupakan awal yang baik untuk
pemberantasan korupsi di Indonesia. Target pemerintah untuk menaikkan indeks
persepsi korupsi (IPK) pada angka 5,0 pada tahun 2014 masih perlu kerja keras
karena jauh panggang dari api, mengingat angka tersebut cukup tinggi dan tidak
realistis dengan kondisi saat ini. Peningkatan nilai IPK Indonesia sebelumnya
adalah 0,2, yaitu dari angka 2,8 pada 2010 ke angka 3,0 pada 2011.
Pemerintah
sepertinya optimistis dan meyakini pencapaian angka 5,0 dengan mengandalkan
Inpres No 17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012.
Inpres tersebut merupakan lanjutan Inpres No 9/2011 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Pemerintah menerapkan enam strategi sesuai
dengan rekomendasi United Nation
Convention Against Corruption (UNCAC). Keenam strategi itu ialah:
pencegahan pada lembaga penegak hukum, pencegahan pada lembaga lainnya,
penindakan, harmonisasi peraturan perundang-undangan, penyelamatan aset hasil
korupsi, kerja sama internasional dan pelaporan.
Untuk
meningkatkan IPK, beberapa tugas berat yang harus segera dilaksanakan ialah,
pertama, penegak hukum secara keseluruhan, termasuk yudikatif dengan KPK yang
diharapkan sebagai trigger
pemberantasan korupsi, harus mampu tanpa pandang bulu dan tebang pilih segera
mengungkap dan menghukum siapa pun yang terlibat, terlebih korupsi kelas kakap
yang berdampak sistemis dan menyengsarakan banyak orang. Kedua, reformasi
birokrasi harus terus digenjot dan tidak sebatas wacana dan konsep. Pencanangan
zona integritas menuju wilayah bebas KKN oleh beberapa instansi pemerintah di
tingkat pusat dan daerah selama ini harus segera diwujudkan dengan aksi nyata.
Ketiga,
peningkatan pelayanan publik oleh penyelenggara pelayanan pada semua jenis
layanan yang dikuasai dan diselenggarakan negara melalui berbagai upaya
perbaikan harus terus dilakukan. Karena, selama ini dianggap sebagai pintu
masuk utama perilaku koruptif penyumbang terbesar rendahnya IPK. Keempat, siapa
pun yang dianggap sebagai pemimpin di negeri ini kiranya selalu hadir tanpa
diminta atau dipaksa karena tugas pemimpin ialah menuntaskan semua
permasalahan, termasuk masalah korupsi, sehingga berujung kepada kesejahteraan
rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar