Kamis, 11 Oktober 2012

Rakyat Menabuh Genderang Melawan Koruptor


Rakyat Menabuh Genderang Melawan Koruptor
Dominikus Dalu S ;  Senior Asisten Ombudsman
pada Ombudsman Republik Indonesia
MEDIA INDONESIA, 10 Oktober 2012


Siapa pun yang dianggap sebagai pemimpin di negeri ini kiranya selalu hadir tanpa diminta atau dipaksa karena tugas pemimpin ialah menuntaskan semua permasalahan, termasuk masalah korupsi, sehingga berujung kepada kesejahteraan rakyat."

VOX populi vox dei atau `suara rakyat adalah suara Tuhan' sesungguhnya berlaku di belahan dunia mana pun. Genderang perang melawan koruptor oleh masyarakat luas yang ditunjukkan dengan dukungan kepada KPK, yang masih dipercaya dalam pemberantasan korupsi, pasca'penyerangan' ke Gedung KPK oleh sekelompok anggota kepolisian (5/10) sungguh patut diapresiasi.

Aksi warga dalam jumlah banyak atau people power untuk tujuan apa pun merupakan kekuatan yang luar biasa dan dapat menumbangkan arogansi kekuasaan oleh siapa pun. Neil Smelser, dalam Movement Social and Revolutions, mengatakan ada enam tahap yang menyatukan gerakan masyarakat yang dimotori kaum muda secara menyeluruh, yaitu struktur birokrasi yang korup, munculnya ketertindasan global, transformasi konsep yang jelas antarelemen yang melahirkan kesepahaman, adanya unsur pemicu, mobilisasi, dan adanya pihak-pihak yang menghambat gerakan tersebut secara represif.

Pendapat Neil Smelser sungguh tepat. Alasan masyarakat mendukung KPK ialah mereka memiliki satu tujuan, yakni melawan siapa pun rezim yang korup atau menjadi kroni koruptor. Atas desakan masyarakat pula karena meruncingnya hubungan antara KPK dan Polri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara mengambil sikap, Senin (8/10). Itu tindakan yang sudah ditunggu masyarakat sejak kisruh rebutan perkara pengadaan simulator SIM antara KPK dan Polri pada awal Agustus 2012. Paling tidak ada lima kesimpulan solusi yang disampaikan SBY.

Pertama, kasus simulator yang melibatkan Irjen Djoko Susilo agar ditangani KPK dan tidak dipecah. Polri menangani kasus lain yang tidak terkait langsung. Kedua, keinginan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Komisaris Novel Baswedan dipandang tidak tepat dari segi timing maupun caranya. Ketiga, perselisihan menyangkut waktu penugasan penyidik Polri yang bertugas di KPK diatur kembali dan akan dituangkan dalam peraturan pemerintah. Presiden berharap teknik pelaksanaannya juga diatur dalam MoU KPK-Polri.

Keempat, pemikiran dan rencana revisi UU KPK, sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK, s sebenarnya dimungkinkan. Namun, Presiden berpandangan revisi itu kurang tepat untuk dilakukan saat ini, lebih baik untuk meningkatkan sinergi dan intensitas semua upaya pemberantasan korupsi.
 
Kelima, KPK dan Polri dapat memperbarui MoU, kemudian dipatuhi dan dijalankan. Selain itu, keduanya harus terus meningkatkan sinergi dan koordinasi dalam pemberantasan korupsi sehingga peristiwa seperti ini tidak terulang di masa depan.

Kiranya sudah tegas dan jelas pernyataan Presiden. Kita berharap semua pihak, baik Polri maupun KPK, agar melakukan evaluasi menyeluruh atas permasalahan selama ini dan segera menjalankan harapan Presiden, mengingat harapan tersebut juga merupakan bagian dari substansi hasil koordinasi antara KPK dan Polri yang difasilitasi Presiden melalui Mensesneg pada hari yang sama. Terlebih lagi, hal tersebut merupakan harapan seluruh warga masyarakat.

Perang Melawan Koruptor

Siapa pun, baik pribadi maupun lembaga, yang menabuh genderang perang untuk memberantas korupsi di negeri ini pasti akan mendapat perlawanan dari para koruptor atau pihak mana pun yang selama ini diuntungkan ulah para pencoleng uang rakyat. Hal itu terbukti dari perjalanan KPK selama ini yang tidak pernah mulus dan terus dirongrong berbagai pihak, paling tidak sejak periode kepemimpinan kedua KPK, tahun 2007-2011.

Belum lekang dari ingatan kita tentang kasus cecak vs buaya yang dibaca publik sebagai upaya kriminalisasi dan menggembosi sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi. Ketua KPK saat itu, Antasari Azhar, bahkan dipenjara atas tuduhan mendalangi pembunuhan walaupun tuduhan tersebut banyak dipertanyakan. Upaya melemahkan KPK memang tidak akan pernah berakhir karena berhadapan dengan pihak yang memiliki kekuasaan berupa uang, koneksi, atau jaringan bahkan dalam tubuh birokrasi, politisi, dan penegak hukum itu sendiri.

Pernyataan dan usulan untuk membubarkan serta menyerang kinerja KPK bahkan dimunculkan lewat politik legislasi di DPR untuk membonsai beberapa kewenangan KPK, seperti menghilangkan kewenangan penyadapan dan penuntutan melalui revisi UU KPK yang jelas-jelas sudah dilakukan; walaupun itu akhirnya dibantah beberapa anggota parlemen dan mereka berbalik memberikan dukungan kepada KPK dengan menyampaikan tidak perlu merevisi UU No 30/2002 tentang KPK.

Hal itu terjadi setelah disorot publik melalui dukungan langsung rakyat kepada KPK melalui beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para cendekiawan. Sebaliknya, dalam risalah rapat pleno Komisi III DPR RI tanggal 3 Juli 2012, tujuh fraksi mendukung dilakukan revisi. Hanya fraksi PDIP yang menolak dan fraksi PKS menyatakan perlu dilakukan pendalaman lagi atas materi usulan revisi UU KPK. Draf revisi sudah pula disampaikan kepada Baleg DPR pada akhir Agustus 2012. Padahal untuk saat ini, UU KPK oleh banyak kalangan, termasuk oleh KPK sendiri, masih dianggap memadai dan tidak perlu direvisi.

Oleh karena itu, dengan dukungan publik dan pernyataan Presiden, kiranya sudah jelas agar pembahasan revisi tersebut ditangguhkan. Sumber daya dan energi yang ada sebaiknya dipergunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat dan semua kiranya bersatu melawan koruptor.

Mendongkrak IPK

Dukungan masyarakat dan pernyataan presiden Yudhoyono merupakan awal yang baik untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Target pemerintah untuk menaikkan indeks persepsi korupsi (IPK) pada angka 5,0 pada tahun 2014 masih perlu kerja keras karena jauh panggang dari api, mengingat angka tersebut cukup tinggi dan tidak realistis dengan kondisi saat ini. Peningkatan nilai IPK Indonesia sebelumnya adalah 0,2, yaitu dari angka 2,8 pada 2010 ke angka 3,0 pada 2011.

Pemerintah sepertinya optimistis dan meyakini pencapaian angka 5,0 dengan mengandalkan Inpres No 17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Inpres tersebut merupakan lanjutan Inpres No 9/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Pemerintah menerapkan enam strategi sesuai dengan rekomendasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Keenam strategi itu ialah: pencegahan pada lembaga penegak hukum, pencegahan pada lembaga lainnya, penindakan, harmonisasi peraturan perundang-undangan, penyelamatan aset hasil korupsi, kerja sama internasional dan pelaporan.

Untuk meningkatkan IPK, beberapa tugas berat yang harus segera dilaksanakan ialah, pertama, penegak hukum secara keseluruhan, termasuk yudikatif dengan KPK yang diharapkan sebagai trigger pemberantasan korupsi, harus mampu tanpa pandang bulu dan tebang pilih segera mengungkap dan menghukum siapa pun yang terlibat, terlebih korupsi kelas kakap yang berdampak sistemis dan menyengsarakan banyak orang. Kedua, reformasi birokrasi harus terus digenjot dan tidak sebatas wacana dan konsep. Pencanangan zona integritas menuju wilayah bebas KKN oleh beberapa instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah selama ini harus segera diwujudkan dengan aksi nyata.

Ketiga, peningkatan pelayanan publik oleh penyelenggara pelayanan pada semua jenis layanan yang dikuasai dan diselenggarakan negara melalui berbagai upaya perbaikan harus terus dilakukan. Karena, selama ini dianggap sebagai pintu masuk utama perilaku koruptif penyumbang terbesar rendahnya IPK. Keempat, siapa pun yang dianggap sebagai pemimpin di negeri ini kiranya selalu hadir tanpa diminta atau dipaksa karena tugas pemimpin ialah menuntaskan semua permasalahan, termasuk masalah korupsi, sehingga berujung kepada kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar