Sabtu, 13 Oktober 2012

Darah Baru Pemberantasan Korupsi


Darah Baru Pemberantasan Korupsi
Donny Syofyan ;  Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
KORAN TEMPO, 12 Oktober 2012



Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memerintahkan Kepolisian RI untuk menyerahkan penyelidikan kasus korupsi simulator mengemudi sepenuhnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. SBY juga mengkritik upaya penangkapan Komisaris Besar Novel Baswedan, seorang penyidik KPK, atas tuduhan telah membunuh seorang nelayan ketika bertindak sebagai seorang detektif di Bengkulu, delapan tahun yang lalu. SBY mengkritik timing yang tidak tepat, meskipun ia tidak meminta Polri menghentikan penyidikan kasus tersebut.
SBY pantas mendulang pujian kali ini. Di tengah kecenderungannya yang bersikap abu-abu dan tidak tegas selama ini, pidato SBY tersebut telah mewujud sebagai fresh blood bagi KPK untuk melanjutkan perjuangan panjang melawan korupsi. Bangkitnya keberpihakan SBY secara terang terhadap KPK menunjukkan bahwa SBY mencoba menjadi lokomotif yang sesungguhnya dalam pemberatasan korupsi. Sungguhpun relatif terlambat, SBY agaknya hadir sebagai martir di tengah rusaknya mentalitas aparat penegak hukum yang masih saja hidup dengan etos status quo. Memang tidak ada jaminan bahwa ketegasan SBY ini akan mengeliminasi unsur-unsur dalam lembaga penegakan hukum, misalnya Polri, yang masih membangkang terhadap sikap Presiden. Hanya, ini gampang diidentifikasi oleh publik dan bakal menjadi terdakwa sosial bagi media, karena masyarakat sangat paham ke mana keberpihakan SBY berlabuh.
Ketegasan Presiden SBY dalam membela KPK sangat vital bagi lembaga antikorupsi kepercayaan publik tersebut. Hal itu bukan hanya membuat KPK menjadi lebih energetik dalam melakukan kerja-kerjanya, tapi juga menjadikan lembaga ini kian percaya diri berdiri di atas titian yang kokoh yang selama ini selalu menjadi bulan-bulanan lembaga penegak hukum lainnya, seperti Polri, yang kerap memanfaatkan ketidaktegasan SBY. Jaminan SBY terhadap KPK betul-betul menjadi semacam lisensi dari Presiden untuk melewati jalan tol dalam memerangi koruptor dengan kecepatan maksimum. Tanpa adanya ketegasan tersebut, terlepas dari besarnya gelombang dukungan publik atau keberhasilan KPK meng-hotelprodeo-kan para penilap uang negara, laju KPK dalam bergerak tak ubahnya seperti memanjat gunung yang tetap saja penuh onak dan lubang jebakan.
Tak kalah pentingnya, ketegasan SBY untuk berpihak kepada KPK sejatinya bakal mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan antikorupsi yang ada dalam masyarakat. Pidato SBY yang demikian bakal menciptakan efek bola salju terhadap lembaga-lembaga masyarakat sipil, kampus, organisasi keagamaan, dan lain-lain sehingga mereka lebih berdaya dan berani dalam mengungkap dugaan kasus-kasus korupsi sekecil apa pun. Kekuatan sipil antikorupsi tersebut bukan lagi sekadar institusi pasif dan moral, tapi dapat berperan aktif menjadi agen kolektif guna menyalurkan pelbagai informasi kepada KPK. Karena itu, frustrasi publik yang selama ini terjadi lantaran lembaga penegak hukum mainstream--Polri, kejaksaan, dan pengadilan--terbukti turut melindungi koruptor bakal berkurang secara perlahan.
Konsolidasi lembaga-lembaga antikorupsi itu akhirnya juga akan merambah lembaga-lembaga penegak hukum yang dianggap mainstream itu, sehingga menjadi pukulan telak bagi tokoh-tokoh lembaga penegak hukum yang masih konservatif dan enggan kehilangan comfort zone mereka. Meski demikian, konsolidasi ini bergerak secara sistematis dan terukur sehingga mampu melahirkan implikasi yang luas dan berjangka panjang. 
Untuk itu, hal ini perlu ditindaklanjuti dengan melakukan upaya-upaya edukasi publik secara intensif mengenai strategi pemberantasan lewat bantuan media-TV, radio, dan media cetak-atau menjadikannya sebagai satu mata kuliah wajib di perguruan tinggi, seperti yang telah dimotori oleh Universitas Paramadina di bawah kepemimpinan Anies Baswedan. Lebih lanjut, konsolidasi gerakan masyarakat antikorupsi ini juga fungsional, bukan hanya meneguhkan kembali korupsi sebagai musuh bersama bangsa. Tak kalah pentingnya, konsolidasi yang demikian dapat dipastikan membuat para koruptor kian sesak napas, karena peluang dan ruang negosiasi yang tersedia buat mereka makin sempit.
Terlepas dari itu semua, pidato SBY tersebut seharusnya tidak dilihat sebagai upaya mengebiri otoritas kepolisian dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sikap Presiden SBY itu juga harus dilihat sebagai pintu untuk mengoptimalkan dan mempurifikasi motif-motif kepolisian dalam peperangan panjang memberantas korupsi, tak ketinggalan dari sisi internal Polri sendiri. Sejujurnya, Polri memiliki sejumlah kelebihan yang tak dimiliki KPK dalam bekerja dan bergerak. Polri memiliki jumlah penyidik yang lebih besar, pengalaman yang lebih banyak, atau jaringan detektif yang lebih luas dibanding KPK di seantero negeri. Dengan kata lain, Polri mempunyai pelor yang lebih banyak dalam menarget sasaran para koruptor melebihi KPK. Persoalannya hanyalah bahwa Polri sejauh ini telah gagal meraih dukungan publik dibanding KPK dalam mengemban tugas mulia ini, disebabkan perilakunya sebagai "tongkat yang membawa rebah" dalam memburu koruptor.
Pidato SBY bisa dilihat sebagai alarm bahwa setiap serangan terhadap KPK sama artinya dengan mengintervensi kerja-kerja KPK. Keberadaan KPK tidak akan mampu memberantas korupsi ketika lembaga ini terus berhadapan dengan intervensi politik tingkat tinggi. Di tengah melonjaknya kepercayaan publik terhadap institusi KPK, kegagalan untuk melawan intervensi politik yang kuat, seperti dari serangan DPR dan Polri, berisiko membuat lembaga ini makin digerogoti sampai ke akar. Hal ini tidak bisa membunuh korupsi sebagai kanker, melainkan kian membuat liar korupsi dalam pelbagai dimensi dan modusnya.
Ketegasan sikap Presiden SBY perlu juga disambut oleh kalangan DPR. Jika DPR memang berkomitmen mengekang korupsi, sudah saatnya bagi mereka untuk terlibat dalam menghentikan upaya-upaya kriminalisasi KPK dengan memanggil Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk menegaskan pernyataan Presiden SBY tersebut. Yang tak kalah krusialnya, Komisi III DPR juga perlu berhenti mempertanyakan status KPK sebagai lembaga ad hoc, yang pada gilirannya telah membajak legitimasi KPK dengan cara yang amat halus. 
Dukungan politik yang kuat dan berkesinambungan bagi KPK, khususnya dari DPR, amat diperlukan untuk menangkis peluang negosiasi politik. Jangan biarkan negara ini bisa menjadi negara gagal, seperti Suriah dan Somalia, hanya karena lembaga penegak hukum saling menyalahkan dalam perang panjang melawan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar