Darah Baru
Pemberantasan Korupsi
Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
|
KORAN
TEMPO, 12 Oktober 2012
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono akhirnya memerintahkan Kepolisian RI untuk menyerahkan penyelidikan
kasus korupsi simulator mengemudi sepenuhnya kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi. SBY juga mengkritik upaya penangkapan Komisaris Besar Novel
Baswedan, seorang penyidik KPK, atas tuduhan telah membunuh seorang nelayan
ketika bertindak sebagai seorang detektif di Bengkulu, delapan tahun yang
lalu. SBY mengkritik timing yang tidak tepat, meskipun ia tidak meminta Polri
menghentikan penyidikan kasus tersebut.
SBY pantas mendulang pujian
kali ini. Di tengah kecenderungannya yang bersikap abu-abu dan tidak tegas
selama ini, pidato SBY tersebut telah mewujud sebagai fresh blood bagi KPK
untuk melanjutkan perjuangan panjang melawan korupsi. Bangkitnya keberpihakan
SBY secara terang terhadap KPK menunjukkan bahwa SBY mencoba menjadi
lokomotif yang sesungguhnya dalam pemberatasan korupsi. Sungguhpun relatif
terlambat, SBY agaknya hadir sebagai martir di tengah rusaknya mentalitas
aparat penegak hukum yang masih saja hidup dengan etos status quo. Memang
tidak ada jaminan bahwa ketegasan SBY ini akan mengeliminasi unsur-unsur
dalam lembaga penegakan hukum, misalnya Polri, yang masih membangkang
terhadap sikap Presiden. Hanya, ini gampang diidentifikasi oleh publik dan
bakal menjadi terdakwa sosial bagi media, karena masyarakat sangat paham ke
mana keberpihakan SBY berlabuh.
Ketegasan Presiden SBY dalam
membela KPK sangat vital bagi lembaga antikorupsi kepercayaan publik
tersebut. Hal itu bukan hanya membuat KPK menjadi lebih energetik dalam
melakukan kerja-kerjanya, tapi juga menjadikan lembaga ini kian percaya diri
berdiri di atas titian yang kokoh yang selama ini selalu menjadi
bulan-bulanan lembaga penegak hukum lainnya, seperti Polri, yang kerap
memanfaatkan ketidaktegasan SBY. Jaminan SBY terhadap KPK betul-betul menjadi
semacam lisensi dari Presiden untuk melewati jalan tol dalam memerangi
koruptor dengan kecepatan maksimum. Tanpa adanya ketegasan tersebut, terlepas
dari besarnya gelombang dukungan publik atau keberhasilan KPK
meng-hotelprodeo-kan para penilap uang negara, laju KPK dalam bergerak tak
ubahnya seperti memanjat gunung yang tetap saja penuh onak dan lubang
jebakan.
Tak kalah pentingnya, ketegasan
SBY untuk berpihak kepada KPK sejatinya bakal mengkonsolidasikan
kekuatan-kekuatan antikorupsi yang ada dalam masyarakat. Pidato SBY yang
demikian bakal menciptakan efek bola salju terhadap lembaga-lembaga
masyarakat sipil, kampus, organisasi keagamaan, dan lain-lain sehingga mereka
lebih berdaya dan berani dalam mengungkap dugaan kasus-kasus korupsi sekecil
apa pun. Kekuatan sipil antikorupsi tersebut bukan lagi sekadar institusi
pasif dan moral, tapi dapat berperan aktif menjadi agen kolektif guna
menyalurkan pelbagai informasi kepada KPK. Karena itu, frustrasi publik yang
selama ini terjadi lantaran lembaga penegak hukum mainstream--Polri,
kejaksaan, dan pengadilan--terbukti turut melindungi koruptor bakal berkurang
secara perlahan.
Konsolidasi lembaga-lembaga
antikorupsi itu akhirnya juga akan merambah lembaga-lembaga penegak hukum
yang dianggap mainstream itu, sehingga menjadi pukulan telak bagi tokoh-tokoh
lembaga penegak hukum yang masih konservatif dan enggan kehilangan comfort zone mereka. Meski demikian,
konsolidasi ini bergerak secara sistematis dan terukur sehingga mampu
melahirkan implikasi yang luas dan berjangka panjang.
Untuk itu, hal ini perlu
ditindaklanjuti dengan melakukan upaya-upaya edukasi publik secara intensif
mengenai strategi pemberantasan lewat bantuan media-TV, radio, dan media
cetak-atau menjadikannya sebagai satu mata kuliah wajib di perguruan tinggi,
seperti yang telah dimotori oleh Universitas Paramadina di bawah kepemimpinan
Anies Baswedan. Lebih lanjut, konsolidasi gerakan masyarakat antikorupsi ini
juga fungsional, bukan hanya meneguhkan kembali korupsi sebagai musuh bersama
bangsa. Tak kalah pentingnya, konsolidasi yang demikian dapat dipastikan
membuat para koruptor kian sesak napas, karena peluang dan ruang negosiasi
yang tersedia buat mereka makin sempit.
Terlepas dari itu semua, pidato
SBY tersebut seharusnya tidak dilihat sebagai upaya mengebiri otoritas
kepolisian dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sikap Presiden SBY itu juga
harus dilihat sebagai pintu untuk mengoptimalkan dan mempurifikasi
motif-motif kepolisian dalam peperangan panjang memberantas korupsi, tak
ketinggalan dari sisi internal Polri sendiri. Sejujurnya, Polri memiliki
sejumlah kelebihan yang tak dimiliki KPK dalam bekerja dan bergerak. Polri
memiliki jumlah penyidik yang lebih besar, pengalaman yang lebih banyak, atau
jaringan detektif yang lebih luas dibanding KPK di seantero negeri. Dengan
kata lain, Polri mempunyai pelor yang lebih banyak dalam menarget sasaran
para koruptor melebihi KPK. Persoalannya hanyalah bahwa Polri sejauh ini
telah gagal meraih dukungan publik dibanding KPK dalam mengemban tugas mulia ini,
disebabkan perilakunya sebagai "tongkat yang membawa rebah" dalam
memburu koruptor.
Pidato SBY bisa dilihat sebagai
alarm bahwa setiap serangan terhadap KPK sama artinya dengan mengintervensi
kerja-kerja KPK. Keberadaan KPK tidak akan mampu memberantas korupsi ketika
lembaga ini terus berhadapan dengan intervensi politik tingkat tinggi. Di
tengah melonjaknya kepercayaan publik terhadap institusi KPK, kegagalan untuk
melawan intervensi politik yang kuat, seperti dari serangan DPR dan Polri,
berisiko membuat lembaga ini makin digerogoti sampai ke akar. Hal ini tidak
bisa membunuh korupsi sebagai kanker, melainkan kian membuat liar korupsi
dalam pelbagai dimensi dan modusnya.
Ketegasan sikap Presiden SBY
perlu juga disambut oleh kalangan DPR. Jika DPR memang berkomitmen mengekang
korupsi, sudah saatnya bagi mereka untuk terlibat dalam menghentikan
upaya-upaya kriminalisasi KPK dengan memanggil Kapolri Jenderal Timur Pradopo
untuk menegaskan pernyataan Presiden SBY tersebut. Yang tak kalah krusialnya,
Komisi III DPR juga perlu berhenti mempertanyakan status KPK sebagai lembaga
ad hoc, yang pada gilirannya telah membajak legitimasi KPK dengan cara yang
amat halus.
Dukungan
politik yang kuat dan berkesinambungan bagi KPK, khususnya dari DPR, amat
diperlukan untuk menangkis peluang negosiasi politik. Jangan biarkan negara
ini bisa menjadi negara gagal, seperti Suriah dan Somalia, hanya karena
lembaga penegak hukum saling menyalahkan dalam perang panjang melawan
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar