Jumat, 12 Oktober 2012

Bom Hanguskan Kemerdekaan Berwisata


Bom Hanguskan Kemerdekaan Berwisata
Dewa Gde Satrya ;  Dosen International Hospitality &Tourism Business
Universitas Ciputra 
JAWA POS, 12 Oktober 2012


SEPULUH tahun lalu, pada malam 12 Oktober, bom meledak di Sary Club dan Paddy's Cafe. Ratusan nyawa melayang. Kuasa kegelapan dan kematian tragis masih terasa hingga saat ini, terutama pada keluarga korban. Bagi semua orang, bom Bali I dan aksi teror selanjutnya menyisakan trauma berkepanjangan, terutama pada luka atas kemerdekaan bagi setiap orang untuk bepergian, bertamasya, atau sekadar melepas lelah di destinasi pilihan.

Terorisme yang berwujud dalam kengerian bom bunuh diri dan aksi teror secara terbuka itu senantiasa menimbulkan kekhawatiran dan rasa takut pada setiap orang. Sepuluh tahun berselang, genderang perang melawan terorisme benar-benar menjadi isu global. Pokok pemikiran yang menjadi harapan terbesar saat ini adalah sejauh manakah keselamatan kebebasan dan kemerdekaan bagi setiap orang yang berwisata di negeri ini terjamin?

Presiden SBY dalam acara Sail Banda beberapa tahun lalu menyatakan, kalau saja Ir Juanda pada 1957 tidak mendeklarasikan Indonesia sebagai suatu negara kesatuan kepulauan, kita akan terpecah-pecah, bahkan tidak memiliki kedaulatan lagi karena laut kita sebagai perekat pulau-pulau itu terlepas satu sama lainnya. Secara kontras, yang diwariskan tokoh nasional itu seakan luluh lantak dengan aksi teror, bom bunuh diri di Bali 10 tahun lalu.

Mendorong perjalanan wisata warga Indonesia ke berbagai daerah di tanah air meniscayakan jaminan keselamatan dari aksi teror khususnya. Untuk daerah bekas konflik, misalnya Aceh dan Poso, mutlak dibutuhkan sterilitas dari aksi terorisme dalam berbagai bentuk. Menteri pariwisata saat itu, Jero Wacik, dalam Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V dan Aceh Internasional Expo 2009 mengungkapkan, kemajuan yang telah dicapai Aceh sekarang ini tidak terlepas dari konsep pembangunan yang diterapkan untuk Aceh ketika menghadapi musibah tsunami 26 Desember 2004. Presiden SBY memerintah para menteri untuk membangun kembali Aceh tanpa membuat akar budayanya tercerabut. 

Demikian halnya Poso. Untuk menghapus atau menetralisasi citra sebagai daerah konflik, Kabupaten Poso menggelar dua event pariwisata tingkat internasional: Festival Togian pada 18 Juli dan Festival Danau Poso pada 8-11 Agustus 2009. Dalam Festival Togian misalnya, tercatat ada 147 wisatawan mancanegara.

Idealisme Pariwisata 

Kepariwisataan selayaknya menjadi salah satu bagian solusi dari persoalan peradaban di Indonesia. Bukan sebaliknya, justru menebarkan kebencian antarumat manusia di muka bumi ini yang tersebar di berbagai belahan dunia, sehingga menjadi alasan yang menguatkan teroris untuk melampiaskan angkara murkanya. 

Karena itu, mengenang tragedi kemanusiaan 10 tahun lalu di Bali, pariwisata perlu semakin dibawa ke ranah idealitas, mencari kebenaran dan menjadi semacam medan kecendekiawanan semakin banyak warga Indonesia. Tak lain, untuk semakin menyeruakkan ke permukaan cita-cita kepariwisataan bagi umat manusia seperti amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Di situ disebutkan, pariwisata memiliki 10 tujuan sebagai berikut: meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan rakyat; menghapus kemiskinan; mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; serta mempererat persahabatan antarbangsa. 

Idealisme kepariwisataan juga tersirat setiap Hari Pariwisata Dunia dirayakan pada 27 September. Peringatan tersebut bertujuan meningkatkan kesadaran bahwa pariwisata sangat vital bagi peradaban dunia yang berdampak pada kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Tema World Tourism Day (WTD) berganti setiap tahun. Pada 2007 didedikasikan kepada perempuan. Pada 2004 bertema sport and tourism, tourism and transport (2005), dan tourism enriches (2006). Sidang Umum UN-WTO, lembaga pariwisata dunia di bawah PBB, akhir November 2007 di Kolombia menetapkan tema WTD 2008 yang diadakan di Peru. Yakni, pariwisata merespons tantangan perubahan iklim. Pada 2009, WTD ke-30 yang dipusatkan di Ghana, Afrika, mengangkat temaTourism-Celebrating Diversity.

Keberagaman merupakan salah satu daya pacu di balik kepariwisataan dan dapat mendorong semua negara untuk berbagi kebersamaan yang menguntungkan, dengan membangun ikatan yang lebih kuat satu sama lain. Tidak diragukan lagi, pariwisata merupakan sarana atau katalisator untuk membangun pemahaman, mendorong inklusi sosial, dan meningkatkan kelayakan standar hidup. Persis seperti itulah ekspresi kemerdekaan umat manusia pada zaman modern ini.

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan merupakan kodrat alami yang diberikan Sang Pencipta kehidupan. Bom Bali I pada 10 tahun lalu kian menegaskan betapa setiap orang secara definitif diakui dan memiliki kebebasan sepenuhnya untuk mengolah kemauan, nasib, serta masa depannya sendiri. Hal yang esensial dalam kebebasan dan kemerdekaan merupakan dimensi yang masif dalam pariwisata. Orang bisa berwisata hanyalah dengan syarat merdeka dan bebas dari rasa takut dan ancaman dari siapa pun. 
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar