Buruh dan
Kesejahteraan
Said Iqbal ; Presiden Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia,
Presiden Federasi
Serikat Pekerja Metal Indonesia
|
KOMPAS,
06 Oktober 2012
Aksi demo buruh yang digelar serentak di
sejumlah daerah di Indonesia oleh lebih dari 2 juta pekerja, Rabu (3/10),
merupakan bentuk ekspresi kekecewaan para pekerja terhadap pemerintah yang
dianggap tidak peka merespons aspirasi mereka.
Tiga hal yang utama dari
aspirasi itu adalah terkait penataan sistem kerja alih daya (outsourcing), penghapusan upah murah,
dan penyegeraan jaminan sosial, khususnya jaminan kesehatan. Trilogi tuntutan
itu bukanlah isu yang baru muncul kemarin, melainkan disuarakan bertahun-tahun
oleh pekerja melalui berbagai cara elegan dan demokratis agar diperoleh
penyelesaian bijak dari pemerintah.
Pasca-lahirnya UU No 24/2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), buruh merasa sedikit lega karena jaminan
kesehatan yang nantinya dikelola BPJS Kesehatan akan mulai direalisasikan untuk
seluruh rakyat Indonesia selambat-lambatnya 1 Januari 2014.
Sayangnya, pemerintah kemudian justru
terkesan hendak memperlambat beroperasinya BPJS Kesehatan. Ada tiga indikator.
Pertama, lambannya penuntasan pembentukan sejumlah regulasi untuk mendukung
beroperasinya BPJS Kesehatan. Padahal, batas waktu yang dimiliki pemerintah
hanya sampai 25 November 2012, kurang dari dua bulan lagi. Sementara proses
penyusunan peraturan-peraturan itu belum menunjukkan perkembangan signifikan.
Kedua, melalui pidato kenegaraan 16 Agustus,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru menyatakan hal yang bertentangan
dengan UU terkait implementasi jaminan kesehatan. Menurut Kepala Negara,
jaminan kesehatan baru akan diberikan selambat- lambatnya tahun 2019, sementara
perintah UU paling lambat 1 Januari 2014. Ketiga, dalam berbagai sosialisasi
kepada pekerja, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian
Kesehatan juga kerap menyampaikan hal senada. Ini tentu menimbulkan keresahan
di kalangan pekerja. Alih-alih mendorong percepatan jaminan kesehatan agar
rakyat terlindungi, pemerintah justru membuat rakyat galau dan dihinggapi
frustrasi.
Jika dicermati, sistem kerja alih daya dan
kebijakan upah murah sesungguhnya buah dari kebijakan ekonomi pemerintah yang
tidak berkeadilan. Pemerintah seperti asyik mengejar target pertumbuhan ekonomi
dengan cara menarik sebesar-besarnya investasi dari dalam dan luar negeri,
tetapi mengabaikan pemerataan pendapatan bagi pekerja dan perlindungan bagi
buruh dalam hubungan kerja.
Kebijakan dalam desain pasar bebas banyak
dimanfaatkan investor untuk memperkuat kekuatan tawar dan daya tekan di hadapan
pemerintah. Dengan demikian, ketika muncul sejumlah prasyarat investasi yang
diajukan pemilik modal, pemerintah tak berkutik.
Prasyarat yang sering kali
diminta para pemilik modal di antaranya, fleksibilitas pasar kerja berupa
outsourcing; fleksibilitas jam kerja (jam kerja panjang 12 jam per hari dengan
4 jam dihitung lembur), upah murah yang memunculkan kebijakan upah minimum yang
sangat rendah, serta pekerja kontrak di mana pemberi kerja begitu dominan dalam
menentukan syarat-syarat kerja dan masa kerja buruh.
Mestinya, dalam iklim seperti ini, negara
hadir memberikan perlindungan kepada pekerja untuk dicapai suatu keseimbangan.
Perlindungan dimaksud berupa tersedianya regulasi, berfungsinya pengawasan
perburuhan, dan adanya penegakan aturan.
Problem Alih Daya
Terminologi outsourcing di Indonesia merujuk Pasal 64 UU No 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan. Intinya, penyerahan sebagian pekerjaan dari satu perusahaan ke
perusahaan lain yang kategorinya ada dua. Pertama, pemborongan pekerjaan atau
disebut outsourcing pekerjaan.
Contoh, pabrik televisi menyerahkan pengerjaan remote control kepada perusahaan lain. Kedua, jasa penyedia tenaga
kerja atau dikenal dengan outsourcing
tenaga kerja. Kategori terakhir inilah yang menimbulkan persoalan.
Menurut Pasal 66 UU
Ketenagakerjaan, outsourcing tenaga
kerja tak boleh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, yaitu kegiatan yang dimulai sejak
masuknya bahan baku, proses material, hingga menjadi barang jadi.
Pada industri jasa, dimulai sejak diterimanya permintaan, proses pengerjaan
jasa, sampai keluar hasil dari jasa yang diminta. Toleransi outsourcing hanya diberikan untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tak berhubungan langsung dengan
proses produksi, seperti pada usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), penyediaan makanan (katering), tenaga pengaman (sekuriti), jasa penunjang di
pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja.
Faktanya, berdasarkan hasil
penelitian Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia bersama lembaga perburuhan
Akatiga dan SPS, pada 2010 di tiga provinsi padat industri ditemukan lebih dari
47 persen pekerja outsourcing
digunakan dalam proses produksi pada industri padat modal.
Bahkan, pada industri padat karya, pekerja outsourcing
yang digunakan mencapai 80 persen. Ini menunjukkan betapa masifnya pelanggaran.
Kondisi ini diperparah oleh
masih rendahnya perlindungan yang diberikan kepada pekerja.
Pertama, pekerja mudah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kedua,
berapa pun masa kerja, buruh tetap diberikan upah minimum. Masih ditemukan
buruh dengan masa kerja di atas 10 tahun tetap diberikan upah minimum. Ketiga,
tak adanya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Keempat, upah pekerja
dipotong oleh agen outsourcing dalam
jumlah yang sangat menyakitkan, yaitu Rp 200.000-Rp 1,5 juta per bulan dari gaji
yang diterima pekerja.
Atas hal itu, pemerintah hanya berdiam diri.
Tak ada sanksi tegas kepada agen outsourcing
yang melanggar UU. Para agen outsourcing
seolah tak bisa disentuh. Kontrol pemerintah tak berfungsi. Tak sedikit agen outsourcing ternyata berasal dari
lembaga karang taruna, ikatan remaja daerah, pengurus desa, ormas, bahkan
melibatkan orang dalam dan petugas berwenang. Keterlibatan oknum dinas
ketenagakerjaan sering dijumpai pada kasus outsourcing
bermasalah. Terlalu mudahnya disnaker memberikan izin kepada agen outsourcing kian menyuburkan praktik
ilegal ini.
Regulasi Baru
Agar ada penyelesaian komprehensif terhadap
permasalahan outsourcing, setidaknya
ada dua solusi yang bisa ditempuh pemerintah. Pertama, melakukan moratorium outsourcing. Dalam proses itu,
pemerintah dapat meninjau kembali dan menata ulang persoalan alih daya agar
sesuai ketentuan UU. Sanksi berupa pencabutan izin usaha harus diterapkan
kepada agen dan perusahaan pengguna yang terbukti melakukan pelanggaran.
Kedua, membentuk peraturan Menakertrans yang
khusus mengatur larangan dan pemberian sanksi tegas terhadap praktik outsourcing ilegal. Peraturan Gubernur Bank Indonesia terkait pengaturan outsourcing bisa menjadi rujukan. Pergub BI ini dengan tegas melarang penggunaan tenaga
kerja outsourcing untuk posisi teller bank karena BI memandang teller adalah kegiatan pokok dalam
industri perbankan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar