Selasa, 02 Oktober 2012

Apa Pelajaran dari AMM Ke-45?


Diskusi Panel Kompas
‘Masa Depan ASEAN di Tengah Berbagai Kepentingan dan Kekuatan Multipolar Global’
Apa Pelajaran dari AMM Ke-45?
KOMPAS, 02 Oktober 2012


Pertemuan Tahunan Para Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) Ke-45 di Phnom Penh, Kamboja, Juli lalu, akan masuk dalam catatan sejarah ASEAN. Untuk pertama kalinya, pertemuan rutin itu gagal merumuskan komunike bersama.

Kejadian tersebut mencemaskan banyak pihak, terutama anggota ASEAN. Kebuntuan itu bukan tidak mungkin menjadi indikasi ada perpecahan dalam tubuh ASEAN. Selain mengancam kesatuan ASEAN, insiden itu dikhawatirkan mengancam posisi ASEAN sebagai pusat tata pergaulan antarkawasan.

Apalagi, sejumlah negara besar, seperti Amerika Serikat dan Rusia, baru saja bergabung dalam platform kerja sama Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur (EAS). Sentralitas ASEAN juga menjadi prasyarat penting dalam platform Forum Kawasan ASEAN (ARF).

Dokumen komunike bersama seharusnya menjadi panduan kerja ASEAN hingga pergantian kepemimpinan. Bisa jadi, kegagalan itu juga berpotensi ”melumpuhkan” kerja ASEAN.

Sejumlah isu tengah digarap intensif oleh ASEAN di bawah kepemimpinan Kamboja tahun ini. Sebut saja upaya menyelesaikan Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN serta penyusunan draf kode tata berperilaku (COC) di Laut China Selatan.

Usulan COC tersebut juga akan dibahas bersama China. COC diharapkan menjadi 
semacam ”aturan berlalu lintas”, untuk menghindari terjadinya kesalahan kalkulasi di lapangan.

Komunike bersama AMM Ke-45 di Phnom Penh gagal disepakati karena tuan rumah menolak keinginan Filipina dan Vietnam agar memasukkan perkembangan terakhir sengketa Laut China Selatan dalam rumusannya. Filipina dan Vietnam berpendapat, insiden itu sudah seharusnya disebut dalam rumusan komunike bersama untuk mendorong penuntasan COC Laut China Selatan.

Semua pihak sepakat kode berperilaku sangat diperlukan di Laut China Selatan untuk menghindari pecahnya konflik. Perpecahan yang terjadi dan kesan ”keberpihakan” tuan rumah terhadap China dinilai banyak kalangan memang kental terasa.

Berharga

Kecemasan terhadap kegagalan pertemuan AMM itu juga terlontar dalam diskusi panel terbatas ”Masa Depan ASEAN di Tengah Berbagai Kepentingan dan Kekuatan Multipolar Global” di Jakarta, 3 September.

Direktur Mitra Wicara dan Antarkawasan Kementerian Luar Negeri RI Rahmat Pramono mengakui, sudah seharusnya anggota ASEAN mengambil pelajaran berharga dari kejadian di Phnom Penh.

”Tidak tercapainya konsensus di antara ke-10 negara anggota secara tidak langsung menegaskan kembali pentingnya upaya mengembangkan solidaritas serta kesamaan pandangan demi mempertahankan kohesivitas antarnegara anggota ASEAN,” ujar Pramono.

Terkait dengan sengketa di Laut China Selatan, tambah Pramono, sebenarnya saat memimpin ASEAN tahun 2011 lalu, Indonesia berupaya mendorong disahkannya pedoman implementasi deklarasi tata berperilaku antarpihak di perairan itu.

Ketika itu kesepuluh negara anggota ASEAN plus China juga telah menyepakati pentingnya penuntasan pembahasan dan penyusunan kode tata berperilaku. Selain sengketa Laut China Selatan, prioritas lain dalam pilar politik dan keamanan ASEAN adalah konflik perbatasan antarnegara anggota.

Setelah insiden Juli lalu, Indonesia juga mengambil inisiatif diplomasi untuk menyatukan lagi komitmen bersama di luar mekanisme AMM. Utamanya, komitmen bersama untuk menyatukan sikap, isu Laut China Selatan harus dilakukan secara damai melalui jalur diplomasi.

Juga disepakati pentingnya penyelesaian sengketa itu tetap mengacu pada prinsip dan ketentuan hukum laut internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (UNCLOS).

Menurut Pramono, upaya mewujudkan cita-cita bersama ASEAN, Komunitas ASEAN tahun 2015, mensyaratkan tiga karakteristik, yaitu kesamaan norma, aturan, dan nilai-nilai yang diterapkan bersama. Selain itu, ditandai dengan kehadiran kawasan yang kohesif, aman, stabil, dinamis, dan mengacu pada pandangan keluar, yang memandang ASEAN sebagai bagian dari sebuah masyarakat global yang saling terintegrasi dan terkait.

Perwakilan Tetap Indonesia untuk ASEAN I Gede Ngurah Swajaya mengingatkan pentingnya kelanjutan pembahasan COC, terutama antara ASEAN dan China. Sikap serupa juga ditunjukkan Amerika Serikat dengan kedatangan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton ke Indonesia, China, dan Brunei.

Apalagi, Brunei menjadi ketua ASEAN pada 2013. Swajaya meyakini bahwa Hillary berusaha agar pembahasan COC tidak terhenti.

Saya kira jika kita lihat dari agenda kunjungannya, dari Indonesia ke China lalu balik lagi ke Brunei, kelihatan seperti untuk mengantisipasi apa yang terjadi kemarin (di Kamboja). Terutama Brunei akan menjadi ketua ASEAN tahun 2013. Harapannya, sepertinya, apa yang telah terjadi tidak terulang,” ujar Swajaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar