Kompleksitas
Tawuran Pelajar
Tb Ronny R Nitibaskara ; Ketua Pusat Kajian Ketahanan Nasional
Pascasarjana Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Budi
Luhur
|
KOMPAS,
02 Oktober 2012
Hanya sehari berselang dari pemakaman Alawy
Yusianto, korban tawuran antara SMA 70 dan SMA 6, kembali terjadi tawuran dua
kelompok pelajar SMK di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan, yang juga menelan
korban.
Banyak pihak sudah lelah membicarakan tawuran
pelajar di Ibu Kota. Tak kurang-kurang pemikiran para ahli diketengahkan
sebagai tawaran pemecahan masalah. Berbagai penelitian dilakukan sejak 1980-an.
Pada umumnya, tawuran diamati sebagai kenakalan remaja. Ada yang melihatnya
sebagai perilaku bermasalah dan deprivasi sosial, frustrasi agresi, dan ada
juga sudut pandang yuridis.
Pakar kriminologi Muhammad Mustapha (1998)
dan pakar psikologi Winarini Wilman (1998) menyoroti kelemahan peneliti
sebelumnya. Ketidakberhasilan argumentasi teoretis penelitian atau pakar
sebelumnya diduga karena penelaahan tak memperhitungkan tawuran sebagai gejala
tingkah laku kelompok yang berbeda dengan penyimpangan tingkah laku individu.
Berbagai upaya ditempuh dengan melibatkan
kepolisian, hasilnya belum menggembirakan. Yang terjadi, kekerasan dalam
tawuran kian meningkat, nekat, dan beringas. Berbagai penelitian membuktikan,
tak ada korelasi antara pelaku tawuran dan keluarga yang tidak harmonis.
Juga tak ditemukan hubungan antara siswa yang
terlibat tawuran dan penyalahgunaan narkoba. Justru untuk menyelamatkan diri
dari tawuran, seorang siswa harus punya kesadaran dan kewaspadaan tinggi serta
kondisi fisik prima. Penelitian Mustapha dan Winarini menunjukkan tak ada bukti
meyakinkan, secara individual, siswa yang terlibat punya karakteristik pribadi
dan latar belakang berbeda dari kelompok siswa yang tawuran. Menurut mereka,
rasa permusuhan yang mendominasi situasi tawuran harus dipahami dalam kerangka
dinamika kelompok yang amat kecil kaitannya dengan karakteristik individual
anggota kelompok tawuran.
Dengan demikian, teori yang mencoba menghubungkan
siswa yang terlibat tawuran berasal dari keluarga yang tak harmonis menjadi
mitos yang salah. Winarini (1998) membuktikan, baik siswa yang terlibat maupun
tidak mengaku memiliki hubungan dekat dengan orangtuanya.
Pendapat yang menyatakan sekolah berkualitas
buruk dan berdisiplin rendah sering terlibat tawuran juga tak sepenuhnya benar.
Dalam kenyataan (contoh kasus Bulungan), keterlibatan sekolah yang secara
akademis tergolong papan atas dalam tawuran cukup tinggi dan membahayakan dalam
arti menimbulkan korban tewas. Winarini juga melihat tawuran tak ada kaitan
dengan tingkat kecerdasan dan prestasi belajar. Banyak siswa berprestasi juga
terlibat. Siswa cerdas ternyata punya kontribusi dalam mengatur strategi atau
evakuasi (penyelamatan) diri dan teman-temannya.
Tawuran
dan Premanisme
Sudah saatnya tawuran tak lagi dianggap
kenakalan remaja biasa. Perilaku mengedepankan kekerasan ini, hingga September
2012, telah menimbulkan 14 korban tewas (ditambah korban Manggarai). Kekerasan
kolektif ini sudah merupakan perilaku melanggar hukum.
Mengacu teori Freud, kemungkinan pelaku tak
segan membunuh lawannya merupakan wujud dari insting agresif. Insting ini
mendorong manusia menghancurkan manusia lain, berupa tingkah laku agresif yang
mengandung kebencian, ditandai kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita,
luka, atau mati, dan yang memberikan kepuasan dengan melihat lawan gagal
mencapai obyek yang diinginkan.
Ada perbedaan persepsi. Pelajar menganggap
kenakalan yang dilakukan hanya manifestasi simbolis aspirasi mereka karena
sering diperlakukan tak adil. Mereka mencoba mengidentifikasikan diri sebagai
remaja yang berbeda dari orang di sekitarnya, di sekolahnya, di jalan, bahkan
di masyarakat. Ini cara mempromosikan diri, dan tatkala mereka bertemu dengan kawan
senasib mereka lantas membentuk kelompok tertentu.
Sebaliknya, masyarakat
cenderung menganggap tingkah laku ini sebagai kejahatan dan menuntut
diberlakukan sanksi pidana. Namun, suatu tindakan agresi dikategorikan tindakan
kekerasan sangat bersifat situasional dan dipengaruhi motivasi tindakan. Dalam
kriminologi harus ada penjelasan kapan tindakan kekerasan disebut deviant dan kapan dianggap murni tindak
pidana. Penggolongan itu sangat tergantung apakah tingkah laku itu sudah jadi
karakter pelaku dan apakah dalam situasi serupa akan dilakukan berulang-ulang
atau tidak.
Tawuran pelajar tampak mirip gejala
premanisme. Kultur ini cenderung terkait masyarakat bawah. Sempitnya lapangan
kerja, krisis ekonomi, dan ketimpangan pendapatan mencolok, mendorong mereka
kian terpuruk ke pinggiran. Pada tingkat marginalisasi tinggi, mereka
berpotensi melakukan perbuatan menyimpang ataupun kejahatan untuk penuhi
kebutuhan. Dewasa ini, perilaku pelajar yang terlibat tawuran meniru
nilai-nilai budaya preman, antara lain pencarian pengakuan status dengan
menunjukkan ketangguhan, keberanian, dan kenekatan.
Pelajar cenderung menganggap tawuran sebagai
cara memperoleh pengakuan dan status tinggi serta disegani dalam kelompoknya.
Kian tinggi intensitas dan frekuensi dalam tawuran (melakukan pelanggaran
hukum) dan kian berat pelanggaran di mata hukum dengan melakukan pemukulan atau
penganiayaan, makin tinggi prestise dan status. Budaya premanisme yang ditiru
berikutnya adalah mitos ketangguhan dan keberanian. Pada nilai ini, yang
dilihat adalah kehebatan fisik, ditandai kekuatan menanggung pukulan, menerima
serangan, hingga diintimidasi polisi dan pihak lain tatkala tertangkap akibat
tawuran, serta keberanian melakukan perbuatan berisiko dan nekat.
Tawuran
dan Peranti Hukum
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tak
dikenal pertanggungjawaban kolektif. Sanksi lebih ditujukan pada individu.
Menjatuhkan sanksi pada kelompok secara merata hampir sangat tak mungkin.
Melihat sifat kolektif tawuran yang begitu rumit dan khas, perlu tindakan yang
bersumber dari peranti hukum pidana berupa sanksi yang adil dan efektif.
Kekerasan kelompok sering kali dicoba diatur
dalam Pasal 170 KUHP. Pasal ini berbunyi, ”Barang
siapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap
orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan”. Pasal ini mengandung kendala dan kontroversial. Subyek ”barang siapa” menunjuk pelaku satu
orang. Sementara istilah ”dengan tenaga
bersama” mengindikasikan suatu kelompok manusia. Delik itu, menurut
penjelasannya, tak ditujukan pada kelompok yang tak turut melakukan kekerasan.
Ancaman hanya ditujukan kepada yang benar-benar terbuka dan dengan tenaga
bersama melakukan tawuran. Mengingat suatu kelompok massa, khususnya pelajar
unik sifatnya, delik Pasal 170 sukar diterapkan karena banyak pelaku tawuran
sebenarnya terlibat secara tak sengaja atau hanya ikut-ikutan dalam kerumunan.
Orientasi perlu lebih ditekankan pada
penegakan isi Pasal 170 dengan mempertimbangkan semua aspek yang saling
memengaruhi. Karena masalahnya bukan pada materi hukumnya, faktor sosiologis,
psikologis, ataupun budaya harus diperhitungkan. Perlu kerja sama aparat
penegak hukum, kepolisian, pendidik (sekolah), dan orangtua (keluarga) untuk
menciptakan penegakan hukum yang adil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar